Maafkan kami, Tuhan…
Kalau kami terlalu banyak meminta
Minta ini dan itu…
Tak pernah merasa puas…
Apalagi merasa cukup …
Dengan apa yang telah Kau beri
Maafkan kami, Tuhan…
Kalau kami terlanjur mudah merasa iri
Atas kegemilangan
Dan kemudahan yang didapat orang lain
Tanpa tahu proses yang dilaluinya
Yang mungkin penuh air mata…
Malam-malam penuh kekuatiran…
Dan kegelisahan…
Tanpa tahu harus berbuat apa…
Karena terlalu sering…
Kami hanya melihat apa yang terlihat…
Dari kaca mata kami…
Tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi
Dan ada apa di balik itu semua…
Maafkan kami, Tuhan…
Kalau ketika kami sedang gembira
Kami lupa mengucap syukur
Namun ketika kami bermasalah besar
Kami adalah orang yang pertama lari kepada-Mu
Karena di saat itulah kami tahu
Kami tak berdaya…
Kami lemah…
Kami tak kuasa…
Melawan hidup dan permasalahannya
Karena kami hanya manusia biasa
Dan seketika…
Ketika kami sudah lepas daripadanya
Kami kembali tenang dan bahagia
Dan (lagi-lagi) terkadang lupa
Memenuhi mulut dan hati kami
Dengan ucapan syukur dan terima kasih kepada-Mu
Maafkan kami, Tuhan…
Atas kesombongan kami…
Atas keserakahan kami sebagai manusia…
Atau kemampuan kami untuk menghalalkan segala cara…
Untuk mengambil keuntungan semata…
Tanpa peduli lingkungan atau sesama…
Karena sebetulnya
Kami (lagi-lagi) terkadang lupa
Bahwa kami bukan penguasa dunia
Namun, Engkaulah yang empunya segalanya
Maafkan kami, Tuhan…
Untuk segala salah yang kami perbuat
Untuk pikiran, perkataan, dan perbuatan kami
Yang tak berkenan di hadapan-Mu
Maafkan kami, Tuhan…
Selagi masih ada waktu bagi kami di dunia ini
Semoga kami mau terus memperbaiki
Sikap-sikap yang kurang baik…
Pikiran-pikiran negatif…
Kebiasaan-kebiasaan tak terpuji…
Yang ada dalam diri kami…
Maafkan kami, Tuhan…
Dan kami yakini bahwa pintu maaf-Mu
Tak pernah terkunci
Selalu terbuka untuk setiap insan
Yang mau bertobat dan berbalik ke jalan yang benar.
Amin.
Singapore, 30 June 2009
-fon-
Chapters of Life, begitu saya senang menyebutnya. Karena bagi saya, hidup adalah babak demi babak, bab demi bab, yang menjadikan buku kehidupan saya sempurna.
Monday, June 29, 2009
Friday, June 26, 2009
Memasak vs Menulis
Seorang Juru Masak…
Bila seorang juru masak handal membuka kulkasnya… (hmm, terkadang tidak perlu terlalu handal sampai sekelas chef hotel berbintang lima, namun mereka yang bisa masak dan biasa masak untuk kesehariannya sudah bisa melakukan hal ini), dia langsung bisa melihat apa saja bahan yang tersedia di sana. Mungkin berbekal wortel, telur, daun bawang dan tomat, dia sudah mampu membuat omelette yang sedap. Atau variasi lainnya, hanya karena kepiawaiannya membuat variasi satu menu masakan ke menu masakan lainnya dengan mudah, sepertinya si juru masak mencampuradukkan semua bahan begitu saja dan menjadi satu masakan yang lezat.
Apa pun bahan yang dicampurkannya, rasanya pas saja. Dan enak di lidah.
Seorang Yang Gemar Menulis…
Bagi seseorang yang gemar menulis, kata-kata adalah senjatanya. Bak bahan makanan yang tersimpan rapi di kulkas dan siap sedia dikeluarkan ketika hendak dimasak, mereka yang gemar, hobby menulis, syukur-syukur sampai level penulis professional, memiliki kemampuan untuk memadu-padankan kata-kata sedemikian rupa. Mereka mampu mengutarakan pikiran, perasaan, dan harapan, lewat tulisan. Sekaligus mereka juga mampu (dan ini terjadi juga) menuliskan hal-hal yang tidak baik sekaligus fitnah bagi orang yang tidak bersalah dan membuat para pembacanya percaya. Bak pisau di tangan juru masak yang bisa berfungsi membantu proses masak-memasak menjadi mudah, namun bisa jadi alat yang berbahaya bila ditodongkan kepada orang yang tidak disukainya, begitu juga berlaku dengan kata-kata.
Sebagaimana menulis dan pilihan kata, bagi saya, pilihan kata dan menumpahkan perasaan itu akan baik, bila memang berasal dari hati, kejujuran, dan jangan sampai ada niat jahat untuk mempergunakan kemampuan berkata-kata itu untuk niat yang kurang baik.
Memasak vs menulis…
Kelihatannya hampir mirip, ketika juru masak memasak, dan penulis menulis. Mereka mempergunakan bahan-bahan yang ada, untuk juru masak: bumbu, bahan-bahan segar, peralatan masak, dsb. Untuk penulis: kata-kata, rasa, pikiran, imajinasi, survey, dan alat penulisan seperti word, notepad, atau blog. Untuk menjadi juru masak yang handal, dibutuhkan proses memasak ratusan, bahkan ribuan kali, trial and error, sampai menemukan resep-resep yang paling sesuai dengan selera. Entah itu selera pribadi, selera keluarga, atau yang akhirnya jadi selera negeri ataupun dunia. Untuk menjadi penulis yang handal (hmm..masih harus banyak belajar pada yang lebih senior nih, karena rasanya aku belum masuk katagori handal, masih banyak yang perlu dipelajari:)). Tapi, rasanya untuk jadi penulis yang handal juga butuh jam terbang dalam menulis, membaca, mengamati kejadian apa saja yang terjadi entah di dunia, entah dalam dunianya sendiri, dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan…
Anyway, dua-duanya perlu proses, perlu banyak explore untuk sampai ke tingkat handal.
Tiba-tiba saja ketika melihat orang yang jago masak, hatiku berseru hari ini, memasak mirip-mirip prosesnya dengan menulis. Bagaimana penulis menyajikan artikel atau tulisan yang sedap dibaca orang lain. Bagaimana si penulis menambahkan bumbu masakan yang sesuai pada tulisannya dengan tidak berlebihan biar rasanya pas. Dan akhirnya, menulis sebagaimana memasak ataupun hobby lainnya, akan lebih bermakna, kalau dilakukan dengan hati. Banyak tulisan yang saya lihat amat informatif, amat memberikan pengetahuan, namun karena tidak ada ‘rasa’, tidak ada ‘ hati’, jadinya sepertinya hampa…
Dalam blog penulis pemula yang baru saya ikuti, saya mendapati banyak teman di sana yang menulis dari hati. Dengan keterbatasan ataupun kekayaan kosa kata, dengan keterbatasan ataupun kekayaan pengetahuan, intinya tulisan mereka menggores hati dan memberi makna.
Sedangkan untuk tulisan saya pribadi? Entahlah, saya tidak berani berkomentar banyak, karena saya tidak mau menilai diri saya sendiri :) Saya lagi-lagi hanya bisa berusaha agar apa yang keluar dari ‘dapur’ tulisan saya, menjadi sajian yang setidaknya masih bisa dilahap dengan senyuman…Kalau belum sampai taraf itu, saya mah masih mau latihan…biar bisa masak…oooppss…nulis dengan lebih ‘enak’ lagi…
Nyambel yukkk…tuhh…salah lagi, kan?? Nulis yukkk:)
Singapore, 26 June 2009
-fon-
* bukan tercipta pada kondisi lapar :) And dedicated to my new friends @ yuk nulis milis and blog, terima kasih sudah memberi saya satu warna berbeda karena ‘kelezatan’ tulisan yang benar-benar menggugah selera karena berasal dari hati.
Bila seorang juru masak handal membuka kulkasnya… (hmm, terkadang tidak perlu terlalu handal sampai sekelas chef hotel berbintang lima, namun mereka yang bisa masak dan biasa masak untuk kesehariannya sudah bisa melakukan hal ini), dia langsung bisa melihat apa saja bahan yang tersedia di sana. Mungkin berbekal wortel, telur, daun bawang dan tomat, dia sudah mampu membuat omelette yang sedap. Atau variasi lainnya, hanya karena kepiawaiannya membuat variasi satu menu masakan ke menu masakan lainnya dengan mudah, sepertinya si juru masak mencampuradukkan semua bahan begitu saja dan menjadi satu masakan yang lezat.
Apa pun bahan yang dicampurkannya, rasanya pas saja. Dan enak di lidah.
Seorang Yang Gemar Menulis…
Bagi seseorang yang gemar menulis, kata-kata adalah senjatanya. Bak bahan makanan yang tersimpan rapi di kulkas dan siap sedia dikeluarkan ketika hendak dimasak, mereka yang gemar, hobby menulis, syukur-syukur sampai level penulis professional, memiliki kemampuan untuk memadu-padankan kata-kata sedemikian rupa. Mereka mampu mengutarakan pikiran, perasaan, dan harapan, lewat tulisan. Sekaligus mereka juga mampu (dan ini terjadi juga) menuliskan hal-hal yang tidak baik sekaligus fitnah bagi orang yang tidak bersalah dan membuat para pembacanya percaya. Bak pisau di tangan juru masak yang bisa berfungsi membantu proses masak-memasak menjadi mudah, namun bisa jadi alat yang berbahaya bila ditodongkan kepada orang yang tidak disukainya, begitu juga berlaku dengan kata-kata.
Sebagaimana menulis dan pilihan kata, bagi saya, pilihan kata dan menumpahkan perasaan itu akan baik, bila memang berasal dari hati, kejujuran, dan jangan sampai ada niat jahat untuk mempergunakan kemampuan berkata-kata itu untuk niat yang kurang baik.
Memasak vs menulis…
Kelihatannya hampir mirip, ketika juru masak memasak, dan penulis menulis. Mereka mempergunakan bahan-bahan yang ada, untuk juru masak: bumbu, bahan-bahan segar, peralatan masak, dsb. Untuk penulis: kata-kata, rasa, pikiran, imajinasi, survey, dan alat penulisan seperti word, notepad, atau blog. Untuk menjadi juru masak yang handal, dibutuhkan proses memasak ratusan, bahkan ribuan kali, trial and error, sampai menemukan resep-resep yang paling sesuai dengan selera. Entah itu selera pribadi, selera keluarga, atau yang akhirnya jadi selera negeri ataupun dunia. Untuk menjadi penulis yang handal (hmm..masih harus banyak belajar pada yang lebih senior nih, karena rasanya aku belum masuk katagori handal, masih banyak yang perlu dipelajari:)). Tapi, rasanya untuk jadi penulis yang handal juga butuh jam terbang dalam menulis, membaca, mengamati kejadian apa saja yang terjadi entah di dunia, entah dalam dunianya sendiri, dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan…
Anyway, dua-duanya perlu proses, perlu banyak explore untuk sampai ke tingkat handal.
Tiba-tiba saja ketika melihat orang yang jago masak, hatiku berseru hari ini, memasak mirip-mirip prosesnya dengan menulis. Bagaimana penulis menyajikan artikel atau tulisan yang sedap dibaca orang lain. Bagaimana si penulis menambahkan bumbu masakan yang sesuai pada tulisannya dengan tidak berlebihan biar rasanya pas. Dan akhirnya, menulis sebagaimana memasak ataupun hobby lainnya, akan lebih bermakna, kalau dilakukan dengan hati. Banyak tulisan yang saya lihat amat informatif, amat memberikan pengetahuan, namun karena tidak ada ‘rasa’, tidak ada ‘ hati’, jadinya sepertinya hampa…
Dalam blog penulis pemula yang baru saya ikuti, saya mendapati banyak teman di sana yang menulis dari hati. Dengan keterbatasan ataupun kekayaan kosa kata, dengan keterbatasan ataupun kekayaan pengetahuan, intinya tulisan mereka menggores hati dan memberi makna.
Sedangkan untuk tulisan saya pribadi? Entahlah, saya tidak berani berkomentar banyak, karena saya tidak mau menilai diri saya sendiri :) Saya lagi-lagi hanya bisa berusaha agar apa yang keluar dari ‘dapur’ tulisan saya, menjadi sajian yang setidaknya masih bisa dilahap dengan senyuman…Kalau belum sampai taraf itu, saya mah masih mau latihan…biar bisa masak…oooppss…nulis dengan lebih ‘enak’ lagi…
Nyambel yukkk…tuhh…salah lagi, kan?? Nulis yukkk:)
Singapore, 26 June 2009
-fon-
* bukan tercipta pada kondisi lapar :) And dedicated to my new friends @ yuk nulis milis and blog, terima kasih sudah memberi saya satu warna berbeda karena ‘kelezatan’ tulisan yang benar-benar menggugah selera karena berasal dari hati.
Monday, June 22, 2009
Dua Dollar-an
Keponakan saya, saat study tour ke Singapura beberapa tahun yang lalu, memiliki kata-kata favorite ini, “ Murah koq cuma dua dollar-an…” Yang mereka maksudkan adalah harga roti bread talk di sini (sebetulnya sih kurang dari dua dollar) dan mereka terpingkal-pingkal sesudahnya karena mereka menirukan si guru pembimbing yang agak aneh bicaranya karena tidak sempurna melafalkan huruf ‘r’ malah melafalkannya sebagai huruf ‘L’. (Mohon maaf, jika ada yang tersinggung, bukan maksud hatiku, hanya menceritakan apa yang dianggap lucu keponakanku waktu itu…namanya juga anak-anak).
Dua dollar, lembaran uang kertas yang sering dibelanjakan di Singapura ini, terbilang cukup lumayan juga nilainya. Maksud saya, ketika makan di food court atau hawker center, dua dollar terkadang cukup membeli mie, nasi ayam (chicken rice), bacang, nasi lemak dan sebagainya. Ketika ke mall, harga pun bergeser. Di mall di daerah Orchard, biarpun makan di food court, ada yang men-charge harga minuman air mineralnya 2 dollar-an. 2 dollar dengan kurs saat ini sekitar Rp. 14.500,- (empat belas ribu lima ratus rupiah). Tampaknya kecil, tak bermakna. Di sini pun bila sudah masuk mall, angka ini agaknya terbilang kecil. Namun di wet market atau di hawker center, lumayanlah…Not bad!
Yang agak mengganggu hati saya ketika saya ke gereja. Maaf, lagi-lagi saya tidak bermaksud menyinggung siapa pun ketika saya tergerak untuk menuliskan hal ini… Saya juga tidak bermaksud menghakimi isi kantong orang-orang di sekitar saya ketika duduk di bangku panjang di gereja…Kalau ada yang berasa, saya mohon maaf sebelumnya and God , please forgive me…
Sudah berkali-kali saya lihat kiri-kanan saya ketika kolekte di gereja (saya Katolik, jadi saya ke gereja Katolik), tanpa sengaja mata saya melihat lembaran dua dollar-an yang masuk ke kotak kolekte. Atau kalau tidak, minggu kemarin malah lebih heboh lagi, ketika sebelah saya sibuk mengorek-ngorek dompet logamnya untuk mencari recehan yang mau diberikan di kolekte pertama.
Hati saya agak miris… Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap persembahan janda miskin yang menyenangkan hati Tuhan, memang itu yang menyenangkan hati-Nya, memberi dari ketulusan dan kekurangannya, tapi ya koq dua dollar-an? Begitu saya membatin…
Bila itu yang terbaik yang dimiliki, atau dengan kondisi perekonomian sekarang tengah menghadapi PHK dan sebagainya, tentu saya mengerti. Amat mengerti malah! Saya pun pernah berada pada kondisi di-PHK dan tak ada kerja… Jadi, memberikan yang terbaik, dari dompet saya, bisa hanya Rp. 5.000,- saja.
Yang agak mengganggu hati saya adalah beberapa orang yang saya lihat di gereja, berdandan keren, ber-tas mewah dengah harga di atas 15 juta rupiah, juga turut memberikan 2 dollar di gereja. Aduhhh, hati saya langsung ,” Nyess…” Bukan kenapa-napa, koq ya rasanya jomplang banget…Pake tas ribuan dollar SGD, tapi koq di gereja cuma 2 dollar-an?
Mungkin saya terlalu idealis… Berharap bahwa orang yang seharusnya sudah merasakan kasih-Nya dengan kelimpahan materi, mau berbagi lebih bagi gereja. Atau ini memang kebiasaan di Singapura ini? Entahlah… Namun, saya merasa koq hati saya agak berontak ketika melihat orang yang berdandan parlente dan keren dengan barang-barang branded hanya memberi kolekte dua dollar-an…
Saya juga bukan orang yang kaya raya, namun selayaknya saya pikir kalau di supermarket atau sekali makan di restaurant paling tidak butuh minimal SGD 50, mbok ya kolektenya tinggian dikit napa? Hehehe… 5 dollar keq…10 dollar keq… (Tapi ada juga kesempatan di mana saya dikejutkan oleh seseorang yang tidak berdandan lebay, tapi langsung mengusung SGD 50 dollar ke kantong kolekte)…Amazing!
OMG! Oh My God…Koq aku jadi menghakimi penampilan orang dan penghasilan orang ya, Tuhan? Sebetulnya aku hanya ingin bersuara, agar mereka yang dilimpahi materi memberikan ekstra buat gereja. Atau paling tidak, kalau tidak mau lewat gereja, mereka bisa juga menyumbang kepada saudara, teman, yang membutuhkan bantuan keuangan…
Tokh mereka sudah menikmatinya…
Memang di Katolik tidak ada keharusan untuk menyumbang berapa persen dari penghasilan, namun itu terkadang disalahartikan dengan menyumbang sesuka hati…Yang terkadang asal dan tidak layak…
Aku tetap merindukan suatu gereja partisipatif..Di mana yang kaya, tidak menghamburkan uangnya percuma untuk barang-barang konsumtif, melainkan berbagi dengan mereka yang berkekurangan…Karena terkadang hidup itu bisa amat sangat tidak adil… Di suatu rumah keluarga kaya di bilangan Pondok Indah, si anjing mewah makan ayam fried chicken dari gerai ternama. Sementara di gang sempit juga di kawasan Jakarta Selatan, ada keluarga yang saking miskinnya tak bisa makan nasi hari itu… Si ibu memasak bubur untuk mengirit beras, karena mereka tak mampu menanak nasi…
Hidup itu sering kali tidak seimbang… Kelebihan di satu pihak dihadapkan dengan kekurangan yang amat sangat di pihak lain… Dua dollar di kantong seseorang bisa jadi hanyalah uang makannya untuk hari itu, sedangkan dua dollar di kantong seorang yang lain lagi, hanyalah recehan yang tak cukup membayar parkir mobil Ferrari-nya di kawasan elite di Singapura.
Ironis, memang…
Seratus ribu rupiah, dibelanjakan di supermarket saat ini bisa dapat apa saja sih? Seratus ribu rupiah, bisa berarti kecil bagi seseorang yang menikmati hidup layak. Mungkin hanya sekali makan malam plus secangkir kopi di gerai kopi yang asik punya.Namun, seratus ribu rupiah, bisa berarti banyak bagi mereka yang betul-betul miskin, kekurangan dan butuh bantuan. Mereka yang menangis menahan lapar, mereka yang tak tahu ke mana harus lari karena dililit hutang akibat anaknya masuk Rumah Sakit, tanpa ada kemampuan membayar hutang tersebut…
Ah, saya masih memimpikan gereja partisipatif.. Di mana yang kaya memberikan dari kelebihannya, dari kemapanannya, untuk orang-orang yang kekurangan…
Andai saja itu bisa jadi nyata…
Namun, saya hanya bisa berusaha dan berdoa…
Mudah-mudahan, kalau diberi kemudahan dalam rezeki, kita bisa berbagi… Dan ingat ada orang-orang yang miskin papa, mereka juga butuh perhatian dan kasih kita…
Memang, segala sesuatu tidak bisa selalu diukur dengan uang. Uang bukan segala-galanya. Uang bisa berdampak negatif kalau terlalu dikejar dan terlanjur menjadi rakus akan dia.
Tapi, uang juga bisa jadi sarana kasih untuk membantu sesama.
Pilihan ada di tangan kita… Dua dollar-mu hari ini, seratus ribumu hari ini, mau kau apakan?
It’s your choice, my friend…
Singapore, 23 June 2009
-fon-
* Again: gak bermaksud menyinggung siapa pun…Cuma pengen that someday, ada kesadaran lebih untuk berpartisipasi sehingga gereja partisipatif tercipta… Yang lebih memberikan kepada yang membutuhkan…Still hoping and praying…
Dua dollar, lembaran uang kertas yang sering dibelanjakan di Singapura ini, terbilang cukup lumayan juga nilainya. Maksud saya, ketika makan di food court atau hawker center, dua dollar terkadang cukup membeli mie, nasi ayam (chicken rice), bacang, nasi lemak dan sebagainya. Ketika ke mall, harga pun bergeser. Di mall di daerah Orchard, biarpun makan di food court, ada yang men-charge harga minuman air mineralnya 2 dollar-an. 2 dollar dengan kurs saat ini sekitar Rp. 14.500,- (empat belas ribu lima ratus rupiah). Tampaknya kecil, tak bermakna. Di sini pun bila sudah masuk mall, angka ini agaknya terbilang kecil. Namun di wet market atau di hawker center, lumayanlah…Not bad!
Yang agak mengganggu hati saya ketika saya ke gereja. Maaf, lagi-lagi saya tidak bermaksud menyinggung siapa pun ketika saya tergerak untuk menuliskan hal ini… Saya juga tidak bermaksud menghakimi isi kantong orang-orang di sekitar saya ketika duduk di bangku panjang di gereja…Kalau ada yang berasa, saya mohon maaf sebelumnya and God , please forgive me…
Sudah berkali-kali saya lihat kiri-kanan saya ketika kolekte di gereja (saya Katolik, jadi saya ke gereja Katolik), tanpa sengaja mata saya melihat lembaran dua dollar-an yang masuk ke kotak kolekte. Atau kalau tidak, minggu kemarin malah lebih heboh lagi, ketika sebelah saya sibuk mengorek-ngorek dompet logamnya untuk mencari recehan yang mau diberikan di kolekte pertama.
Hati saya agak miris… Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap persembahan janda miskin yang menyenangkan hati Tuhan, memang itu yang menyenangkan hati-Nya, memberi dari ketulusan dan kekurangannya, tapi ya koq dua dollar-an? Begitu saya membatin…
Bila itu yang terbaik yang dimiliki, atau dengan kondisi perekonomian sekarang tengah menghadapi PHK dan sebagainya, tentu saya mengerti. Amat mengerti malah! Saya pun pernah berada pada kondisi di-PHK dan tak ada kerja… Jadi, memberikan yang terbaik, dari dompet saya, bisa hanya Rp. 5.000,- saja.
Yang agak mengganggu hati saya adalah beberapa orang yang saya lihat di gereja, berdandan keren, ber-tas mewah dengah harga di atas 15 juta rupiah, juga turut memberikan 2 dollar di gereja. Aduhhh, hati saya langsung ,” Nyess…” Bukan kenapa-napa, koq ya rasanya jomplang banget…Pake tas ribuan dollar SGD, tapi koq di gereja cuma 2 dollar-an?
Mungkin saya terlalu idealis… Berharap bahwa orang yang seharusnya sudah merasakan kasih-Nya dengan kelimpahan materi, mau berbagi lebih bagi gereja. Atau ini memang kebiasaan di Singapura ini? Entahlah… Namun, saya merasa koq hati saya agak berontak ketika melihat orang yang berdandan parlente dan keren dengan barang-barang branded hanya memberi kolekte dua dollar-an…
Saya juga bukan orang yang kaya raya, namun selayaknya saya pikir kalau di supermarket atau sekali makan di restaurant paling tidak butuh minimal SGD 50, mbok ya kolektenya tinggian dikit napa? Hehehe… 5 dollar keq…10 dollar keq… (Tapi ada juga kesempatan di mana saya dikejutkan oleh seseorang yang tidak berdandan lebay, tapi langsung mengusung SGD 50 dollar ke kantong kolekte)…Amazing!
OMG! Oh My God…Koq aku jadi menghakimi penampilan orang dan penghasilan orang ya, Tuhan? Sebetulnya aku hanya ingin bersuara, agar mereka yang dilimpahi materi memberikan ekstra buat gereja. Atau paling tidak, kalau tidak mau lewat gereja, mereka bisa juga menyumbang kepada saudara, teman, yang membutuhkan bantuan keuangan…
Tokh mereka sudah menikmatinya…
Memang di Katolik tidak ada keharusan untuk menyumbang berapa persen dari penghasilan, namun itu terkadang disalahartikan dengan menyumbang sesuka hati…Yang terkadang asal dan tidak layak…
Aku tetap merindukan suatu gereja partisipatif..Di mana yang kaya, tidak menghamburkan uangnya percuma untuk barang-barang konsumtif, melainkan berbagi dengan mereka yang berkekurangan…Karena terkadang hidup itu bisa amat sangat tidak adil… Di suatu rumah keluarga kaya di bilangan Pondok Indah, si anjing mewah makan ayam fried chicken dari gerai ternama. Sementara di gang sempit juga di kawasan Jakarta Selatan, ada keluarga yang saking miskinnya tak bisa makan nasi hari itu… Si ibu memasak bubur untuk mengirit beras, karena mereka tak mampu menanak nasi…
Hidup itu sering kali tidak seimbang… Kelebihan di satu pihak dihadapkan dengan kekurangan yang amat sangat di pihak lain… Dua dollar di kantong seseorang bisa jadi hanyalah uang makannya untuk hari itu, sedangkan dua dollar di kantong seorang yang lain lagi, hanyalah recehan yang tak cukup membayar parkir mobil Ferrari-nya di kawasan elite di Singapura.
Ironis, memang…
Seratus ribu rupiah, dibelanjakan di supermarket saat ini bisa dapat apa saja sih? Seratus ribu rupiah, bisa berarti kecil bagi seseorang yang menikmati hidup layak. Mungkin hanya sekali makan malam plus secangkir kopi di gerai kopi yang asik punya.Namun, seratus ribu rupiah, bisa berarti banyak bagi mereka yang betul-betul miskin, kekurangan dan butuh bantuan. Mereka yang menangis menahan lapar, mereka yang tak tahu ke mana harus lari karena dililit hutang akibat anaknya masuk Rumah Sakit, tanpa ada kemampuan membayar hutang tersebut…
Ah, saya masih memimpikan gereja partisipatif.. Di mana yang kaya memberikan dari kelebihannya, dari kemapanannya, untuk orang-orang yang kekurangan…
Andai saja itu bisa jadi nyata…
Namun, saya hanya bisa berusaha dan berdoa…
Mudah-mudahan, kalau diberi kemudahan dalam rezeki, kita bisa berbagi… Dan ingat ada orang-orang yang miskin papa, mereka juga butuh perhatian dan kasih kita…
Memang, segala sesuatu tidak bisa selalu diukur dengan uang. Uang bukan segala-galanya. Uang bisa berdampak negatif kalau terlalu dikejar dan terlanjur menjadi rakus akan dia.
Tapi, uang juga bisa jadi sarana kasih untuk membantu sesama.
Pilihan ada di tangan kita… Dua dollar-mu hari ini, seratus ribumu hari ini, mau kau apakan?
It’s your choice, my friend…
Singapore, 23 June 2009
-fon-
* Again: gak bermaksud menyinggung siapa pun…Cuma pengen that someday, ada kesadaran lebih untuk berpartisipasi sehingga gereja partisipatif tercipta… Yang lebih memberikan kepada yang membutuhkan…Still hoping and praying…
Just the Way It Is
Di antara semua pekerja
di kawasan CBD Singapura ini…
Aku bernostalgia tentang
Perjalanan karirku selama 10 tahun
Sesungguhnya ada rasa kangen
Yang menyeruak dari dasar hati
Ketika melihat wanita karir berpakaian serasi
Ada keinginan untuk berdandan ala professional
Dengan busana perkantoran
Namun, hidup yang tak pasti
Dan sulit ditebak ke mana arahnya
Telah merubah segala-galanya
Menjalani hari-hari sebagai stay home mom
Atau lebih sering disebut ibu Rumah Tangga
Juga memiliki kesenangan tersendiri
Ada kesenangan baru lewat teman-teman baru yang kutemui
Mulai dari nanny
Sampai orang tua teman sekolah putriku
Juga ada Auntie yang bersih-bersih
Di apartemen kami
Aku tidak risih
Karena siapa pun bisa jadi temanku
Satu yang terlebih membahagiakan
Aku punya waktu banyak untuk anakku
Memang melelahkan, namun sekaligus berharga
Karena itu tidak bisa dibeli dengan uang berapa pun
Bukannya tidak ingin untuk kembali bekerja
Namun, ketika anak yang jadi taruhannya
Aku juga menghadapi dilema
Entah, hal ini memang tidaklah mudah
Maka, di saat ini, aku hanya bisa menjalani saja
Sebagaimana aku tak pernah tahu
Apa rencana yang Maha Kuasa
Atas hidupku, atas hidup kami
Aku menikmati hari-hari berharga
Menghabiskan waktu yang berkualitas
Bersama anak kami
Hingga sampai suatu saat nanti
Bila Tuhan punya rencana lain untuk diriku
Apa pun itu, semoga aku siap
Tiada yang lebih indah
Selain menerima hidup hari ini apa adanya
Just the way it is
Don’t want to change a thing.
Singapore, June 22, 2009
-fon-
* tercipta di Raffles Place, kawasan CBD Singapura tgl 9 Juni 2009
di kawasan CBD Singapura ini…
Aku bernostalgia tentang
Perjalanan karirku selama 10 tahun
Sesungguhnya ada rasa kangen
Yang menyeruak dari dasar hati
Ketika melihat wanita karir berpakaian serasi
Ada keinginan untuk berdandan ala professional
Dengan busana perkantoran
Namun, hidup yang tak pasti
Dan sulit ditebak ke mana arahnya
Telah merubah segala-galanya
Menjalani hari-hari sebagai stay home mom
Atau lebih sering disebut ibu Rumah Tangga
Juga memiliki kesenangan tersendiri
Ada kesenangan baru lewat teman-teman baru yang kutemui
Mulai dari nanny
Sampai orang tua teman sekolah putriku
Juga ada Auntie yang bersih-bersih
Di apartemen kami
Aku tidak risih
Karena siapa pun bisa jadi temanku
Satu yang terlebih membahagiakan
Aku punya waktu banyak untuk anakku
Memang melelahkan, namun sekaligus berharga
Karena itu tidak bisa dibeli dengan uang berapa pun
Bukannya tidak ingin untuk kembali bekerja
Namun, ketika anak yang jadi taruhannya
Aku juga menghadapi dilema
Entah, hal ini memang tidaklah mudah
Maka, di saat ini, aku hanya bisa menjalani saja
Sebagaimana aku tak pernah tahu
Apa rencana yang Maha Kuasa
Atas hidupku, atas hidup kami
Aku menikmati hari-hari berharga
Menghabiskan waktu yang berkualitas
Bersama anak kami
Hingga sampai suatu saat nanti
Bila Tuhan punya rencana lain untuk diriku
Apa pun itu, semoga aku siap
Tiada yang lebih indah
Selain menerima hidup hari ini apa adanya
Just the way it is
Don’t want to change a thing.
Singapore, June 22, 2009
-fon-
* tercipta di Raffles Place, kawasan CBD Singapura tgl 9 Juni 2009
I Love You
I love you
you love me
we're a happy family
with a great big hug and a kiss from me to you
wont you say you love me too!
Berpelukan, bercengkerama bersama Audrey
Dia menggandeng tanganku
Mengajakku bangkit dari tempat dudukku
Berdiri di sampingnya
Dan menari bersamanya
Ketika Barney bernyanyi
“With a great big hug”
Dia juga memelukku dan mencium pipiku
“Muaach…” Begitu katanya
Lalu kupeluk dia, dan kuucapkan
I love you too, Audrey
Kami pun bernyanyi lagi bersama
I love you
you love me
we're a happy family
with a great big hug and a kiss from me to you
wont you say you love me too!
Pernah dia mencakar wajahku dengan kukunya
Kadang dia menarik rambutku
Terutama kalau aku sepertinya sibuk dengan laptopku
Kadang dia lari memanggilku
“ Mama, Mama…, “ begitu dia memanggilku
Kadang dia bisa manisss sekali
Namun, terkadang dia pun bisa cuek sekali
Tak mau dengar perintahku
Namun, biar bagaimana,
Audrey I love you!
Mama just wants to spend more time with you
Main bersama Audrey
Menyuapi Audrey
Memandikan Audrey
Belajar bersama Audrey
Dan menghabiskan banyak waktu
Juga bersama papamu
Sampai Audrey besar nanti
I love you, Audrey
We love you, Baby…
Singapore, June 22, 2009
-fon-
* terinspirasi lagu film Barney and Friends: “ I Love You”. Sebagian besar puisi ditulis 9 Juni 2009 lalu, dilengkapi hari ini. We love you, baby…
you love me
we're a happy family
with a great big hug and a kiss from me to you
wont you say you love me too!
Berpelukan, bercengkerama bersama Audrey
Dia menggandeng tanganku
Mengajakku bangkit dari tempat dudukku
Berdiri di sampingnya
Dan menari bersamanya
Ketika Barney bernyanyi
“With a great big hug”
Dia juga memelukku dan mencium pipiku
“Muaach…” Begitu katanya
Lalu kupeluk dia, dan kuucapkan
I love you too, Audrey
Kami pun bernyanyi lagi bersama
I love you
you love me
we're a happy family
with a great big hug and a kiss from me to you
wont you say you love me too!
Pernah dia mencakar wajahku dengan kukunya
Kadang dia menarik rambutku
Terutama kalau aku sepertinya sibuk dengan laptopku
Kadang dia lari memanggilku
“ Mama, Mama…, “ begitu dia memanggilku
Kadang dia bisa manisss sekali
Namun, terkadang dia pun bisa cuek sekali
Tak mau dengar perintahku
Namun, biar bagaimana,
Audrey I love you!
Mama just wants to spend more time with you
Main bersama Audrey
Menyuapi Audrey
Memandikan Audrey
Belajar bersama Audrey
Dan menghabiskan banyak waktu
Juga bersama papamu
Sampai Audrey besar nanti
I love you, Audrey
We love you, Baby…
Singapore, June 22, 2009
-fon-
* terinspirasi lagu film Barney and Friends: “ I Love You”. Sebagian besar puisi ditulis 9 Juni 2009 lalu, dilengkapi hari ini. We love you, baby…
Thursday, June 18, 2009
Pesawat Kertas
Kemarin…
Ketika Audrey bermain dengan Maya, anak tetangga kami. Nanny-nya, sekaligus teman baikku, Rajes, membuatkan Audrey pesawat kertas. Maya juga mendapatkan yang sama. Pertama dibuat untuk Maya, lalu Maya menunggu selesainya milik Audrey. Setelah pesawat kertas Audrey selesai, Audrey langsung meloncat-loncat senang, sambil memainkan pesawat itu seolah menerbangkannya dengan tangan mungilnya.
Melihat hal tersebut, Maya ikut melakukan hal yang sama. Mereka berdua berjingkrak-jingkrak, tersenyum, tertawa ceria. Amat gembira! Hanya karena hal sederhana semacam itu, anak-anak langsung bisa mensyukurinya dan reaksinya: kegembiraan terpancar di wajah mereka. So simple!
Hari Ini…
Aku hanya berpikir, semakin dewasa, kita semakin sulit untuk dibuat gembira. Jangankan pesawat kertas, naik pesawat betulan dan berlibur pun, terkadang rasanya masih kuranggg saja. Liburan ke Bali bersama keluarga tidak disyukuri, malahan dengan iri melihat teman yang sedang enak-enaknya berlibur di Eropa, Amerika, Australia, Jepang, dan Korea.
Tidak pernah cukup!
Atau kalau tidak, melihat teman menenteng tas seharga puluhan juta rupiah, langsung letih lesu tak bersemangat, karena tas miliknya ‘hanya’ seharga lima ratus ribu rupiah saja.
Padahal kalau uang Rp.500 ribu itu dibelanjakan nasi bungkus seharga Rp.5.000 per bungkus, masih bisa memberi makan 100 anak panti asuhan atau 100 tuna wisma atau 100 Opa-oma panti jompo atau 100 pengemis yang menahan lapar karena sehari hanya bisa makan sekali saja mungkin?
Sedang minum kopi instan di rumah, yang dipikirkan, “ Hmm, enak kali ya… kalau minum kopi sambil makan cheese cake di gerai kopi ternama di mall ber-AC dan gaul…”
Lalu pergilah ke gerai kopi ternama itu. Setelah di sana, berpikir, lebih enak lagi kalau makan kue dan minum kopi di hotel berbintang lima di kawasan mewah Sudirman-Kuningan-Thamrin. Setelah pergi ke sana pun, keinginan bertambah, lebih enak lagi kalau high tea buffet di hotel ternama di Hongkong. Dan seterusnya…
Again, tidak pernah cukup…
Hari ini, biarlah kita belajar ‘disenangkan’ dengan hal-hal yang sederhana. Seperti halnya pesawat kertas yang diterima Audrey dan Maya. Mari kita syukuri hal-hal yang kita miliki.
Sulit memang untuk tidak melihat apa yang orang lain miliki. Namun, bila hanya sebatas melihat dan balik lagi ke realitas dan bersyukur kembali dengan apa yang diberikan-Nya, dipercayakan-Nya kepada kita, mudah-mudahan hidup ini jadi lebih indah. Seceria senyum anak-anak yang polos, kegembiraan yang terpancar di mata mereka, semangat yang hadir saat mereka melompat kegirangan, hanya karena mendapatkan pesawat kertas.
Diperlukan sikap hati yang penuh syukur, kaca mata yang juga berlensakan SYUKUR, untuk tetap dapat melihat semua kejadian, semua hal, dalam kerangka syukur. Smoga kita bisa menjadi pribadi yang tahu berterima kasih, tidak melulu ‘complain’. Kalau dulunya seperti itu, kamu tidak sendirian, mari kita sama-sama perbaiki diri, sehingga hidup akan lebih mudah untuk dijalani dengan sikap positif kita.
Singapore, 19 June 2009
-fon-
* mau belajar untuk terus bersyukur…. Sekecil apa pun, itu anugerah-Nya. Thank God!
Ketika Audrey bermain dengan Maya, anak tetangga kami. Nanny-nya, sekaligus teman baikku, Rajes, membuatkan Audrey pesawat kertas. Maya juga mendapatkan yang sama. Pertama dibuat untuk Maya, lalu Maya menunggu selesainya milik Audrey. Setelah pesawat kertas Audrey selesai, Audrey langsung meloncat-loncat senang, sambil memainkan pesawat itu seolah menerbangkannya dengan tangan mungilnya.
Melihat hal tersebut, Maya ikut melakukan hal yang sama. Mereka berdua berjingkrak-jingkrak, tersenyum, tertawa ceria. Amat gembira! Hanya karena hal sederhana semacam itu, anak-anak langsung bisa mensyukurinya dan reaksinya: kegembiraan terpancar di wajah mereka. So simple!
Hari Ini…
Aku hanya berpikir, semakin dewasa, kita semakin sulit untuk dibuat gembira. Jangankan pesawat kertas, naik pesawat betulan dan berlibur pun, terkadang rasanya masih kuranggg saja. Liburan ke Bali bersama keluarga tidak disyukuri, malahan dengan iri melihat teman yang sedang enak-enaknya berlibur di Eropa, Amerika, Australia, Jepang, dan Korea.
Tidak pernah cukup!
Atau kalau tidak, melihat teman menenteng tas seharga puluhan juta rupiah, langsung letih lesu tak bersemangat, karena tas miliknya ‘hanya’ seharga lima ratus ribu rupiah saja.
Padahal kalau uang Rp.500 ribu itu dibelanjakan nasi bungkus seharga Rp.5.000 per bungkus, masih bisa memberi makan 100 anak panti asuhan atau 100 tuna wisma atau 100 Opa-oma panti jompo atau 100 pengemis yang menahan lapar karena sehari hanya bisa makan sekali saja mungkin?
Sedang minum kopi instan di rumah, yang dipikirkan, “ Hmm, enak kali ya… kalau minum kopi sambil makan cheese cake di gerai kopi ternama di mall ber-AC dan gaul…”
Lalu pergilah ke gerai kopi ternama itu. Setelah di sana, berpikir, lebih enak lagi kalau makan kue dan minum kopi di hotel berbintang lima di kawasan mewah Sudirman-Kuningan-Thamrin. Setelah pergi ke sana pun, keinginan bertambah, lebih enak lagi kalau high tea buffet di hotel ternama di Hongkong. Dan seterusnya…
Again, tidak pernah cukup…
Hari ini, biarlah kita belajar ‘disenangkan’ dengan hal-hal yang sederhana. Seperti halnya pesawat kertas yang diterima Audrey dan Maya. Mari kita syukuri hal-hal yang kita miliki.
Sulit memang untuk tidak melihat apa yang orang lain miliki. Namun, bila hanya sebatas melihat dan balik lagi ke realitas dan bersyukur kembali dengan apa yang diberikan-Nya, dipercayakan-Nya kepada kita, mudah-mudahan hidup ini jadi lebih indah. Seceria senyum anak-anak yang polos, kegembiraan yang terpancar di mata mereka, semangat yang hadir saat mereka melompat kegirangan, hanya karena mendapatkan pesawat kertas.
Diperlukan sikap hati yang penuh syukur, kaca mata yang juga berlensakan SYUKUR, untuk tetap dapat melihat semua kejadian, semua hal, dalam kerangka syukur. Smoga kita bisa menjadi pribadi yang tahu berterima kasih, tidak melulu ‘complain’. Kalau dulunya seperti itu, kamu tidak sendirian, mari kita sama-sama perbaiki diri, sehingga hidup akan lebih mudah untuk dijalani dengan sikap positif kita.
Singapore, 19 June 2009
-fon-
* mau belajar untuk terus bersyukur…. Sekecil apa pun, itu anugerah-Nya. Thank God!
Monday, June 8, 2009
Mencari Kedamaian part 3
The Trial (Pengadilan)
In order to express your anger, you have to justify it to yourself first. You have to convince yourself that anger is deserved, appropriate, right. In the mental process that is anger, it is as if a trial occurs in your mind.
The accused stands in the dock in the court in your mind. You are the prosecutor. You know they are guilty but, to be fair, you have to prove it to the judge, your conscience, first. You launch into a graphic reconstruction of the ‘crime’ against you.
You infer all sorts of malice, duplicity, and sheer cruelty of intention behind the accused’s deed. You dredge up from the past their many other ‘crimes’ against you to convince your conscience that they deserve no mercy.
In the real court of law, the accused has a lawyer too who is allowed to speak. But in this mental trial, you are in the process of justifying your anger. You don’t want to hear pathetic excuses or unbelievable explanations or weak plea for forgiveness. The lawyer for the defence is not allowed to speak. In your one-sided argument, you construct a convincing case. That’s good enough. Conscience brings down the hammer and they’re GUILTY! Now we feel OK at being angry with them.
Many years ago, this is the process I saw happen in my own mind whenever I got angry. It seemed so unfair. So the next time I wanted to get angry with someone, I paused to let the ‘defence lawyer’ have their say. I thought up plausible excuses and probable explanations for their behaviour. I gave importance to the beauty of forgiveness. I found that conscience would not allow a verdict of guilty any more. It became impossible to judge the behaviour of another. Anger, not being justifiable, was starved of its food and died. (Ajahn Brahm’s book: Opening the Door of Your Heart).
Ajahn Brahm mengajarkan saya untuk tidak menghakimi terlalu cepat. Sambil memberikan kesempatan pembelaan kepada pengacara terdakwa untuk memberikan pembelaan, dengarkan pihak lain yang kita anggap bersalah dengan memberikan penjelasan yang paling mungkin diberikan. Bukan buat mencari alasan, bukan buat berdalih, namun untuk lebih mengerti, karena dalam kemarahan itu yang ada hanyalah pikiran saya yang terlanjur menghakimi pihak lain yang melakukan sesuatu yang saya tidak suka (read: saya benci). Namun, itu ada dalam pikiran saya dan belum tentu kenyataannya adalah demikian. Keindahan mengampuni, the beauty of forgiveness, menjadi sesuatu yang krusial dan indah, jika kita bisa menerapkannya. Sekali lagi, ini tidak mudah, namun kalau saja kita bisa menahan diri sebelum marah, mungkin akibatnya tidak sefatal kalau kita membombardir pihak yang kita anggap bersalah dengan kemarahan. Dan akhirnya, yang paling diuntungkan dengan tindakan mengampuni, adalah diri kita sendiri. Yang tadinya sesak nafas, sulit tidur, bisa menjalani hari-hari yang ceria dan menyenangkan karena sudah mengampuni. And last but not least, kita pun tidak luput dari kesalahan. Kita pun bukan seseorang yang selalu sempurna tanpa salah. Apa jadinya kalau kita tidak diampuni pihak lain karena kesalahan kita? Dan kalau Tuhan pun tidak mau mengampuni kita, apa jadinya? Kita pun melakukan banyakkkk kesalahan dalam hidup ini.
Tuhan yang penuh kasih pasti mau mengampuni setiap anak-Nya, asal kita bertobat, berbalik dari jalan yang keliru, dan mau berubah menjadi lebih baik lagi. Apakah kita mau memberikan maaf itu kepada orang lain? Apakah kita mau mengampuni dan merasakan the beauty of forgiveness? Jawabannya ada di tangan Anda … (-fon-)
Singapore, 8 June 2009
-fon-
* impressed by this article so much. Love it.
In order to express your anger, you have to justify it to yourself first. You have to convince yourself that anger is deserved, appropriate, right. In the mental process that is anger, it is as if a trial occurs in your mind.
The accused stands in the dock in the court in your mind. You are the prosecutor. You know they are guilty but, to be fair, you have to prove it to the judge, your conscience, first. You launch into a graphic reconstruction of the ‘crime’ against you.
You infer all sorts of malice, duplicity, and sheer cruelty of intention behind the accused’s deed. You dredge up from the past their many other ‘crimes’ against you to convince your conscience that they deserve no mercy.
In the real court of law, the accused has a lawyer too who is allowed to speak. But in this mental trial, you are in the process of justifying your anger. You don’t want to hear pathetic excuses or unbelievable explanations or weak plea for forgiveness. The lawyer for the defence is not allowed to speak. In your one-sided argument, you construct a convincing case. That’s good enough. Conscience brings down the hammer and they’re GUILTY! Now we feel OK at being angry with them.
Many years ago, this is the process I saw happen in my own mind whenever I got angry. It seemed so unfair. So the next time I wanted to get angry with someone, I paused to let the ‘defence lawyer’ have their say. I thought up plausible excuses and probable explanations for their behaviour. I gave importance to the beauty of forgiveness. I found that conscience would not allow a verdict of guilty any more. It became impossible to judge the behaviour of another. Anger, not being justifiable, was starved of its food and died. (Ajahn Brahm’s book: Opening the Door of Your Heart).
Ajahn Brahm mengajarkan saya untuk tidak menghakimi terlalu cepat. Sambil memberikan kesempatan pembelaan kepada pengacara terdakwa untuk memberikan pembelaan, dengarkan pihak lain yang kita anggap bersalah dengan memberikan penjelasan yang paling mungkin diberikan. Bukan buat mencari alasan, bukan buat berdalih, namun untuk lebih mengerti, karena dalam kemarahan itu yang ada hanyalah pikiran saya yang terlanjur menghakimi pihak lain yang melakukan sesuatu yang saya tidak suka (read: saya benci). Namun, itu ada dalam pikiran saya dan belum tentu kenyataannya adalah demikian. Keindahan mengampuni, the beauty of forgiveness, menjadi sesuatu yang krusial dan indah, jika kita bisa menerapkannya. Sekali lagi, ini tidak mudah, namun kalau saja kita bisa menahan diri sebelum marah, mungkin akibatnya tidak sefatal kalau kita membombardir pihak yang kita anggap bersalah dengan kemarahan. Dan akhirnya, yang paling diuntungkan dengan tindakan mengampuni, adalah diri kita sendiri. Yang tadinya sesak nafas, sulit tidur, bisa menjalani hari-hari yang ceria dan menyenangkan karena sudah mengampuni. And last but not least, kita pun tidak luput dari kesalahan. Kita pun bukan seseorang yang selalu sempurna tanpa salah. Apa jadinya kalau kita tidak diampuni pihak lain karena kesalahan kita? Dan kalau Tuhan pun tidak mau mengampuni kita, apa jadinya? Kita pun melakukan banyakkkk kesalahan dalam hidup ini.
Tuhan yang penuh kasih pasti mau mengampuni setiap anak-Nya, asal kita bertobat, berbalik dari jalan yang keliru, dan mau berubah menjadi lebih baik lagi. Apakah kita mau memberikan maaf itu kepada orang lain? Apakah kita mau mengampuni dan merasakan the beauty of forgiveness? Jawabannya ada di tangan Anda … (-fon-)
Singapore, 8 June 2009
-fon-
* impressed by this article so much. Love it.
Thursday, June 4, 2009
Beautifully Imperfect (Note for My Daddy)
Jakarta, 1 Juni 1993
Kutelepon Mamaku di Palembang, kota kami, our hometown begitu istilah facebook-nya, menanyakan kabar Papaku. Kata Mama, keadaannya membaik, memang Papa sudah lama terkena sakit jantung, dan sakit-sakit lainnya seperti hipertensi, kencing manis, dan beberapa komplikasi lainnya. Tepatnya sejak aku SMP kelas 3, kondisi kesehatan Papa semakin menurun. Mendengar kabar bahwa Papaku bisa makan dengan enak, aku senang, mudah-mudahan keadaannya semakin membaik.
Jakarta, 2 Juni 1993
Akhirnya berita yang tak pernah kuduga akan datang secepat itu, menyambar bak halilintar di siang hari. Hari itu, Papaku telah pergi untuk selamanya. Aku baru masuk kuliah di kala itu.
Kuhapus pelan air mataku sambil sesekali menangis keras sampai puas, dan kembali menangis sampai aku sendiri kehabisan suara. Aku tak pernah menyangka dia akan pergi di saat aku belum bisa membalas kebaikannya semasa hidup. Betul, dia tidak sempurna, bahkan hubungan kami sempat tegang karena dia keras dan kekerasan itu sedikit banyak menurun di diriku yang tengah memasuki masa ABG saat itu (tepatnya sekitar SMP-SMA), namun akhirnya, puji Tuhan, kami berhasil menjembatani perbedaan kami dan menjadikan hubungan kami semakin damai. Satu hal yang tak pernah kusesali adalah perbaikan hubungan kami sebelum Papa meninggal. Kalau tidak, mungkin penyesalan itu lebih dalam lagi.
Singapore, 2 Juni 2009
Enam belas tahun setelah Papa meninggal. Ya… Hari ini tepatnya, Papa sudah meninggalkan kami selama 16 tahun. Ada keharuan tersisa ketika kuingat bahwa dia mengajarkan juga banyak hal, seperti filosofi hidup, bagaimana aku harus hidup benar. Memang dia memiliki prinsip keras, seperti harus menghormati orang tua, harus menyelesaikan sekolah baru fokus pada hal lainnya, dan banyak hal yang mungkin terkadang sulit dimengerti diriku di saat remaja, karena merasa dibatasi. Ketika seorang teman pria menelpon, papa mewanti-wanti kembali untuk tidak berpacaran terlalu dini, dia ingin aku konsentrasi di sekolah. Waktu itu mungkin kutanggapi dengan agak kesal, karena sepertinya Papa koq membatasi ruang gerakku, termasuk pergaulanku.
“ Kan cuma teman, Pa… Apa salahnya berteman?”
Sekarang aku mengerti bahwa maksudnya baik, dia tidak ingin aku bergaul dengan orang yang bukan-bukan, dia hanya ingin melihat kesuksesanku dalam menyelesaikan pendidikanku.
Dan aku masih ingat, ketika kami bersama-sama membahas tulisan di dinding rumah kami, suatu filosofi hidup Tionghoa yang kupelajari bersama dia karena ketika itu aku kursus bahasa Jepang dan belajar huruf Kanji, sekaligus bertanya kepada Oom yang pintar bahasa Mandarin, sehingga aku juga belajar bunyi huruf-huruf itu dalam bahasa Mandarin… (Sekarang mungkin huruf itu terlupakan, karena jarang dipakai, namun kata-kata dan pegangan untuk hidup, masih tersimpan dalam hatiku).
Dan dari Papa, aku kira hobby menyanyiku juga menurun darinya. Karena dulu Papa juga suka nyanyi, bahkan dia punya band sendiri (terbayang aku berkesempatan bernyanyi bareng teman-teman di persekutuan doa dan band rohani di Jakarta, love u and miss you all, guys…).
Sekarang, setelah 16 tahun kepergiannya, memorinya tak lepas dari hatiku. Lagi-lagi bukan karena kesempurnaan hubungan kami, tetapi karena ketidaksempurnaannya. Kalau kata iklan di Singapura ini, beautifully imperfect. Ketidaksempurnaan hubungan kami, menjadikan itu indah…
Sekarang, sebagai orang tua, aku pun menyadari, bahwa tidak gampang menjadi orang tua di zaman ini. Semoga aku bisa mewariskan filosofi hidup yang kuat buat anakku di kemudian hari selain juga iman yang kuat akan Dia.
Papa, smoga Papa tenang di atas sana. I’m sure you are! Dan waktu yang berjalan tidak membuat kami lupa akan Papa, namun tetap terpatri dalam hati kami, anak-anakmu. Terima kasih untuk relasi yang indah dan tidak sempurna itu, the beautifully imperfect relationship, yang membuatku terus ingat bahwa kita berbeda namun tetap bahagia karena dipersatukan dalam keluarga ini.
Singapore , 4 June 2009
-fon-
* Memory of my Daddy: Jodikin, 16 years after he passed away in 1993.
Kutelepon Mamaku di Palembang, kota kami, our hometown begitu istilah facebook-nya, menanyakan kabar Papaku. Kata Mama, keadaannya membaik, memang Papa sudah lama terkena sakit jantung, dan sakit-sakit lainnya seperti hipertensi, kencing manis, dan beberapa komplikasi lainnya. Tepatnya sejak aku SMP kelas 3, kondisi kesehatan Papa semakin menurun. Mendengar kabar bahwa Papaku bisa makan dengan enak, aku senang, mudah-mudahan keadaannya semakin membaik.
Jakarta, 2 Juni 1993
Akhirnya berita yang tak pernah kuduga akan datang secepat itu, menyambar bak halilintar di siang hari. Hari itu, Papaku telah pergi untuk selamanya. Aku baru masuk kuliah di kala itu.
Kuhapus pelan air mataku sambil sesekali menangis keras sampai puas, dan kembali menangis sampai aku sendiri kehabisan suara. Aku tak pernah menyangka dia akan pergi di saat aku belum bisa membalas kebaikannya semasa hidup. Betul, dia tidak sempurna, bahkan hubungan kami sempat tegang karena dia keras dan kekerasan itu sedikit banyak menurun di diriku yang tengah memasuki masa ABG saat itu (tepatnya sekitar SMP-SMA), namun akhirnya, puji Tuhan, kami berhasil menjembatani perbedaan kami dan menjadikan hubungan kami semakin damai. Satu hal yang tak pernah kusesali adalah perbaikan hubungan kami sebelum Papa meninggal. Kalau tidak, mungkin penyesalan itu lebih dalam lagi.
Singapore, 2 Juni 2009
Enam belas tahun setelah Papa meninggal. Ya… Hari ini tepatnya, Papa sudah meninggalkan kami selama 16 tahun. Ada keharuan tersisa ketika kuingat bahwa dia mengajarkan juga banyak hal, seperti filosofi hidup, bagaimana aku harus hidup benar. Memang dia memiliki prinsip keras, seperti harus menghormati orang tua, harus menyelesaikan sekolah baru fokus pada hal lainnya, dan banyak hal yang mungkin terkadang sulit dimengerti diriku di saat remaja, karena merasa dibatasi. Ketika seorang teman pria menelpon, papa mewanti-wanti kembali untuk tidak berpacaran terlalu dini, dia ingin aku konsentrasi di sekolah. Waktu itu mungkin kutanggapi dengan agak kesal, karena sepertinya Papa koq membatasi ruang gerakku, termasuk pergaulanku.
“ Kan cuma teman, Pa… Apa salahnya berteman?”
Sekarang aku mengerti bahwa maksudnya baik, dia tidak ingin aku bergaul dengan orang yang bukan-bukan, dia hanya ingin melihat kesuksesanku dalam menyelesaikan pendidikanku.
Dan aku masih ingat, ketika kami bersama-sama membahas tulisan di dinding rumah kami, suatu filosofi hidup Tionghoa yang kupelajari bersama dia karena ketika itu aku kursus bahasa Jepang dan belajar huruf Kanji, sekaligus bertanya kepada Oom yang pintar bahasa Mandarin, sehingga aku juga belajar bunyi huruf-huruf itu dalam bahasa Mandarin… (Sekarang mungkin huruf itu terlupakan, karena jarang dipakai, namun kata-kata dan pegangan untuk hidup, masih tersimpan dalam hatiku).
Dan dari Papa, aku kira hobby menyanyiku juga menurun darinya. Karena dulu Papa juga suka nyanyi, bahkan dia punya band sendiri (terbayang aku berkesempatan bernyanyi bareng teman-teman di persekutuan doa dan band rohani di Jakarta, love u and miss you all, guys…).
Sekarang, setelah 16 tahun kepergiannya, memorinya tak lepas dari hatiku. Lagi-lagi bukan karena kesempurnaan hubungan kami, tetapi karena ketidaksempurnaannya. Kalau kata iklan di Singapura ini, beautifully imperfect. Ketidaksempurnaan hubungan kami, menjadikan itu indah…
Sekarang, sebagai orang tua, aku pun menyadari, bahwa tidak gampang menjadi orang tua di zaman ini. Semoga aku bisa mewariskan filosofi hidup yang kuat buat anakku di kemudian hari selain juga iman yang kuat akan Dia.
Papa, smoga Papa tenang di atas sana. I’m sure you are! Dan waktu yang berjalan tidak membuat kami lupa akan Papa, namun tetap terpatri dalam hati kami, anak-anakmu. Terima kasih untuk relasi yang indah dan tidak sempurna itu, the beautifully imperfect relationship, yang membuatku terus ingat bahwa kita berbeda namun tetap bahagia karena dipersatukan dalam keluarga ini.
Singapore , 4 June 2009
-fon-
* Memory of my Daddy: Jodikin, 16 years after he passed away in 1993.
Subscribe to:
Posts (Atom)