Monday, June 22, 2009

Dua Dollar-an

Keponakan saya, saat study tour ke Singapura beberapa tahun yang lalu, memiliki kata-kata favorite ini, “ Murah koq cuma dua dollar-an…” Yang mereka maksudkan adalah harga roti bread talk di sini (sebetulnya sih kurang dari dua dollar) dan mereka terpingkal-pingkal sesudahnya karena mereka menirukan si guru pembimbing yang agak aneh bicaranya karena tidak sempurna melafalkan huruf ‘r’ malah melafalkannya sebagai huruf ‘L’. (Mohon maaf, jika ada yang tersinggung, bukan maksud hatiku, hanya menceritakan apa yang dianggap lucu keponakanku waktu itu…namanya juga anak-anak).

Dua dollar, lembaran uang kertas yang sering dibelanjakan di Singapura ini, terbilang cukup lumayan juga nilainya. Maksud saya, ketika makan di food court atau hawker center, dua dollar terkadang cukup membeli mie, nasi ayam (chicken rice), bacang, nasi lemak dan sebagainya. Ketika ke mall, harga pun bergeser. Di mall di daerah Orchard, biarpun makan di food court, ada yang men-charge harga minuman air mineralnya 2 dollar-an. 2 dollar dengan kurs saat ini sekitar Rp. 14.500,- (empat belas ribu lima ratus rupiah). Tampaknya kecil, tak bermakna. Di sini pun bila sudah masuk mall, angka ini agaknya terbilang kecil. Namun di wet market atau di hawker center, lumayanlah…Not bad!

Yang agak mengganggu hati saya ketika saya ke gereja. Maaf, lagi-lagi saya tidak bermaksud menyinggung siapa pun ketika saya tergerak untuk menuliskan hal ini… Saya juga tidak bermaksud menghakimi isi kantong orang-orang di sekitar saya ketika duduk di bangku panjang di gereja…Kalau ada yang berasa, saya mohon maaf sebelumnya and God , please forgive me…

Sudah berkali-kali saya lihat kiri-kanan saya ketika kolekte di gereja (saya Katolik, jadi saya ke gereja Katolik), tanpa sengaja mata saya melihat lembaran dua dollar-an yang masuk ke kotak kolekte. Atau kalau tidak, minggu kemarin malah lebih heboh lagi, ketika sebelah saya sibuk mengorek-ngorek dompet logamnya untuk mencari recehan yang mau diberikan di kolekte pertama.
Hati saya agak miris… Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap persembahan janda miskin yang menyenangkan hati Tuhan, memang itu yang menyenangkan hati-Nya, memberi dari ketulusan dan kekurangannya, tapi ya koq dua dollar-an? Begitu saya membatin…
Bila itu yang terbaik yang dimiliki, atau dengan kondisi perekonomian sekarang tengah menghadapi PHK dan sebagainya, tentu saya mengerti. Amat mengerti malah! Saya pun pernah berada pada kondisi di-PHK dan tak ada kerja… Jadi, memberikan yang terbaik, dari dompet saya, bisa hanya Rp. 5.000,- saja.
Yang agak mengganggu hati saya adalah beberapa orang yang saya lihat di gereja, berdandan keren, ber-tas mewah dengah harga di atas 15 juta rupiah, juga turut memberikan 2 dollar di gereja. Aduhhh, hati saya langsung ,” Nyess…” Bukan kenapa-napa, koq ya rasanya jomplang banget…Pake tas ribuan dollar SGD, tapi koq di gereja cuma 2 dollar-an?
Mungkin saya terlalu idealis… Berharap bahwa orang yang seharusnya sudah merasakan kasih-Nya dengan kelimpahan materi, mau berbagi lebih bagi gereja. Atau ini memang kebiasaan di Singapura ini? Entahlah… Namun, saya merasa koq hati saya agak berontak ketika melihat orang yang berdandan parlente dan keren dengan barang-barang branded hanya memberi kolekte dua dollar-an…

Saya juga bukan orang yang kaya raya, namun selayaknya saya pikir kalau di supermarket atau sekali makan di restaurant paling tidak butuh minimal SGD 50, mbok ya kolektenya tinggian dikit napa? Hehehe… 5 dollar keq…10 dollar keq… (Tapi ada juga kesempatan di mana saya dikejutkan oleh seseorang yang tidak berdandan lebay, tapi langsung mengusung SGD 50 dollar ke kantong kolekte)…Amazing!

OMG! Oh My God…Koq aku jadi menghakimi penampilan orang dan penghasilan orang ya, Tuhan? Sebetulnya aku hanya ingin bersuara, agar mereka yang dilimpahi materi memberikan ekstra buat gereja. Atau paling tidak, kalau tidak mau lewat gereja, mereka bisa juga menyumbang kepada saudara, teman, yang membutuhkan bantuan keuangan…
Tokh mereka sudah menikmatinya…
Memang di Katolik tidak ada keharusan untuk menyumbang berapa persen dari penghasilan, namun itu terkadang disalahartikan dengan menyumbang sesuka hati…Yang terkadang asal dan tidak layak…
Aku tetap merindukan suatu gereja partisipatif..Di mana yang kaya, tidak menghamburkan uangnya percuma untuk barang-barang konsumtif, melainkan berbagi dengan mereka yang berkekurangan…Karena terkadang hidup itu bisa amat sangat tidak adil… Di suatu rumah keluarga kaya di bilangan Pondok Indah, si anjing mewah makan ayam fried chicken dari gerai ternama. Sementara di gang sempit juga di kawasan Jakarta Selatan, ada keluarga yang saking miskinnya tak bisa makan nasi hari itu… Si ibu memasak bubur untuk mengirit beras, karena mereka tak mampu menanak nasi…

Hidup itu sering kali tidak seimbang… Kelebihan di satu pihak dihadapkan dengan kekurangan yang amat sangat di pihak lain… Dua dollar di kantong seseorang bisa jadi hanyalah uang makannya untuk hari itu, sedangkan dua dollar di kantong seorang yang lain lagi, hanyalah recehan yang tak cukup membayar parkir mobil Ferrari-nya di kawasan elite di Singapura.
Ironis, memang…

Seratus ribu rupiah, dibelanjakan di supermarket saat ini bisa dapat apa saja sih? Seratus ribu rupiah, bisa berarti kecil bagi seseorang yang menikmati hidup layak. Mungkin hanya sekali makan malam plus secangkir kopi di gerai kopi yang asik punya.Namun, seratus ribu rupiah, bisa berarti banyak bagi mereka yang betul-betul miskin, kekurangan dan butuh bantuan. Mereka yang menangis menahan lapar, mereka yang tak tahu ke mana harus lari karena dililit hutang akibat anaknya masuk Rumah Sakit, tanpa ada kemampuan membayar hutang tersebut…

Ah, saya masih memimpikan gereja partisipatif.. Di mana yang kaya memberikan dari kelebihannya, dari kemapanannya, untuk orang-orang yang kekurangan…
Andai saja itu bisa jadi nyata…
Namun, saya hanya bisa berusaha dan berdoa…
Mudah-mudahan, kalau diberi kemudahan dalam rezeki, kita bisa berbagi… Dan ingat ada orang-orang yang miskin papa, mereka juga butuh perhatian dan kasih kita…

Memang, segala sesuatu tidak bisa selalu diukur dengan uang. Uang bukan segala-galanya. Uang bisa berdampak negatif kalau terlalu dikejar dan terlanjur menjadi rakus akan dia.
Tapi, uang juga bisa jadi sarana kasih untuk membantu sesama.
Pilihan ada di tangan kita… Dua dollar-mu hari ini, seratus ribumu hari ini, mau kau apakan?
It’s your choice, my friend…

Singapore, 23 June 2009
-fon-
* Again: gak bermaksud menyinggung siapa pun…Cuma pengen that someday, ada kesadaran lebih untuk berpartisipasi sehingga gereja partisipatif tercipta… Yang lebih memberikan kepada yang membutuhkan…Still hoping and praying…

No comments:

Post a Comment