Mama tak pernah membencimu. Tak pernah, Nak!
Sedetikpun pikiran itu tak pernah menyergap Mama. Hanya saja, memang kauhadir di saat kondisi yang kurang tepat. Gangguan relasi Mama dengan Papamu sudah mencapai puncaknya. Hubungan pernikahan kami yang sudah sebelas tahun itu memang bukan perkawinan sempurna. Namun, Mama sadar, perkawinan yang nampaknya sempurna sekali pun memiliki ketidaksempurnaan di dalamnya. Justru ketidaksempurnaan itu yang menyempurnakannya, bukan? Itu kata orang-orang. Tetapi, di perkawinan Mama dan Papa, ketidaksempurnaan itulah yang jadi duri-yang kian hari kian menusuk-melukai kami semua, terutama Mama, Nak.
Masalah lainnya, Mama tidak tahan tertusuk onak dan kesakitan. Siapa juga yang tahan sakit? Tiada orang yang tahan sebetulnya, bukan? Keadaanlah yang menempa orang-orang tabah dan tegar itu, untuk kemudian menjadikan mereka kuat. Mama akui, Mama memang lemah. Mama lemah oleh cinta yang ditawarkan Papamu di awal pernikahan kami. Cinta-yang Mama kira-adalah ketulusan, kelembutan, dan kebaikan yang tiada
Namun, ketika kau mendiami rahim Mama, Nak…
Mama sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Papamu. Yang kali ini secara keterlaluan mencoba mendekati keponakan Mama yang masih ABG. Anak Oom-mu, jika kamu lahir nanti, Nak! Dirayunya melalui media online dan gadget: Facebook, YM, BBM. Mama sudah tak tahan, Nak!
Karena itulah, ketika kalap, Mama langsung memutuskan untuk pergi ke dokter yang bisa dan biasa melakukan aborsi, Nak. Segera Mama lakukan, tanpa pikir panjang. Tetapi dalam hati, Mama menyesal, Nak. Biar bagaimana pun Mama-lagi-lagi Mama ulangi kalimat ini: Mama tak pernah membencimu. Yang ada hanyalah rasa kecewa dan amarah terhadap tingkah genit Papamu yang semakin lama semakin tak tahu diri. Maka, ketika Mama memutuskan dalam keadaan emosi, kamulah yang jadi korban. Herannya, setelah segalanya usai, Mama bukannya lega. Malahan, Mama dihantui rasa bersalah yang begitu berat menimpa dada ini. Seolah truk berisi ribuan ton batu menghimpit rongga hati Mama, Nak! Mohon ampun kepada Tuhan, karena Mama sudah jadi pembunuh. Pembunuh buah hati Mama sendiri. Karena Mama tak pernah berpikir untuk menambah anak lagi. Hanya saja, ketika Papamu pulang malam itu, Mama pun menyerah lagi seperti biasa dan mengakibatkan hadirnya dirimu. Mama tahu, Mama keliru. Namun, Mama pun tak bisa menampik rasa cinta yang begitu besar yang ada di hati Mama terhadap Papamu. Mama terlalu lemah, Nak. Mama sungguh sadar akan hal itu.
Kalau saja waktu bisa diputar kembali, Mama sangat sangat ingin, Nak… Membuat keputusan yang lebih benar, yaitu mempertahankan dirimu. Di tengah semua kondisi yang ada, kehadiran seorang anak yang seolah salah pun sebetulnya tak pernah salah. KAU TIDAK SALAH, NAK! Mama yang salah. Papa juga salah, tetapi kau tidak!
Mama sadar, Mama pun bukanlah sosok ibu yang sempurna. Mama hanya bisa menjalani kehidupan Mama dengan sebaik-baiknya, berusaha bangkit dan menegarkan diri di antara semua harapan yang pupus. Cinta yang tersakiti berulang kali. Lagi dan lagi, seolah tanpa henti. Dalam seluruh luka dan kesakitan itu, Mama yang sudah jatuh harus berusaha bangkit lagi. Dengan segenap luka, nanah, ataupun lecet yang masih tersisa. Mama berusaha tawarkan cinta kepada anak-anak Mama. Yang tentunya juga masih merasakan efek dari luka itu sendiri karena Mama belum sanggup mengatasi semuanya saat ini. Mama mengerti sekali, bahwa kalian pun butuh kasih yang tulus dari seorang Mama. Yang mungkin belum pernah kalian dapatkan secara sempurna dari Mama. Mungkin banyak kali yang kakak-kakakmu lihat, Mama terlalu sibuk dengan kesedihan Mama sendiri. Berkubang di dalamnya, seolah tenggelam dan tak tahu harus berbuat apa kecuali menangisi hidup dan menyesali nasib. Tetapi, kepergianmu kali ini juga membulatkan tekad di hati Mama… Kalau Mama ingin memperbaiki diri bagi kakak-kakakmu, karena pengorbananmu.
Mungkin Mama takkan pernah mampu memaafkan diri Mama sendiri, Nak. Seumur hidup tindakan ‘pembunuhan’ ini akan menghantui Mama. Mama menyesal. TERAMAT SANGAT. Berdoa pun rasanya tak mampu Mama lakukan lagi. Akankah Tuhan mengampuni Mama atas penghilangan nyawa anak Mama sendiri? Mama tidak tahu, Nak. Seharusnya Dia yang Maha Pengampun itu akan mengampuni setiap kesalahan manusia. Hanya saja, Mama tidak mau melakukan tindakan pembenaran diri atas kesalahan yang sudah Mama buat. Mama tidak mau, pernyataan bahwa Dia selalu mengampuni manusia menjadi justifikasi atas tindakan kalap Mama ketika mengaborsimu. Mama hanya bisa berjanji, Mama akan berusaha hidup benar, tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Juga menjaga kakak-kakakmu dengan baik. Papamu? Entahlah, Nak. Mama hanya berharap, suatu saat dia bisa sadar. Mama tak hendak menceraikannya, karena Mama terlalu mencintainya. Tetapi untuk terus hidup bersamanya, Mama juga tak sanggup. Jadi, sementara biarlah kami pisah rumah, walaupun suatu saat Mama masih menantikan dia bertobat dan pulang kembali sebagai Papa yang baik.
Maafkan Mama, Nak. Sungguh, Mama mohon ampunan darimu.
Dari yang tidak sempurna,
Mama.
-fon-
* cerminan rasa bersalah yang menghinggapi seorang Ibu seusai dia melakukan aborsi. Sayangi nyawa mereka, hargai mereka, walaupun mereka nampaknya ‘hanya sekadar’ janin. Mereka punya hak untuk menikmati hidup.
* Special thanks to Suster Amanda di Yogya yang memberikan ide penulisan kali ini. GBU, Sus:) Edisinya masih dalam bahasa
Sumber gambar:
deviantart.com
No comments:
Post a Comment