Monday, October 11, 2010

Thank God I Found You Part 19



*** Episode: Jadi, Bagaimana?


Previously on Thank God I Found You part 18 (Episode: Jalan Kehidupan )…


Susi diculik oleh keluarga Willem yang merasa tidak terima dengan seluruh kejadian yang menimpa anak mereka. Bukan saja Susi meninggalkan Willem di Perancis saat mereka bulan madu, malah ketika Willem meninggal pun, Susi malahan tengah bersama Vic-pria yang baru ditemuinya di Singapura. Sebetulnya Susi pun menyesal atas kejadian yang menimpa Willem, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dalam sekapan di rumah keluarga Willem, Susi dihadapkan pada kenyataan bahwa ia mungkin hamil. Siapakah ayah dari anaknya? Willem atau Vic?

Sementara bulan madu Vita dan Jason pun tidak berakhir baik, Vita tiba-tiba menderita sakit kepala yang luar biasa yang mengakibatkan dokter menganjurkannya untuk melakukan scan. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Simak di episode berikut ini…


Episode: Jadi, Bagaimana?


Pintu kamarnya dibuka. Susi masih dalam keterkejutannya. Si Ijah, pembantu rumah tangga yang selama ini menemani Susi ketika berada di rumah Willem membukakan pintunya dan membawakan makanan. Susi pun melancarkan taktik dan kelihaiannya membujuk Ijah yang kali ini masuk sendirian dengan nampan berisi segelas air putih dan sepiring nasi dengan lauk-pauknya. Susi setidaknya mengerti kalau Ijah selalu punya masalah keuangan. Dia selalu ingin membantu orang tuanya di kampung untuk membangun rumah mereka, dan apalagi yang ditawarkan oleh Susi selain hmmm: UANG?


“ Ma kasih ya, Ijah. Kamu tetep baik sama aku,” kata Susi.


“ Sama-sama, Bu. Ibu juga yang dulu begitu baik sama saya. Sampai meminjamkan uang gaji saya untuk membantu keluarga saya.” Ungkap Ijah perlahan.


“ Jah, kalau kamu bisa bantu aku keluar dari sini. Nanti aku beri uang lebih banyak lagi buat kamu. Asalkan mau setia ikut aku. Karena aku sendiri perlu seseorang yang bisa membantuku seperti kamu. Kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa tinggal sama aku sesudah ini.” Ucapan Susi langsung terhenti karena terdengar bunyi pintu yang dibuka sekali lagi.


Mama Willem berdiri di depan pintu dengan wajah garang tanpa senyuman. Bertolak pinggang.

“ Jah, kalau sudah selesai, aku mau kamu bantuin bersih-bersih kamar. “ Suaranya dingin tanpa ekspresi senyuman.


“ Baik, Bu.” Ijah menurut saja sembari segera pergi menyusul Mama Willem.


Susi menghela nafas. Gagal rencananya kali ini. Tetapi setidaknya dia sudah berusaha mengeluarkan ide yang dianggapnya paling cemerlang saat ini. Siapa tahu Ijah terpengaruh dan mau memikirkan idenya? Siapa tahu….


Diambilnya piring di atas nampan. Dimakannya perlahan. Nasi, ayam panggang bumbu kuning, dan sedikit sayur buncis tumis udang. Dua suapan, dia lari ke toilet lagi. Muntah lagi…

Dia berpikir kembali…


Vic atau Willem? Pentingkah? Dan sekarang, jikalau dia pun hamil, akankah dia tahu siapakah bapak dari anaknya? Siapa pun ayah dari anaknya, setidaknya Susi punya keputusan sendiri hari ini. Dia akan memelihara anak ini. Sendiri. Single parent pun tak peduli. Dia sudah cukup banyak melakukan dosa semasa hidup ini, biarkan dia berubah mulai detik ini. Setidaknya dengan niatan baik dari dasar hati, untuk memelihara dan membesarkan janin yang kemungkinan besar telah bermukim di rahimnya… Dia sadar, dia butuh bantuan Ijah untuk beli test pack. SEGERA…


***

Ruang Praktik Dr. Ng- Gleneagles Hospital, Napier Road, Singapore.

Pukul 10.00 pagi.


Hari yang tidak terlalu mengenakkan bagiku. Seusai melakukan scan di kepalaku, inilah hari penentuan hasil. Lebih dari ketegangan saat melihat eliminasi ‘American Idol’ atau eliminasi acara-acara serupa lainnya. Karena ini menyangkut kesehatanku. Menyangkut sesuatu yang sepertinya serius, di awal pernikahanku. “ Tuhan, kuatkan aku!” Seruku puluhan, bahkan ratusan kali dalam hatiku.


Di hadapan Jason, aku tetap berusaha tegar. Walaupun aku tahu, mungkin senyum itu terlalu dipaksakan. Jason mengusap wajahku perlahan. Membelai rambutku dengan lembut, berusaha menenangkanku kembali.


Dia memegang tanganku lembut, ketika kami mengetuk pintu praktik Dr. Ng.

Please sit down,” senyum menghiasi wajah Dr. Ng. Wajah yang ramah dan simpatik, jarang-jarang kutemui di Singapura dari beberapa hari kunjunganku ini.


Dadaku berdegup kencang. Namun, inilah hasilnya. Di tangan kanannya, Dr. Ng sudah memegang amplop hasil tesku.

Ternyata hasilnya di kepalaku ada sebuah tumor. Besarnya sekitar 3 cm. Namun, itulah yang sering menggangguku.


Aku menegarkan hati sekali lagi, mengucapkan terima kasih pada Dr. Ng yang mengatakan bahwa ini bukanlah sesuatu yang harus terlalu kukuatirkan. Karena masih banyak jalan penyembuhan yang bisa kami lakukan tanpa melalui operasi. Dia memberikan beberapa pilihan. Yang pertama tentunya makan obat dulu dan melihat hasilnya. Dari pengalamannya Dr. Ng meyakini kalau tumor ini baru ada di kepalaku dan bukan sesuatu yang membahayakan. Tentunya, teori ini harus dibuktikan oleh Sang Waktu. Namun, aku menaruh percayaku padanya, satu sisi untuk menenangkan hatiku.


Di food court Gleneagles itu aku duduk tanpa selera.


“ Mau makan apa?” Tanya Jason.


Aku hanya menggeleng perlahan. No appetite.


Aku hanya minum teh yang dicampur sedikit susu. Padahal aku belum makan pagi. Dengan lesu, aku berlalu. Hari itu hari terakhir kami di Singapura, malah kami harus mendengar berita yang membingungkan ini. Dr. Ng memberikan obat yang harus kumakan selama dua bulan, lalu kembali ke sini untuk mengecek hasilnya. Sementara aku dan Jason mempertimbangkan kemungkinan kami mencari dokter alternatif di Jakarta. Mengingat ongkos pulang-pergi Singapura yang tidak murah terutama akomodasinya. Harga hotel-hotel di sini memang selangit! Juga kondisi kesehatan Mama Jason, yang tidak bisa kami tinggal terlalu lama.


Saat-saat ini aku hanya ingin ke gereja. Menumpahkan seluruh perasaanku. Gereja terdekat yang bisa kami tuju adalah St. Bernadette Church yang terletak di Zion Road. Tak jauh dari Mal Great World City. Di situlah aku berdiri di hadapan Sang Bunda. Menangis. Berdoa. Berharap adanya transfer kekuatan baru yang berasal dari-Nya. Karena sungguh, aku tak bisa hadapi ini semua sendirian… Memang aku punya Jason sekarang ini, namun Jason juga tak bisa merasakan 100% kepusingan di kepalaku yang bukan saja diakibatkan oleh tumor berdiameter 3 cm itu, melainkan karena pikiranku yang membuntukan setiap akal sehatku. Tuhan, berikan aku kekuatan baru….Aku sungguh butuh pelukan-Mu….


***

Ijah kembali membuka pintu, sekitar pukul 3 sore. Membawakan teh manis kesukaan Susi dengan sedikit gula.


“ Bu, Nyonya besar tidak tahu kalau saya ke sini. Karena sebetulnya Nyonya hanya minta saya memberikan Ibu makan sehari 2x. Siang dan makan malam. Tetapi, saya kasihan sama Ibu. Jadi, ini saya bawakan teh manis kesukaan Ibu.”


Mendengar perkataan Ijah itu, Susi pun terharu. Mungkin Ijah memang perlu uang, jadi ia melakukan hal ini. Tetapi, dia tidak menampik kenyataan bahwa walaupun demikian, Ijah pun dipenuhi kebaikan dalam hatinya.


“ Jah, aku perlu bantuan kamu. Tolong kamu belikan alat pemeriksa kehamilan. Di apotik dekat sini, ada kan? Nanti aku kasih kamu uangnya. Itu dulu saja.” Kata Susi.


“ Baik, bu. Mau berapa banyak?” Tanya Ijah.


“ Dua, deh. “ Jawab Susi. “ Ma kasih, ya.”


Ijah pun berlalu sambil membawa gelas kosong karena teh manis itu sudah pindah dengan sukses ke perut Susi.


***


Jakarta, Rumah Mama Jason.


Aku masuk rumah dan mengangkat koperku. Jason berusaha membantuku, tetapi aku menolaknya. Seluruh kejadian di Singapura membawaku ke arah sikap defensif. Aku tak mau terlihat lemah, walaupun aku tahu kondisiku bukan dalam kondisi prima. Aku cenderung lekas marah. Dan pelampiasan yang utama adalah kepada Jason. Satu sisi aku kasihan padanya, namun apa daya aku sendiri tak sanggup menahan beban yang berat ini. Tiba-tiba penyesalan memenuhi kepalaku, membebaniku seolah batu yang berton-ton beratnya tengah menindih hatiku. Aku menyesal menikahi Jason! Menyesal karena terlalu cepat aku menemukan penyakit itu di kepalaku. Bukan nanti di saat kami sudah memiliki anak-anak… Tetapi, saat ini, di bulan maduku??? Hampir kuteteskan air mata. Namun, aku menghentikan lajunya. Aku harus memberikan oleh-oleh dulu buat Mama. Aku tak boleh terlihat sedih.


Kupakai senyum ceria palsu, kuberikan kaos bertuliskan Singapura juga banyak pernak-pernik lainnya buat Mama. Setelah itu aku pamit dengan alasan aku keletihan. Jason masih berusaha mengobrol dengan Mamanya, setelah itu tak lama ia menyusulku ke kamar. Tak ada pembicaraan berarti di antara kami malam itu, tidur saling memunggungi. Hmmm, tidakkah ini terlalu cepat untuk ‘newly weds’? Bukankah seharusnya kami memenuhi hari-hari pertama ini dengan kebahagiaan, penuh pancaran cinta dalam setiap pandangan kami, bukannya dengan diam dan mendalami perasaan masing-masing? Bukankah seharusnya ini nanti kurasakan ketika pernikahan ini mencapai hitungan bulan atau tahun, bukan dalam hitungan hari seperti sekarang ini???


Aku tak tahu lagi. Kuhapus air mataku perlahan, sesak di dada semakin memuncak. Tetapi, Jason…aku tak bisa berbagi denganmu kali ini…Aku tak mampu. Tiba-tiba aku ingin sendiri…Aku kangen kesendirianku dan masa lajangku yang sudah kulewati hampir empat puluh tahun lamanya…

***

Ijah pulang cukup cepat. Dia bilang Mama Willem alias Nyonya Besar begitu dia menyebutnya di hadapan Susi, tengah pergi ke salon langganannya yang terletak di Mal yang tak jauh dari rumah Willem. Jadi, ini saat yang tepat untuk Susi mengkonfirmasi apakah dia betulan hamil atau tidak.

Ditunggunya perubahan warna kertas itu. Satu strip atau dua? Dua pertanda hamil… Dalam satu atau dua menit, kata petunjuknya akan kelihatan hasilnya. Jadi, jadi….??? Bagaimana?


Bersambung…


HCMC, 12 Oktober 2010

-fon-

* mohon maaf karena TGIFY baru kembali lagi. Karena kondisi yang tidak begitu fit selama ini, belum bisa menulis. Moga-moga setelah ini kembali lancar. Terima kasih…


sumber gambar:

http://1.bp.blogspot.com

No comments:

Post a Comment