*** Episode: Saling Setia
Previously on Thank God I Found You part 20 (Episode: Melintasi Fase Kehidupan).
Susi positif hamil. Kemudian, dia mengajak Ijah untuk ikut serta membantunya kelak. Ijah setuju, memesan taksi, lalu berkemas pergi. Mama Willem kemudian tahu kalau mereka kabur dari rumah dan mengejar mereka sampai PIK. Di Ruko Cordoba, taksi Susi dipepet oleh Mama Willem. Lalu, bagaimana pengejaran Mama Willem dan kelanjutan pertikaiannya dengan Susi? Juga Vita yang diminta scan sekali lagi oleh Dr. Ng, datang ke Singapura sendirian lalu berniat melakukannya. Terjadi perubahan sikap yang sangat signifikan, karena Vita merasa dia harus menanggung semua beban penyakitnya ini seorang diri. Dia merasa menyesal harus mengalami semua ini di awal pernikahannya dengan Jason. Merasa stress,lalu berubah sikap menjadi lebih emosional dan pemarah. Bagaimana pula kelanjutan perkembangan penyakitnya, juga hidup perkawinannya dengan Jason? Simak di episode berikut ini…
Episode: Saling Setia
Starbucks Tanglin Mall, tak jauh dari Gleneagles Hospital, Singapura.
Pagi itu kuaduk green tea creamy frappuccino-ku dengan tak bersemangat. Scan sudah kulakukan. Besok adalah hari pengambilan hasil, jadi kesabaranku harus diperpanjang satu hari lagi. SMS Jason sudah masuk untuk ke-5 kalinya dari pagi pukul 7 waktu Singapura. Sayangnya, tak satu pun sempat kubalas. Atau tepatnya, tak satu pun ingin kubalas. Jadi, kubiarkan saja. Upaya Jason untuk menelponku agaknya sia-sia juga, karena ‘handphone’ dengan sengaja kupilihkan posisi ‘silent’ karena aku memang sedang ingin sendiri-tak mau diganggu. Biarkan diriku tenggelam dalam setiap anganku, dalam setiap resahku, dalam setiap gundah yang tiba-tiba memenuhi kepalaku dan sesekali membuatku mual. Semakin bertambah pusing aku. Aku tak menyangka kalau tumor ini berakibat begitu parah. Bukan hanya pada kondisi fisikku, melainkan pada kondisi kejiwaanku!
Kulewati hari perlahan. Dari Tanglin Mall aku berjalan santai menuju Singapore Botanical Garden yang tak jauh dari RS Gleneagles. Kunikmati semua keindahan taman itu yang memang ditata rapi. Hari masih pagi, sehingga aku bebas menghabiskan waktuku perlahan. Aku menunggu bus yang membawaku ke daerah Bugis. Kunaiki bus no.7 yang merupakan rute cukup favorit. Melewati Orchard Road, menyaksikan setiap sudutnya. Dari yang paling ujung, sampai arah Plaza Singapura. Mal-mal berjejer. Isetan Scotts, Tang’s, Lucky Plaza, Paragon, di kiri jalan. Sementara Forum Shopping Mall, Wheelock Place yang terkenal dengan toko buku Borders itu, ION Orchard, Ngee Ann City dengan Takashimaya-nya, Wisma Atria di kanan jalan. Melewati mal-mal terbaru di Orchard, tepatnya di seberang Central Point ada Orchard Central dan Sommerset 313. Melewati Istana dan Plaza Singapura. Indah, pemandangan yang hampir sempurna. Rapi, tak bercela. Tetapi, hati…mengapa kau masih begitu gundah?
Lalu bus tak lama melalui jalan-jalan menuju City Hall MRT. Ada Bras Basah Road, dekat dengan lokasi museum-museum di Singapura, termasuk museum nasionalnya. Ada Raffles City yang jika masuk ke arah City Hall MRT-nya, akan menemui city link mall, menggabungkan enam mall sekaligus di sana. Benar-benar satu perencanaan yang matang. Terlepas dari apa kata orang tentang Singapura, bahwa Singapura memang ‘hanya’ sebuah kota kecil jika dibandingkan dengan Jakarta misalnya, tetapi dia mampu membuktikan diri lewat keteraturan dan kerapian yang dimilikinya. Walaupun, bagi segelintir orang lainnya, kerapian dan keteraturan itu hanyalah siksaan belaka. Karena mereka jadi tak bebas merokok dan melakukan hal lainnya sesuka hati mereka.
Di Bugis Village, aku berhenti. Kumasuki keramaian yang selalu ada di jalan itu. Jalan yang menuju ke sebuah kelenteng yang selalu ramai dikunjungi, dikenal dengan nama Mandari She Ma Lu. Juga ada sebuah kuil Hindu yang ada di arah sana. Dalam jarak berjalan kaki, sebetulnya di arah belakang Raffles Hospital, ada sebuah mesjid juga. Dan gereja pun ada tak jauh dari sana, tepatnya di Ophir Road. Sungguh perpaduan keragaman yang melegakan hati, di mana kerukunan umat beragama dan kebebasan memilih suatu agama dipertahankan di sana. Aku terus menyusuri Bugis Village. Tanpa bermaksud membeli apa pun. Hanya mungkin kalau melihat oleh-oleh yang cukup menarik. Sedikit saja, karena aku tak berniat membeli terlalu banyak. Kulanjutkan putar-putar tanpa tujuan ini. Tujuan utamaku sebetulnya hanyalah melelahkan badanku, sehingga ketika pulang aku bisa langsung tidur tanpa perlu memikirkan kondisiku secara berlebihan. Tetapi, apa aku mampu? Aku tersenyum kecut. Kenyataan yang pahit memang sulit diterima. Apalagi dalam kesendirian dan takut akan kehilangan semua yang baru kunikmati!
***
Sementara itu, di rumah Susi di PIK sudah terjadi kegaduhan.
Susi memang menuju ke rumahnya, seperti rencananya semula. Dia tahu, tak lama kemudian Mama Willem pasti akan menyusulnya. Kali ini, dia tak berniat menghindarinya. Yang dia inginkan hanyalah penyelesaian masalah antara mereka.
Papa ada di rumah. Kebetulan. Jadi, Susi langsung menceritakan semuanya di hadapan Papa dan Tante Reni. Dia menceritakan singkatnya saja, bahwa ia hamil sementara ayah dari anaknya masih belum jelas. Willem pun sudah meninggal dan ibunya yang emosi tengah mengejarnya. Papa dan Tante Reni setengah tercengang, karena Susi tak pernah ada kabar berita, tiba-tiba pulang dengan kisah semacam ini. Tetapi, Papa Susi sungguh bertindak tegas dan langsung menerima anaknya kembali.
“ Apa pun yang terjadi, kamu tetap anak Papa. Asalkan kamu berjanji tidak mengulangi kesalahan kamu lagi, Nak. Dan mau memperbaiki diri demi jabang bayi yang ada dalam kandunganmu. Itu sudah cukup bagi Papa. Papa senang sekali jika itu terjadi di kemudian hari. Papa sendiri sudah sangat menunggu-nunggu seorang cucu.” Ungkap Papa dengan bijaksana.
Susi menyeka air matanya perlahan. Entah kehamilan ini yang menjadikannya sentimentil, entah memang dia sangat rindu sosok Papa yang dia dambakan selama ini. Papa yang selalu menerima dia, sejahat atau selicik apa pun dia, Papa tetap menerimanya. Tambah kuatlah keyakinan dalam hatinya untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik lagi.
Keharuan itu tidak berlangsung lama, karena seperti yang sudah diperkirakan, Mama Willem datang ke rumah Susi. Wajahnya berang, memancarkan amarah. Tampak sekali kalau dia tidak terima, walaupun memang tindakannnya menculik dan menyekap Susi di rumahnya tidak bisa dibenarkan. Namun, dia sendiri sudah kehilangan akalnya, harus bagaimana sepeninggal anak kesayangannya, Willem.
Mama Willem memasuki ruang tamu tanpa melepas sepatunya. Dihentakkannya kakinya dengan kesal, sambil berteriak:
“ Susi, keluar kamu! Sudahilah main kucing-kucingan ini. Tante sudah tidak mau lagi kejar-kejaran sama kamu.”
“ Ada apa ini, Bu? Datang-datang koq langsung teriak-teriak begitu? Tenang dulu, sabar dulu.” Papa Susi berusaha menenangkan Mama Willem. Tetapi agaknya upayanya percuma saja, karena malahan Mama Willem jadi semakin histeris dan berkata:
“ Tenang? Sabar? Bapak tahu tidak, kalau anak saya sudah meninggal. Dan Bapak suruh saya tenang?” Tiba-tiba diambilnya vas bunga yang cukup mahal di meja di ruang tamu itu dan dilemparnya ke lantai. Tangisan segera pecah dan membelah kesunyian rumah itu.
Susi terdiam. Baru dilihatnya betapa Mama Willem mengalami luka sekaligus duka yang teramat parah sepeninggal Willem. Memang, ditinggal orang yang dicintai tak pernah merupakan hal yang mudah untuk diterima, Susi sadar akan hal itu. Tetapi, dia tak menyangka efeknya bisa begitu dalam pada Mama Willem yang seolah begitu tegar-yang selama ini dia kenal.
Tiba-tiba Susi memeluk Mama Willem. Tanpa pernah menyangka bahwa orang yang selama ini dikejarnya dan dibencinya memeluk dirinya, Mama Willem berontak begitu kuatnya. Sehingga membuat Susi terhuyung-huyung dan kakinya terkena pecahan vas bunga yang dilempar tadi. Darah segar keluar dan perlahan, Mama Willem mulai sadar. Tangisannya masih ada, belum reda. Tetapi reaksinya sudah tidak sekeras tadi. Dia terdiam dan memohon maaf kepada Susi.
“ Maafkan Mama, Susi. Mama sudah terlanjur sakit hati, tetapi Mama sadar. Willem yang pergi itu takkan pernah kembali. Dan tak seharusnya Mama melampiaskan sakit hati Mama pada kamu. Walaupun mungkin kamu punya andil atas meninggalnya Willem, tetapi mungkin Tuhan sendiri yang mengambilnya dari Mama. “ Tangisannya berubah menjadi isakan perlahan dan sendu. Susi pun menangis. Dia tak ingin mertuanya berada pada kondisi semacam ini terus-menerus.
Drama di rumah Susi yang baru terjadi, membawa kesadaran yang positif juga bagi Mama Willem. Apalagi jika dia tahu, dia akan jadi seorang nenek. Hanya saja, Susi dan Papa sepakat untuk tidak memberitahukannya terlebih dahulu. Takut kalau dia kecewa, siapa tahu anak itu bukan anak Willem, melainkan anak Vic?
***
Setelah puas menangis semalam (pssttt, ternyata tindakan membuat capek diri sendiri dengan berjalan-jalan tak membuahkan hasil, karena pulangnya pun aku masih melamun sampai hampir pagi dan tak bisa tidur), aku pun bangun. Karena ini harinya. This is the day. Hari di mana aku akan mendengar hasil dari Dr. Ng. Kepalaku masih pusing dan pandanganku masih berkunang-kunang. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Kulangkahkan kaki ke kamar mandi di apartemen yang kusewa per hari, sengaja kucari yang murah- tak jauh dari Novena. Dan harganya pun tidak bikin sakit kepala. Aku mandi seadanya, memoles sedikit ‘lipstick’ warna pink supaya wajahku tak begitu pucat. Mengenakan celana jeans selutut dan kaos warna biru muda kesukaanku. Mengikat rambutku dan bersiap pergi ke Gleneagles.
Keluar dari apartemen. Kulihat wajah itu. Jason, ngapain kamu di sini?
“ Vit, aku datang pagi ini.” Katanya…
“ Jason, ngapain kamu ke sini? ‘Kan besok siang aku juga pulang.” Tanyaku.
“ Kamu tak menjawab sms-ku sama sekali. Begitu pula teleponku. Tak satu pun kamu angkat. Aku kerja pun tidak konsen, Vit. Kamu tahu, kamu begitu egois kali ini. Kamu terlalu tenggelam dalam masalahmu, tanpa mau berbagi padaku. Padahal aku adalah suamimu. “ Ungkap Jason kesal. Terlihat kalau dia sungguh cemas karena aku tak menggubris kontaknya sama sekali.
Tiba-tiba aku menangis tanpa aku bisa mengendalikan tetesan air mataku. Aku tak menyangka juga kalau Jason akan datang ke sini. Kupikir, paling-paling dia akan memarahiku sepulang dari sini besok.
Jason menghapus air mataku perlahan.
“ Kehidupan pernikahan kita sudah dimulai saat kita berjanji saling setia, Vit. Itu janji terindah yang pernah aku ucapkan hanya buat kamu. Tidak baik bagi kamu menyimpan semua bebanmu sendirian. Aku takkan kepusingan oleh masalahmu. Malah jika aku tak tahu apa-apa tentangmu seperti kemarin dan beberapa minggu yang lalu di mana kau seolah sembunyi dariku, aku malah cemas luar biasa. Bebanmu adalah beban kita bersama. Masalahmu adalah masalah kita bersama. Apa pun itu, akan kita hadapi berdua. Tak perlu kauragu untuk membagi kesusahanmu padaku. Jangan berpikir bahwa itu akan merepotkanku. Kayak tamu kamu kalau begitu.”
Aku tersenyum. Di sela-sela derai air mata yang masih mengalir, bibirku terbuka lebar. Jason mengucek rambut di kepalaku dengan penuh sayang. Ah, terima kasih Tuhan. Aku belajar sesuatu yang penting hari ini. Bahwa hidup perkawinan bukanlah biduk yang harus dinahkodai sendirian. Tetapi, kami berdua yang akan menjalaninya bersama. Pahit, manis. Susah, senang. For better, for worse. In sickness or health… Kami akan lalui semuanya berdua. Saling setia, sampai maut pisahkan kita!
Tiba-tiba aku merasa amat ringan. Bebanku berkurang separuh. Setidaknya ada dukungan dari Jason, membuatku merasa lebih tegar. Dan kami akan melangkah ke RS Gleneagles bersama. Apa pun hasilnya!
Bersambung…
Ho Chi Minh City, 28.10.2010
-fon-