*** Episode: Terima Kasih, Tuhan!
Previously on Thank God I Found You part 21 (Episode: Saling Setia).
Vita menjalani hari-harinya di Singapura dengan tidak bersemangat. Dia kuatir akan hasil tes yang akan diterimanya dari Dr. Ng di Gleneagles Hospital. Dia harus menghadapi semuanya sendirian. Begitu pikirnya. Namun, pada kenyataannya, setelah Vita memasang sikap cuek atas segala atensi dari Jason berupa telepon maupun SMS, membuat dirinya tak pernah menyangka kalau Jason akan menyusulnya ke Singapura. Vita tengah berbahagia, di tengah semua kegalauan yang terjadi akibat tumor di otaknya. Dan dia bersiap menghadapi apa pun hasilnya, selama dia dan Jason saling setia. Sementara Susi dan Mama Willem telah bertemu di rumah Susi yang terletak di kawasan PIK. Terjadi pertikaian di sana, Susi terkena pecahan kaca dari vas bunga yang pecah akibat lemparan Mama Willem, sekaligus menyadarkannya bahwa Willem sudah pergi dan itu kenyataan yang harus Mamanya terima. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Simak di episode berikut ini…
Episode: Terima Kasih, Tuhan!
Mama Willem sudah pergi dari rumah keluarga Susi di PIK. Kepergiannya tidak dalam kondisi marah-marah, melainkan hati yang lebih tenang. Wajah yang diliputi kedamaian sudah memancar, mencerminkan emosinya yang sudah mereda. Susi pun merasa tenang. Setidaknya ini rumahnya sendiri. Rumah ayahnya. Dan kenyataan bahwa ia hamil tak menghalangi penerimaan yang luar biasa dari pihak keluarganya. Termasuk Tante Reni yang selama ini dengan terpaksa dia panggil Mama.
Ijah yang dibawa serta dari rumah Mama Willem sudah mulai berbenah. Membenahi kamar barunya yang kecil namun tertata rapi. Membenahi keperluan majikan barunya – kali ini dengan kelegaan karena sudah mendapat persetujuan dari Nyonya besarnya sebelumnya. Dia pun sudah minta maaf tadi pada Mama Willem, untuk kemudian memohon izin agar dia bisa bekerja melayani Susi di rumah ini. Mama Willem pun mengangguk setuju, walaupun wajahnya belum menyunggingkan senyuman ketika mengatakan hal itu, namun setidaknya tidak lagi ada penolakan.
Susi mulai memasuki kamarnya lagi. Putih. Bersih. Rapi. Karena seprai baru diganti saat dia ada di ruang tamu tadi bersama Mama Willem. Handuk, taplak meja, serta keset kaki, semua pun serba putih juga baru diganti. Mengingatkan orang yang melihatnya pada hotel berkelas, setidaknya bintang empat atau lima. Susi berbaring, memegang perutnya. Berbisik perlahan: “ Mama sayang kamu, Nak…” Lalu memejamkan matanya. Tertidur segera. Keletihan fisik dan mental cukup menderanya selama ini. Istirahatlah, Sus…
***
Aku sudah tiba di ruangan Dr. Ng, jantungku masih berdegup kencang. Jason berusaha menenangkan aku dengan menggenggam tanganku lebih erat. Aku merasakan aliran hangat penuh cinta dari telapak tangannya. Meski hanya sebentar, aku sempat berucap syukur karena aku bahagia menikah dengannya.
Dr. Ng dengan senyum simpatiknya kembali mempersilakan kami duduk. Wajahnya yang selalu penuh senyuman itu membuatku bingung juga. Bagaimana jika dia harus menyampaikan kabar buruk kepada pasiennya? Apa masih dengan penuh senyuman seperti itu juga? Aku hanya berharap, semoga hasilnya tidak seburuk yang kubayangkan!
Dr. Ng langsung bicara pada pokok permasalahannya. Seolah dia tahu aku begitu tak sabar menunggu hasil hari ini. Juga untuk mempersingkat waktu rasanya, karena kulihat hari ini antrian pasiennya lebih daripada biasanya.
“ The result is better than expected. It seems that what we did last time has worked out quite well. Your tumor is smaller now. The medicine brings a positive result.” Dr Ng tersenyum lebar.
Kukucek mataku hampir tak percaya. Benarkah? Ini bukan mimpi, kan? Tumorku mengecil? Walaupun bukan dalam ukuran pengecilan yang signifikan, tetapi kurasakan kelegaan. Karena ini bukan jenis tumor yang berbahaya, lanjut Dr. Ng lagi. Jadi, untuk seterusnya, aku diharapkan minum obat tersebut enam bulan lagi, sambil melihat hasilnya kemudian. Aku memeluk Jason erat. Tak lama, aku menyalami Dr. Ng, mengucapkan terima kasih. Terima kasih aku menemukan dokter yang baik hati dan simpatik ini, Tuhan. Dan terima kasih untuk tidak membiarkanku sendirian. Malah mengirimkan Jason bersamaku…
Thank God!
***
Dua puluh bulan kemudian…
Susi mendekap Wilsy erat. Dalam gendongannya, Wilsy masih tertidur. Sementara Susi sibuk mempersiapkan gelas-gelas plastik untuk pesta ulang tahun Wilsy. Tak lama, tangan yang lembut itu menyentuh bahunya.
“ Mama gantian gendong dulu. Nanti dia tak nyenyak gara-gara gerakanmu yang sibuk itu,” ujarnya ceria.
Susi menoleh. Mengangguk setuju dan menyerahkan Wilsy pada neneknya. Mama Willem menggendong Wilsy. Annabelle Wilsy. Cucunya dari Willem. Wilsy sendiri adalah gabungan nama Willem dan Susy.
Pesta berlangsung ceria. Meriah. Dan tentu saja tetap mewah… Karena Mama Willem dan Susi hanya ingin memberikan yang terbaik bagi Wilsy tentunya…
Susi tetap tinggal di rumah kedua orang tuanya. Namun, sekitar seminggu dalam sebulan, dia akan tinggal di rumah Mama Willem. Susi saat ini kembali bekerja aktif, membantu di perusahaan orang tua Willem sebagai Marketing Director. Dia pun berubah menjadi seorang wanita yang baik, keibuan, dan amat mengasihi Wilsy. Siapa bilang orang tidak bisa berubah? Ternyata hadirnya Wilsy dalam hidupnya serta seluruh kumpulan kejadian sebelumnya telah mengubahnya. Menjadikannya dewasa, berpaling dari jalan yang keliru, dan memutuskan untuk hidup benar…
***
Aku bergerak perlahan. Berjingkat sedikit agar tidak membangunkan Jason. Aku pengin pipis! Jam di dinding kulihat menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Gerakanku tanpa sengaja menarik selimutnya. Dia membuka matanya.
“ Vit, mau ke mana? “
“ Toilet. Mau pipis, “ Ujarku. “ Udah, kamu bobok lagi sana.”
“ Aku temani, ya…” Ujarnya lagi.
“ Aduh, Jasonnn.. Kayak mau ke mana ajaaa, lagian toilet juga di dalam kamar ini…” Aku terkekeh geli.
“ Aku mau menemani istri dan anakku ke toilet.” Katanya lagi sambil mengelus perutku perlahan.
Aku hanya tersenyum sambil membetulkan selimutnya serta menyuruhnya tidur kembali. Memang sejak kehamilan pertamaku ini diketahuinya, dia sungguh protektif terhadapku dan kandunganku- anak kami.
Di toilet, aku tersenyum sendiri. Membayangkan perjalanan hidupku. Kehamilanku di atas usia 40. Dan tumor di kepalaku? Sudah hilang berkat obat ajaib Dr. Ng…
Aku mensyukuri semuanya ini sebagai berkat yang tak ternilai dalam hidupku. Kuelus perutku perlahan. “ I love you, my child.” Kubisikkan perlahan, namun kuyakin dia menyadari cintaku. Cinta papanya, Jason. Dan aku menggumam: thank God I found you, Jason!
Aku kembali ke kamar. Menarik selimut Jason dan membaginya dengan diriku sendiri. Aku tahu, hidup ini adalah sekumpulan badai yang datang dan pergi. Mengharapkan hidup tenang, tanpa riak, adalah hal yang mustahil. Jadi, tak ada yang lebih baik yang bisa kulakukan selain menikmati hari ini, menikmati semua cinta kasih yang kurasakan dari Tuhan… Dari Jason… Menikmati segala bentuk kebaikan, termasuk janin yang ada di kandunganku saat ini, yang akan lahir sekitar empat bulan lagi… Sambil berdoa pula mohon kekuatan…Ketika berita semacam tumor waktu itu datang kembali atau berita-berita yang lebih berat daripada berita itu sekali pun… Kuingin punya kesabaran melewati semuanya dan tak lekas putus asa…Walaupun aku pasti dipenuhi kegelisahan dan ketakutan sebagaimana ketika kuketahui tumor berdiameter 3 cm itu atau ketika aku belum juga menemukan pasangan hidupku sementara usiaku beranjak ke-38 tahun, namun aku rasa aku tak perlu kehilangan harapan. Karena aku punya Dia… Thank God I Found YOU in my life, God! Thanks for bringing joy and happiness in Jason, in our child… Dan memenuhi setiap sudut hatiku dengan keharuan yang menyesakkan dada.
Air mata menetes di pipiku. Ini air mata bahagiaJ
Thank God…Terima kasih, Tuhan!
TAMAT.
Ho Chi Minh City, 11.11.2010
-fon-
* terima kasih untuk setiap atensi dan perhatian pada cerber ini. Aku merasakan tanggapan yang luar biasa dari teman-teman atas cerber sederhana ini. Sampai jumpa di cerber-cerber berikutnya. Maaf bila masih ada kekurangan di sana-sini, anggaplah ini acara ‘welcome back’ setelah sekian tahun vakum menulis cerberJ