Monday, May 4, 2009

X-Men Origins: Wolverine Mengajarkan Saya…

Kemarin, saya beruntung mendapatkan kesempatan menonton X-Men Origins: Wolverine. Dan film yang merupakan prequel dari X-Men ini, sedikit banyak menggoreskan kesan mendalam di hati saya. Setidaknya, Hugh Jackman berhasil menggores hati saya dengan kuku-kuku besinya…hahaha… Jokin’ :)

Saya hanya akan mencuplik sebagian kecil dari Wolverine, karena ini bukan review terhadap film tersebut, namun setidaknya saya belajar sesuatu dari film itu. And I’d like to share it with you, friends! :)

Setting: Northwest Territories, tahun 1845.
Film ini dibuka dengan adegan James kecil berada di tempat tidur, dalam kondisi kurang sehat. Ditemani oleh Victor yang juga berada di kamar. Suasana berubah secara cepat, ketika ayah James yang tadinya berada di dalam kamar, langsung keluar, dan terdengar keributan. James dan Victor bergegas keluar. Dan James melihat ayahnya terkulai lemas di lantai, tewas seketika, akibat ulah seorang pria tak dikenal yang berada bersama ibunya. Lalu, si kecil James, dalam kemarahan akibat ditinggal ayahnya, langsung mengeluarkan kuku-kukunya, sebagai bagian dari kekuatan extra, kekuatan super yang dimilikinya. Menghampiri si pria, menusukkan cengkeraman cakarnya dan membunuhnya. Sebelum meninggal, si pria berucap, “ He wasn’t your real father, SON!”
Maka, James kecil lari dengan ketakutan, karena dia telah membunuh ayah kandungnya sendiri, yang dikira seorang penjahat yang telah membunuh ayah angkat/ayah tirinya.

Reflection…
Sering kali kemarahan membuat kita melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Yang bukan saja melukai orang lain secara mental dengan kata-kata kasar misalnya, namun terkadang sampai melakukan tindakan kriminal seperti melukai dengan senjata tajam atau sampai kepada yang lebih ekstrim, membunuh. Dan konyolnya, James malah membunuh ayah kandungnya sendiri. Dalam kemarahan dan salah sangka yang besar dia melakukannya. Apa yang dilihat, langsung diasumsikan berdasarkan pemikirannya, dan langsung: HAJAR Bleh!

Tanpa mengetahui permasalahan yang sebetulnya terjadi, kita sering melihat, langsung menilai dan terkadang membalas. Saat kita pikir kita disakiti atau diancam, kita langsung bereaksi. Dan disengaja atau tidak, reaksi kita sering melukai orang lain. Dan adegan di awal film Wolverine itu mengajarkan saya untuk tidak langsung menghakimi apa yang tengah terjadi di depan mata saya. Karena saya bisa keliru, dan kalau keliru itu dibiarkan, bisa berakibat fatal. Moga-moga saya bisa mencari tahu, apa yang sebenarnya tengah terjadi, mempertimbangkannya, baru kemudian bereaksi. Dan moga-moga juga dengan demikian, saya tidak melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain. Terkadang, tentunya, dengan keterbatasan sebagai manusia, saya pun tidak mampu untuk terus bersikap ‘wise’ (bijaksana). Namun setidaknya, hari ini saya ingin berusaha untuk tidak judgmental dengan pikiran saya terhadap kejadian yang ada walaupun itu di depan mata sekali pun.
Wolverine mengajarkan saya untuk lebih berhati-hati dalam menilai karena saya bisa salah. Saya hanya manusia. Kalau superhero saja bisa salah, apalagi saya? Saya hanya seorang manusia biasa.

Setting: Apartemen kami, pukul 15.22, tahun 2009
Saya bukan superhero. Namun, mudah-mudahan saya bisa menjadi manusia yang lebih baik hari ini. Karena menyadari saya sering salah, salah sangka-salah mengkomunikasikan-salah tafsir-salah omong dan salah-salah yang lain.
Yah, namanya juga manusia… Bukan excuse, namun at least menyadari kelemahan dan mau menjadi lebih baik. Smoga bisa…:)

Singapore, May 4, 2009
-fon-
* thanks to hubby utk nonton barengnya. Thanks to my in laws utk jagain Audrey selama kami nonton :)

No comments:

Post a Comment