Tuesday, October 26, 2010

Laporan Pandangan Mata Hati : Jakarta Menangis



Saya yang sudah lebih dari setahun tidak pulang kampung, benar-benar merindukan hal itu. Pulang. Kampung yang saya tuju, bukanlah tempat kelahiran saya, melainkan kota yang pernah saya diami belasan tahun lamanya dari saat saya duduk di bangku universitas dan bekerja. Jakarta, ibukota kita. Sempat saya tuangkan rasa itu ke dalam bentuk puisi berjudul Kangen yang saya tulis di Ho Chi Minh City, Vietnam tanggal 11 Juli 2010 yang lalu, berikut bait pertamanya:

Kangen

---rindu kampung halaman

rindu memilin tepian hati

merenda cinta bersemi indah

ribuan kilo jarak terpisah

nada di jiwa tetap sebati*

* sebati: bersatu padu; sangat mesra; sesuai

Tetapi, apa daya, saya harus menghadapi kekecewaan ketika saya pulang ke Jakarta. Bukan pada teman-temannya, bukan pada kondisi yang kurang fit saat selama berada di sana, melainkan salah satu yang terutama adalah kondisi lalu lintasnya. Macet!

Mungkin bagi rekan-rekan di Jakarta, sudah terbiasa menghadapinya hari lepas hari. Walaupun mungkin kesal, tetapi karena itu sudah jadi makanan sehari-hari, pastinya lebih tertempa, ya:) Saya ingat ketika saya pulang ke Jakarta sekitar pertengahan tahun 2009, saya belum merasakan macet yang sedemikian parahnya. Pernah terjadi di kepulangan saya Agustus 2010 ini, saya harus berada di taksi selama 2 jam untuk jarak tempuh Kuningan-Cengkareng karena itu bertepatan dengan waktu berbuka puasa. Padahal itu jadwal control dokter saya dan kondisi saya tengah mual berat dan lemas. Saya merasa cukup ‘kapok’ ketika itu dan memutuskan untuk pindah ke RS yang lebih dekat dengan rumah. Terbayang juga bila ibu-ibu harus melahirkan secara normal dan harus melintasi macet (plus banjir mungkin?), bisa-bisa keburu lahir di jalan…. Ampunnnn…. Atau mereka yang tiba-tiba terkena serangan suatu penyakit dan ambulansnya harus beradu dengan begitu banyak kendaraan yang memadati ibukota, agaknya bukan perjuangan yang mudah!

Pada dasarnya saya tidak suka mengeluhkan suatu kondisi secara berlebihan. Saya cinta Jakarta. Titik. Tanpa embel-embel. Tetapi, ketika kemarin melihat betapa banjir dan macet sudah membuat Jakarta porak-poranda, mau tidak mau, suara hati saya bilang: ini saatnya menulis tentang Jakarta. Tetesan hujan yang tak henti itu seolah menyuarakan kepedihan Jakarta dan warganya. Jakarta butuh suatu perencanaan matang, perubahan total, apabila ingin bebas dari permasalahan banjir dan macet ini. Bukan saja tugas seorang Gubernur atau Wakilnya semata (karena memang mereka sudah seharusnya bertanggung jawab untuk itu), karena konon katanya : ‘kan Jakarta bukan seperti kerak telor, tetapi perlu upaya dari semua pihak. Jujur, perlu pula kerja keras dari yang berwenang bekerjasama dengan warganya. Tata kota yang lebih baik memang diperlukan, tetapi tanpa peningkatan disiplin ataupun ‘good attitude’ dari warganya, agaknya sulit juga mencapai semuanya. Saya tidak lagi tinggal di Jakarta, tetapi saya prihatin akan hal ini. Dulu (mungkin) saya masih memimpikan suatu saat akan kembali ke Indonesia dan mendiami kota Jakarta. Namun, juiurnya setelah kejadian beruntun macet ditambah banjir kemarin yang menjadikan Jakarta seperti kota Venesia di Italia yang terkenal dengan gondolanya, hmmm… saya koq jadi pikir-pikir , ya… Mungkin saya akan memilih alternatif kota lain yang masih di Indonesia juga kalau Jakarta makin hari makin parah.

Jangan sampai karena kesalahan-kesalahan penataan kota dengan hanya mementingkan proyek-proyek prestigius, mengakibatkan Jakarta yang jadi korbannya. Kemudian pastinya merembet: warga dan masyarakatnya. Kalau begitu, lagu yang keluar adalah koor tangisan semata: Ke Jakarta ku(tak) akan kembaliiiii….. Karena kalau yang ada hanya kepusingan, keribetan, dan kekacauan, maukah orang berbondong-bondong ke sana, walaupun penghasilan menjanjikan?

Sebetulnya, Jakarta bukannya tidak punya hal positif. Banyak kebaikan malah! Setelah mendapatkan kesempatan untuk tinggal di dua negara di luar Indonesia, saya merasa bahwa Jakarta pun enak dan asyik sebetulnya. Ditambah lagi, tidak ada kendala bahasa, jika saya berada di sana, saya betul-betul merasa ‘at home’. Tetapi, tentunya Jakarta dan warganya juga harus berbenah diri. Untuk menghapus air mata yang sudah tertumpah dan tertampung di wastafel bernama Batavia, perlu upaya keras dari semuanya. Pemerintahan yang jujur dan memperhatikan kepentingan warganya, menata kota dengan bantuan ahli-ahli dari dalam maupun luar negeri jika memang dibutuhkan, serta belajar dari tata kota beberapa kota besar yang berhasil mengatasi permasalahan ini. Bukan hal yang mustahil, Jakarta bisa kembali seperti sedia kala, bahkan lebih baik lagi.

Deretan mobil yang menyemut, mungkin juga bisa diupayakan penanggulangannya. Misalnya seperti di luar negeri, sampai batas waktu tahun tertentu, mobil sudah tidak boleh dikendarai lagi. Walaupun memang kasihan juga, misalnya belum ada kemampuan untuk membeli lagi, tetapi setidaknya upaya pendisiplinan ini bisa mengurangi lalu lalangnya mobil di jalan.

MRT, seperti yang sudah ada di Singapura, apabila benar-benar ingin ditiru konsepnya… Harus diyakini juga, MRT akan dibuat seaman dan senyaman mungkin. Sehingga para pengendara mobil pun rela meninggalkan mobil atau motornya untuk kemudian naik MRT. Kalau ternyata MRT tidak ditunjang oleh faktor keamanan, kebersihan, maupun kerapiannya, malah mungkin terjadi MRT tetap kosong, sementara mobil tetap macet berjubel sehingga permasalahan tak terselesaikan.

Anda punya banyak ide buat Jakarta? Harusnya ada wadah pula dari pemerintah untuk menerima ide masyarakatnya dan memperhatikannya. Siapa tahu, dari ide-ide itu muncul inspirasi cemerlang untuk benar-benar membuat Jakarta berhenti menangis.

Ah, hati saya pun sebetulnya menangis semalam. Memikirkan banyak sahabat yang harus menghabiskan 2-6 jam di jalan-jalan dan menembus banjir di Jakarta. Memikirkan banyak orang yang rumahnya terendam dan tak mampu harus berbuat apa, padahal itu adalah satu-satunya rumah yang dimilikinya…

Andai saja, semua bisa bersatu padu…. Semua berhenti atau setidaknya mengurangi memikirkan kepentingannya untuk jadi kaya tanpa peduli lingkungan. Bukan cuma proyek yang utama, tetapi nasib warga dan anak-cucu mereka nanti…….Mungkin Jakarta takkan menangis sesedih ini… Jakarta butuh orang-orang yang peduli, yang bukan cuma mengumbar janji. Tetapi penanganannya memang membutuhkan tindakan nyata.

Tissue pun tak mampu menenangkan isak tangisnya lagi. Dia perlu banyak usaha, upaya, pembenahan, untuk kembali jadi ibu kota yang ‘ngangenin’ dan membanggakan…

Ho Chi Minh City, 26.10.2010

-fon-

* I left my heart in Jakarta, that’s why I’m writing this article…Dan pada saat saya menuliskan hal ini, simpatiku untuk korban gempa Mentawai, korban meletusnya Gunung Merapi. Sungguh, hatiku menangis bersama Indonesia. Mungkin judul artikel berikutnya yang cocok adalah: Indonesia Menangis, tapi aku tak berhenti berdoa: God Bless Indonesia!

sumber gambar:

swaberita.com

No comments:

Post a Comment