Wednesday, October 20, 2010

Thank God I Found You Part 20


*** Episode: Melintasi Fase Kehidupan

Previously on Thank God I Found You part 19 (Episode: Jadi, Bagaimana?)…

Vita dan Jason kembali ke Jakarta dengan kondisi yang kurang mengenakkan. Tumor di kepala Vita terdeteksi berdiameter 3 cm. Vita pun mengalami perubahan sikap disertai penyesalan, mengapa ia harus menikah dengan Jason kemudian mengalami semua keadaan yang berubah begitu cepatnya. Dia tak pernah menduga kalau ini semua terjadi di awal pernikahannya. Bagaimana Vita menghadapi semua ini lalu bagaimana kelanjutan penyakit yang dideritanya serta hubungannya dengan mertua yang satu rumah dengannya (Mama Jason)? Dan, bagaimana hasil test-pack Susi? Apa dia betul-betul hamil? Simak di semuanya di episode berikut ini…


Episode: Melintasi Fase Kehidupan


Susi masih menunggu di toilet. Tak lama perubahan warna terlihat. Dua strip, artinya dia positif hamil! Disekanya air mata haru yang turun perlahan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan perubahan itu. Janin di dalam perutnya telah mengubahnya. Dia yang licik dan sangat mementingkan diri sendiri selama ini, tiba-tiba merasakan keinginan yang kuat untuk berbagi. Berbagi kehidupan dengan seorang yang memang adalah darah dagingnya-terlepas dari siapa ayah sesungguhnya dari bayi ini. Suatu kali dalam hidupmu, mungkin kau bisa tersentak dengan kenyataan yang ada. Mungkin kenyataan itu membawamu ke arah perubahan yang positif. Setelah sekian lama ‘tersesat’ tak tentu arah, hanya hidup semaunya saja. Hari ini, dia merasakan niat yang kuat untuk melanjutkan hidup dengan benar. Untuk anaknya, dia akan lakukan hal itu: perubahan menjadi Susi yang lebih baik lagi.


Ijah kembali membuka pintu kamar. Susi jadi nekad dan berkata: “ Jah, kamu mau tolongin aku. Panggilkan taksi, Jah. Aku hamil, aku tak bisa tinggal di sini terus. Kalau kamu mau, kamu bisa pergi sama aku. Nanti kamu yang bantu aku karena… aku positif hamil…”

Ijah terdiam. Tetapi, naluri kewanitaannya yang bicara. Tak perlu waktu terlalu lama, dia menyetujui permintaan Susi. Dikemasnya barang seadanya, sambil menelpon taksi. Mereka harus gerak cepat, karena tidak tahu berapa lama lagi Mama Willem akan kembali dari salon langganannya.

***

Aku berusaha agar semua aktivitas berjalan biasa. Normal, apa adanya. Aku pergi ke kantor seperti biasa, walau aku tahu hatiku masih belum normal, emosiku masih labil. Tetapi, daripada aku terus di rumah bersama ibu mertuaku dan meratapi nasibku, bukankah sebaiknya aku bekerja dan bertemu teman-temanku seperti biasa? Mereka tak melihat perbedaanku. Aku pun tak merasa perlu menceritakan semuanya kepada semua orang. Paling, beberapa sahabat dekatku di kantor nanti akan kuceritakan perihal tumorku ini. Tanpa kusadari, aku jadi gampang emosi. Dalam menangani hal-hal kecil yang seharusnya adalah masalah yang mudah, malah menjadi hal yang seolah berbelit-belit. Itu dikatakan oleh teman-teman kantorku yang melihat perubahanku seminggu setelah aku kembali dari bulan maduku. Beberapa dari mereka bahkan heran, mengapa perubahan itu terjadi begitu cepat? Padahal, aku ‘kan baru saja menikah, seharusnya aku melewati masa-masa indah. Manis dan tak terlupakan. Bukan dengan tingkah laku penuh kekejaman semacam ini!


Aku tak tahu harus bagaimana. Yang pasti, sejujurnya aku tak siap dengan berita ini. Di rumah pun, aku harus adaptasi dengan mertua. Yang sebetulnya baik, sih. Dia memperhatikanku. Memasakkan makanan bagi kami- aku dan Jason. Berusaha menyenangkan kami dengan kondisi kesehatannya yang tak lagi prima. Namun, apa daya aku yang sedang berjuang mengatasi rasa yang hilang di hati. Rasa yang hilang terhadap Jason, terhadap hidup, dan terutama terhadap diriku sendiri. Aku tak lagi punya semangat hidup, separuh jiwaku terasa mati. Tumor ini terlanjur melumpuhkan aku. Aku tahu, aku harus berjuang keras mengatasi ini semua. Tak baik aku menyimpan sesal terhadap semua yang telah terjadi. Bukankah segala sesuatu terjadi pasti juga ada rencana Sang Pencipta di baliknya? Hanya saja, ketika tengah berada dalam keterombang-ambingan dalam ketidakjelasan semacam ini. Rasanya sulit bagiku untuk memikirkan bagian besar dari rencana-Nya. Yang kulakukan hanya meratapi nasib, menangis, menenggelamkan wajahku di balik bantal ketika Jason tak ada. Di hadapan Jason, setengah diriku bersandiwara. Aku berlaku bak seorang robot yang seolah ceria di hadapannya-juga di hadapan ibu mertuaku, dengan harapan mereka tak kuatir. Mungkin salahku juga, tak mau terlihat lemah, tak mau jujur di hadapan mereka. Tapi, aku sendiri masih terlalu sibuk untuk mengatasi semua yang tengah terjadi. Aku merasa amat sangat sendiri!


***

Taksi bernomor SK 2980 itu telah terparkir di halaman rumah Mama Willem. Berwarna biru, taksi langganan banyak orang di Jakarta. Bergegas Susi dan Ijah masuk ke taksi itu. Susi tak punya tujuan lain, selain pulang ke rumah. Rumah yang dulu selalu dibencinya. Rumah yang selama ini seolah adalah neraka setelah kehadiran ibu tirinya-Tante Reni-selingkuhan Papa yang sedikit banyak mempengaruhi kesehatan Mama Susi dan berakhir dengan kematiannya. Kini, tiba-tiba dia ingin berdamai dengan Tante Reni. Kata ‘Mama’ yang seolah selalu terpaksa dia ucapkan, ingin diucapkannya dengan sepenuh hati. Semoga papa dan mama menerima dirinya, plus Ijah, plus jabang bayi yang sekitar delapan bulan lagi akan memenuhi rumah itu dengan tawa. Atau, demi alasan keamanan agar terhindar dari Mama Willem dan keluarganya, Susi juga terpikir untuk tinggal di salah satu apartemen milik papanya yang terletak di berbagai wilayah di Jakarta. Mungkin, untuk praktisnya, dia akan tinggal dekat Pantai Indah Kapuk, rumahnya selama ini.

Taksi mulai bergerak perlahan keluar kompleks. Dan di saat yang bersamaan, mobil sedan BMW milik keluarga Willem yang baru dibeli beberapa bulan yang lalu masuk ke jalan yang sama. Berpapasan, tanpa Mama Willem tahu ada siapa di dalam taksi. Susi menunduk sedikit, untuk menghindari pandangan Mama Willem ataupun sopirnya. Lolos! Mereka tak dikenali. Taksi pun kembali berjalan perlahan, membelah Kota Jakarta dan kemacetannya yang semakin tak kenal waktu. Menuju rumah papa dan Mama Reni di Pantai Indah Kapuk.


***

Karena masih tanpa semangat mencari dokter lainnya di Jakarta, kuputuskan untuk kembali cek ke Dr. Ng saja. Aku tak minta ditemani Jason. Alasannya, ‘kan kami baru cuti dan bulan madu. Biar aku pergi sendiri saja ke Singapura, sambil menenangkan hatiku. Kupilih pesawat murah, mumpung ada Air Asia seharga Rp. 199.000 belum termasuk pajak, makanan, dll. Lumayanlah. Lagian, penerbangannya ‘kan singkat saja. Apa pun jadilah, asal sampai dengan selamat…


Glen Eagles Hospital, siang hari.

Kumasuki ruang praktik Dr. Ng tanpa semangat, hanya senyum simpatiknya yang memberikan angin segar di antara semua keletihan ini.

How are you doing?” Tanyanya sumringah.

Fine, Doctor. Thanks.” Jawabku.

Kembali Dr. Ng menyarankan untuk scan ulang. Untuk setidaknya melihat efek obat yang sudah diberikannya sekitar dua bulan yang lalu. Aku mengangguk. Tanda setuju (atau malah pasrah karena tidak tahu apa yang harus kulakukan). Aku hanya menurut saja.


***

Mama Willem memasuki rumah dengan perlahan. Dilihatnya Si Mbok yang sudah ikut mereka selama dua puluh tahun berteriak panik di ruang tamu.

Ada apa, Mbok?” tanyanya.

“ I…i…itu, Bu… Si Ijah dan Non Susi kabur.” Tukasnya.

“ Hah? Kabur? Cepat panggil sopir, siapkan mobil. Jangan-jangan taksi yang tadi papasan sama ibu di depan. Ayo, cepat!”

Mama Willem langsung masuk ke BMW silver milik keluarganya. Pak Sopir dengan sigap juga langsung berujar,

“ Ke mana, Bu?”

“ Ke mana, ya?” Mama Willem membatin. Tetapi, bisikan di hatinya mengatakan kalau kemungkinan Susi akan kembali ke rumah orang tuanya di PIK. Tak ada salahnya dicoba.

“ Pantai Indah Kapuk, rumah besan saya, Pak.” Jawabnya yakin.


***

Susi sempat berhenti sebentar untuk membeli air putih di sebuah mini market dekat rumahnya. Sudah memasuki daerah PIK juga. Namun, karena pemberhentian itulah, mereka jadinya lebih terlambat sampai ke rumah. Sementara BMW Silver Mama Willem dibawa sopirnya dengan kecepatan tinggi. Tak jauh dari Ruko Cordoba di PIK, mobil BMW dan taksi itu berpapasan. Persis kejadian di film-film ‘action’ di mana mobilnya menyalip taksi yang ditumpangi Susi.

“ Turun kamu!” Seru Mama Willem.

Susi hanya membuka jendela.


“ Buat apa saya turun? Lagian saya tidak salah, Mama yang telah menculik saya dan membekap saya di dalam rumah. Kalau memang Mama mau bicara baik-baik, saya mau dengarkan. Tetapi tidak di sini. Mama buka jalan, saya undang Mama ke rumah orang tua saya. Tetapi, kalau tujuan Mama masih juga melampiaskan dendam terhadap kematian Willem, mending Mama urungkan niat Mama karena dendam itu takkan ada habisnya, Ma.” Ucap Susi tegas tetapi pelan.


Mama Willem termenung. Dalam dirinya ada pergolakan. Sementara dia terdiam, Susi memberi aba-aba pada pengemudi taksi untuk putar balik dan ambil arah yang tak terhalangi. Lalu, tancap gas! Meninggalkan Mama Willem yang masih terbengong sejenak, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Pengejaran dimulai lagi!


Bersambung…


HCMC, 21 Oktober 2010

-fon-

No comments:

Post a Comment