Tuesday, February 12, 2013

Unexpected You




Where should I start this story?
Entah dari mana harus kumulai kisah ini?
Kali ini aku sungguh bingung.
Segala sesuatu begitu bertumpuk di kepalaku.

Aku hamil lagi.
Entah apa kata dunia soal ini.
Aku sendiri tak menyangka. Di usiaku yang menjelang 45 tahun, aku menerima kabar ini.
Setelah anak-anak kami beranjak dewasa. Tiga orang…
Mereka berusia 17, 15, dan 12 tahun.
Akan ketambahan satu orang lagi anak di keluarga kami.

Tak pernah terpikir olehku bahwa kamu akan hadir di sini, my baby.
Walaupun berita itu baru kuterima pagi ini.
Seiring dengan keterkejutanku karena aku salah mencatat masa suburku.
Aku memang penganut KB alamiah. Tak hendak kumasukkan alat-alat kontrasepsi atau obat-obatan  KB itu ke tubuhku.
Biasanya aku selalu tepat dan tahu.
Biasanya.
Tapi, kali ini sungguh di luar biasanya…
Apa mau dikata.

Kutelpon suamiku.
“ Pap, hasil tes-ku positif.”

Papa di sana terdiam. Terdengar menghela nafas berat.
“ Gimana, ya Ma? Apa Mama mau gugurkan saja? Anak-anak kita sudah besar. Mosok kita mau nambah lagi?” tanya Papa.

“ Mama butuh waktu, Pa. Tidak bisa segampang itu memutuskan. Lagian anak ini tidak salah. Dia tidak berdosa. Mama bingung, Pa.” Isakku perlahan.

“ Ya, sudah. Mama tenang dulu. Nanti malam kita diskusikan lagi. Mama istirahat dulu saja.” Kata Papa.

Aku mencoba tidur.
Tapi, agaknya usahaku sia-sia.
Anakku, kamu tidak pernah minta dilahirkan.
Kamu tak pernah minta dihadirkan…
Mana Mama tega ‘membunuh’ kamu?


                      ***

Diskusiku dan Papa tak membuahkan hasil.
Papa masih berkeras dengan pikirannya. Terutama keuangan keluarga yang morat-marit nanti karena sedang persiapan untuk pendidikan kakak-kakaknya, ditambah harus membeli susu buat Si Bungsu. Sementara aku yang sudah berhenti bekerja dan sekarang memulai bisnis kecil-kecilan membuat kue ulang tahun dan kue kering tak bisa membantu terlalu banyak.
Tetapi, bukankah banyak anak banyak rezeki, Pap?

“ Itu mungkin waktu zaman kakek-nenek kita dulu, Mam. Bukan zaman kita sekarang…” Papa sudah tak mau diskusi. Keputusannya bulat. Agaknya aborsi mungkin harus jadi pilihan.

***
Hari itu aku berdiskusi dengan anak-anakku.
Papanya kerja, jadi aku masih leluasa berbicara dengan mereka yang kuyakini sudah cukup dewasa dan cukup mengerti kondisi. Walaupun tidak seratus persen seperti yang kuharapkan.
Leon, Rieda, dan Markus. Dua anak lelakiku dan satu puteriku.
Kuceritakan kondisiku dan kemauan Papa mereka. Kupikir, mereka pun layak membantu dalam pengambilan keputusan ini.

Mereka sependapat denganku.
Bahkan Leon dan Rieda berjanji untuk membantu usaha pembuatan kueku saat aku tak mampu menjalankannya nanti seusai melahirkan.
Mereka berjanji akan bekerja sama dengan Si Mbak di rumah untuk membantuku. Biar buat bantu beli susu.

Aku menangis terharu.
Mereka sepikiran denganku. Anak ini tidak pernah minta dilahirkan. Dia tidak salah. Kehadirannya, walaupun bukan di saat yang tepat, tetaplah harus disambut dengan sukacita.
Terbayang, begitu banyak orang yang sulit punya anak. Sehingga harus melakukan macam-macam cara, berobat ke mana-mana sampai ke manca negara hanya untuk memiliki keturunan.
Mungkin ini saat yang tidak tepat bagi kami. Tetapi, kami memutuskan untuk menerima. Sekarang tinggal meyakinkan suamiku untuk menerima buah cinta kami yang keempat ini...

***
Awalnya suamiku ngambek. Ngamuk. Marah.
Akhirnya, karena anak-anak kami bahkan memberikan jaminan mereka akan kuliah sambil bekerja jika memang uang tidak cukup, akhirnya dia setuju juga.
Yah, kami menerima janin yang sedang tumbuh dalam kandunganku ini dengan rela.
Walaupun sulit di awalnya, tetapi kami senang dengan keputusan untuk mempertahankannya.
Bukankah ia juga sudah calon manusia? Yang sudah punya nyawa? Dia berhak hidup dan menghirup nafas dunia…

Bulan demi bulan berlalu.
Tibalah sembilan bulan sepuluh hari itu.
Ia hadir ke dunia. Dengan sukacita kakak-kakaknya yang beranjak dewasa.
Dan Mama-Papa yang sudah tak lagi muda….
Tapi kami menyambutnya…
Dahlia Puteri… Dia seperti bunga yang membawa keharuman di rumah kami setelah sekian lama gersang tanpa tangis dan gelak tawa bayi…

Dua puluh tahun kemudian…

Aku dan suamiku yang sudah memasuki usia 66 dan 68 tahun duduk di barisan itu… Juga Leon, Rieda, dan Markus, anak-anak kami beserta suami/istri dan anak-anak mereka, cucu-cucu kami…
Ini hari yang membahagiakan bagi kami…
Hari ini Dahlia Puteri akan diwisuda.
Termasuk cepat memang. Tetapi, putri bungsu kami ini memang luar biasa.
Tuhan kirimkan dia yang pandai dan selalu dapat bea siswa.
Tak sekali pun dia memberatkan kami dalam hal pelajaran maupun dana pendidikan…
Dari kecil-thank God- dia sudah selalu dapat ranking di sekolah…

Diam-diam kuhapus air mata yang menetes perlahan.
Haru. Bahagia. Bangga.
Terlebih karena keputusan besar yang kami ambil dua puluh tahun lalu.
Untuk mempertahankan janin ini. Untuk membiarkannya hidup dan tumbuh.
Terima kasih, Tuhan… Untuk anugerahmu…
Untunglah kami tak cepat-cepat mengaborsinya.
Penyesalan karena perasaan berdosa yang selalu akan menghantui…
Memang hari-hari membesarkan empat anak ini bukan hal yang mudah kami jalani. Tetapi, puji syukur kepada-Mu atas segala penyelenggaraan-Mu…
Kami percaya ketika kami memilih berdasarkan kasih, bukan hanya karena ketakutan kami atau memikirkan kepentingan kami sendiri…
Tuhan akan pelihara dan menjagai senantiasa…

Dan foto itu terpampang indah.
Di dinding ruang tamu rumah kami.
Leon, Rieda, Markus, dan Dahlia yang selesai wisuda.
Kebahagiaan yang takkan pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.

12 Februari 2013
fon@sg

No comments:

Post a Comment