Malam ini aku menjumpai seorang temanku. Teman lama, teman akrab, saat berada di Jakarta. Dia tengah berada di Singapura untuk urusan pekerjaan. Dan kami berjumpa. Dalam ruang dan waktu yang berbeda, dalam peran dan situasi yang berbeda pula. Namun, kurasakan kasih dan kehangatan yang sama, yang lahir dari ketulusan sebuah persahabatan.
Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan kami di Raffles City. Mataku menangkap irama gempitanya Singapura yang baru merayakan hari kemerdekaan yang ke-44. Yes, the National Day parade baru saja berakhir semalam, ketika kusampai di negeri singa ini. Negeri yang menjadi tempatku bermukim selama 2.5 tahun terakhir.
Singapura memang indah. Kalau yang dilihat dari kualitas hidup dan kemegahan seluruh kota, yang ada hanya indah, rapi, bersih teratur. Seluruh sistem sudah tertata rapi. Memang tinggal di negara yang sudah rapi jail ini, amat mudah. MRT dan bus system yang luar biasa mudahnya. Belum lagi, internet connection yang canggih dengan segala info yang diperlukan, kuingat saat hendak memotong rambut, aku langsung saja search di internet, dan salon-salon plus harga potong dan hair stylist-nya bermunculan. Begitu pula dengan belanja groceries online, di sini bisa dengan mudah. Dan restaurant yang terbaik sampai hawker center, semua juga bisa didapatkan infonya. Segala ada. Tak heran Singapura dijuluki sebagai the most wired nation, dengan persentase pengguna internet sekitar 99%. Ini info yang didapat dari harian the Strait Times.
Singapura memang indah, rapi, teratur, berkualitas. Sekaligus sisi lain yang sering ditanyakan orang kepada saya: “ Apa gak bosen elo tinggal di Singapore?”
Sejujurnya, ada rasa kebosanan juga sih. Karena dalam segala keteraturan dan kerapian itu, juga ada irama monoton yang selalu sama ritmenya.
Belum lagi, beberapa kali mata saya menangkap ada rasa persaingan yang kuat di sini, segala sesuatu terburu-buru. Berjalan di tangga eskalator, meskipun eskalatornya tengah jalan, adalah hal biasa. Time is money, membuat para pengemudi taksi, karyawan food court, menjadi kurang ramah. Atau itu memang kebiasaannya? Entahlah.
Dalam pertemuan dengan sahabat saya tadi, dia mengisahkan kalau dia agak ‘dimaki-maki’ oleh seorang sopir taksi. Dan itu juga bukan pengalaman pertama yang saya dengar. Saya memang belum betul-betul mengalaminya, namun sering mendengar kalau salah informasi, atau salah sedikit saja, mereka terkadang bisa betul-betul jutek…
Hal yang agak disayangkan… Tapi mo’ apa lagi. Bukannya ini Singapura? Dengan banyak kelebihannya namun juga ada kekurangannya.
Mata saya pun menangkap banyak kesepian dan kesendirian di sini. Orang tua bekerja sampai cukup tua, mendekati 70 tahun, itu umur pensiunan di sini. Dan terkadang, saya dengar, saat tua, mereka terkadang tidak diperhatikan anak-anaknya lagi. Tetapi tentu saja, saya tak ingin meng-generalisasi, tentunya banyak juga anak-anak yang baik hati yang memperhatikan orang tuanya. Namun, rasa kesepian di tengah keramaian, tetap ada. Belum lagi, di MRT atau bus, orang sibuk sendiri dengan kegiatannya: denger IPOD, maen game, maenan HP, baca koran-majalah, dll. Sehingga kurang memperhatikan kebutuhan orang lain yang membutuhkan tempat duduk misalnya.
Ah, di tengah semua kemilaunya keindahan yang ditawarkan dunia, tentunya ada ketidaksempurnaan juga. Di Indonesia, banyak yang sering complain, khususnya bagi mereka yang tinggal di Jakarta: macet, banjir, tidak aman, polusi, rokok, dsb. Yang itu semua tidak saya jumpai di negara rapi teratur seperti Singapura. Namun, di balik kejelekan yang tampak di depan mata banyak orang, Jakarta tetap menawarkan persahabatan, kehangatan, dan keindahan (khususnya di daerah Thamrin-Sudirman yang semakin cantik dibenahi), dan keragaman kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan.
Dalam perjalanan ke Raffles City malam ini, saya bersyukur untuk hari-hari saya di Singapura. Sebagian bukan merupakan hari-hari yang mudah dengan segala adaptasinya. But, I will survive! Ini kan cuma Singapore, no big deal.. Ngomong bahasa Endonesa aja idup koq…:)
Bersyukur untuk sekedar mencicipi manisnya sekaligus pahitnya hidup di negeri orang. Yang sebentar lagi akan bergeser, ke Vietnam. Untuk petualangan dan perjalanan yang baru di sana.
I don’t know what His Plans are but a lot of people ask me: “ Why Vietnam?” (in amazed and sometimes shocking eyes…). But if it’s God’s plan for me, I would say: “Why not?”
Kenapa nggak? Di luar lautan motor yang melebihi Jakarta dan kendala bahasa, ada makanan yang asik punya, the beauty of its nature, dan belajar hidup di negara baru.
Jelas, adaptasi tak pernah mudah. Sebagai seseorang yang selalu merencanakan segala sesuatunya secara sempurna dulu, saya belajar untuk mempercayakan perencanaan hidup saya kepada Tuhan sekarang ini.
Sehingga, di mana pun saya ditempatkan, saya tidak lagi bertanya:” Why this country, God?”, tetapi: “ Why not? God will prepare something for me in this country.”
Proses pembelajaran yang baru di negeri yang baru pula.
Looking forward for another ‘amazing race’ (meminjam istilah keponakan saya untuk hidup yang pindah-pindah), in Vietnam.
Singapore, 11 August 2009
-fon-
* thanking God for what He has done in my life.
No comments:
Post a Comment