Where should I start this story?
Entah dari mana harus
kumulai kisah ini?
Kali ini aku sungguh
bingung.
Segala sesuatu begitu
bertumpuk di kepalaku.
Aku hamil lagi.
Entah apa kata dunia soal
ini.
Aku sendiri tak menyangka.
Di usiaku yang menjelang 45 tahun, aku menerima kabar ini.
Setelah anak-anak kami beranjak dewasa. Tiga orang…
Setelah anak-anak kami beranjak dewasa. Tiga orang…
Mereka berusia 17, 15, dan
12 tahun.
Akan ketambahan satu orang
lagi anak di keluarga kami.
Tak pernah terpikir olehku
bahwa kamu akan hadir di sini, my baby.
Walaupun berita itu baru
kuterima pagi ini.
Seiring dengan
keterkejutanku karena aku salah mencatat masa suburku.
Aku memang penganut KB
alamiah. Tak hendak kumasukkan alat-alat kontrasepsi atau obat-obatan KB itu ke tubuhku.
Biasanya aku selalu tepat
dan tahu.
Biasanya.
Tapi, kali ini sungguh di
luar biasanya…
Apa mau dikata.
Kutelpon suamiku.
“ Pap, hasil tes-ku
positif.”
Papa di sana terdiam. Terdengar menghela nafas berat.
“ Gimana, ya Ma? Apa Mama
mau gugurkan saja? Anak-anak kita sudah besar. Mosok kita mau nambah lagi?”
tanya Papa.
“ Mama butuh waktu, Pa.
Tidak bisa segampang itu memutuskan. Lagian anak ini tidak salah. Dia tidak
berdosa. Mama bingung, Pa. ”
Isakku perlahan.
“ Ya, sudah. Mama tenang
dulu. Nanti malam kita diskusikan lagi. Mama istirahat dulu saja.” Kata Papa.
Aku mencoba tidur.
Tapi, agaknya usahaku
sia-sia.
Anakku, kamu tidak pernah minta dilahirkan.
Anakku, kamu tidak pernah minta dilahirkan.
Kamu tak pernah minta
dihadirkan…
Mana Mama tega ‘membunuh’
kamu?
***
Diskusiku dan Papa tak
membuahkan hasil.
Papa masih berkeras dengan
pikirannya. Terutama keuangan keluarga yang morat-marit nanti karena sedang
persiapan untuk pendidikan kakak-kakaknya, ditambah harus membeli susu buat Si
Bungsu. Sementara aku yang sudah berhenti bekerja dan sekarang memulai bisnis
kecil-kecilan membuat kue ulang tahun dan kue kering tak bisa membantu terlalu
banyak.
Tetapi, bukankah banyak
anak banyak rezeki, Pap?
“ Itu mungkin waktu zaman
kakek-nenek kita dulu, Mam. Bukan zaman kita sekarang…” Papa sudah tak mau
diskusi. Keputusannya bulat. Agaknya aborsi mungkin harus jadi pilihan.
***
Hari itu aku berdiskusi
dengan anak-anakku.
Papanya kerja, jadi aku
masih leluasa berbicara dengan mereka yang kuyakini sudah cukup dewasa dan
cukup mengerti kondisi. Walaupun tidak seratus persen seperti yang kuharapkan.
Leon, Rieda, dan Markus.
Dua anak lelakiku dan satu puteriku.
Kuceritakan kondisiku dan
kemauan Papa mereka. Kupikir, mereka pun layak membantu dalam pengambilan
keputusan ini.
Mereka sependapat
denganku.
Bahkan Leon dan Rieda
berjanji untuk membantu usaha pembuatan kueku saat aku tak mampu menjalankannya
nanti seusai melahirkan.
Mereka berjanji akan
bekerja sama dengan Si Mbak di rumah untuk membantuku. Biar buat bantu beli
susu.
Aku menangis terharu.
Mereka sepikiran denganku.
Anak ini tidak pernah minta dilahirkan. Dia tidak salah. Kehadirannya, walaupun
bukan di saat yang tepat, tetaplah harus disambut dengan sukacita.
Terbayang, begitu banyak
orang yang sulit punya anak. Sehingga harus melakukan macam-macam cara, berobat
ke mana-mana sampai ke manca negara hanya untuk memiliki keturunan.
Mungkin ini saat yang
tidak tepat bagi kami. Tetapi, kami memutuskan untuk menerima. Sekarang tinggal
meyakinkan suamiku untuk menerima buah cinta kami yang keempat ini...
***
Awalnya suamiku ngambek.
Ngamuk. Marah.
Akhirnya, karena anak-anak
kami bahkan memberikan jaminan mereka akan kuliah sambil bekerja jika memang
uang tidak cukup, akhirnya dia setuju juga.
Yah, kami menerima janin
yang sedang tumbuh dalam kandunganku ini dengan rela.
Walaupun sulit di awalnya,
tetapi kami senang dengan keputusan untuk mempertahankannya.
Bukankah ia juga sudah
calon manusia? Yang sudah punya nyawa? Dia berhak hidup dan menghirup nafas
dunia…
Bulan demi bulan berlalu.
Tibalah sembilan bulan
sepuluh hari itu.
Ia hadir ke dunia. Dengan
sukacita kakak-kakaknya yang beranjak dewasa.
Dan Mama-Papa yang sudah
tak lagi muda….
Tapi kami menyambutnya…
Dahlia Puteri… Dia seperti
bunga yang membawa keharuman di rumah kami setelah sekian lama gersang tanpa
tangis dan gelak tawa bayi…
Dua puluh tahun kemudian…
Aku dan suamiku yang sudah
memasuki usia 66 dan 68 tahun duduk di barisan itu… Juga Leon, Rieda, dan
Markus, anak-anak kami beserta suami/istri dan anak-anak mereka, cucu-cucu kami…
Ini hari yang membahagiakan
bagi kami…
Hari ini Dahlia Puteri
akan diwisuda.
Termasuk cepat memang. Tetapi, putri bungsu kami ini memang luar biasa.
Termasuk cepat memang. Tetapi, putri bungsu kami ini memang luar biasa.
Tuhan kirimkan dia yang
pandai dan selalu dapat bea siswa.
Tak sekali pun dia
memberatkan kami dalam hal pelajaran maupun dana pendidikan…
Dari kecil-thank God- dia sudah selalu dapat
ranking di sekolah…
Diam-diam kuhapus air mata
yang menetes perlahan.
Haru. Bahagia. Bangga.
Terlebih karena keputusan
besar yang kami ambil dua puluh tahun lalu.
Untuk mempertahankan janin
ini. Untuk membiarkannya hidup dan tumbuh.
Terima kasih, Tuhan… Untuk
anugerahmu…
Untunglah kami tak
cepat-cepat mengaborsinya.
Penyesalan karena perasaan berdosa yang selalu akan menghantui…
Penyesalan karena perasaan berdosa yang selalu akan menghantui…
Memang hari-hari
membesarkan empat anak ini bukan hal yang mudah kami jalani. Tetapi, puji
syukur kepada-Mu atas segala penyelenggaraan-Mu…
Kami percaya ketika kami
memilih berdasarkan kasih, bukan hanya karena ketakutan kami atau memikirkan
kepentingan kami sendiri…
Tuhan akan pelihara dan
menjagai senantiasa…
Dan foto itu terpampang
indah.
Di dinding ruang tamu rumah
kami.
Leon, Rieda, Markus, dan
Dahlia yang selesai wisuda.
Kebahagiaan yang takkan
pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.
12 Februari 2013
fon@sg
No comments:
Post a Comment