Monday, November 8, 2010

Remeh



Uang sudah jadi sahabatnya akhir-akhir ini. Dengan ramah ia menyapa, mendekat dan memenuhi hidupnya dengan kemilau kemewahan. Mobil, rumah, fasilitas kantor yang dinikmatinya, sungguh luar biasa. Bahkan bisa membuatnya lupa daratan! Ah, begini rasanya sekecup kenikmatan kekayaan itu, ujar hatinya…

Perubahan status dan strata sosial juga mempengaruhi pergaulannya. Teman-teman yang dulu seperjuangan naik bus bersama, memenuhi halte, ataupun tukang ojek langganannya, tak lagi dipandangnya sebelah mana. Mereka mungkin jadi tak kasat mata, seolah hilang dan tinggal di belahan bumi lainnya. Kini yang ada: janji sana-sini, gaul kanan-kiri, party sampai pagi. Inilah gaya hidup yang diinginkannya sejak lama! Enjoy life! Selagi masih bisa…

Tingkahnya semakin lama semakin ‘bossy’ saja.

“ Aku ‘kan bos, harus dihormati dan dijunjung tinggi senantiasa.” Itu yang jadi mottonya. Semakin lama semakin menyebalkan bagi pembantunya, asistennya, bawahannya, mereka yang bekerja satu departemen dengannya… Office boy, messenger, juga sopir pribadinya. Bahkan mereka pun menjulukinya OKB LEBAY. Orang Kaya Baru yang lebay?Ah, dia tak peduli walaupun dia pernah dengar selentingan tentang itu. Tak penting baginya. Hidupnya hanya sejauh teman-teman yang statusnya sederajad atau lebih darinya. Yang di bawah? Hoiii, ke laut ajaaa… Menyelam sana biar tak kelihatan!

Sikap itu terbawa juga sampai ke istrinya, ke ibu-bapaknya yang adalah orang tua kandungnya, kepada mertuanya, kakek-neneknya, oom-tantenya. Semua jadi kurang penting, apalagi kalau mereka bukan yang bertipe keren atau mendongkrak statusnya. Kalau hanya akan menjatuhkan dirinya, mending mereka pergi saja. Remehkan saja mereka! Tokh mereka tak penting inilah…

Suatu hari…

Dipandang hinanya seorang pria yang duduk di sofa kantornya. Di ruang tunggu tamu dekat resepsionis, bapak tua berbaju tak layak itu tampil bak mau ke pasar saja. Baju lengan pendek, kaos tepatnya yang warna putihnya sudah kekuning-kuningan dimakan usia, celana pendek yang juga kusam warna hitamnya. Dan sandal jepit, Saudara-saudara! Sungguh tidak pantas dia duduk di sofa kantor warna merah darah yang elegan dan mewah. Dipandangnya dengan sinis:

“ Bapak mau cari siapa?” Pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya. Walaupun itu bukan ‘job description-nya’

“ Oh, saya menunggu anak saya.” Jawabnya perlahan dengan senyuman.

“ Apa gak bisa Bapak tunggu di bawah saja, daripada duduk di sofa ini bikin malu yang lihat Bapak dengan kondisi begini? Kayak mau ke pasar aja, Pak…” Ucapnya bak rentetan peluru yang keluar dari senapan mesin. Masih dengan tatapan sinis dan wajah menghina…

“ Sabar, Pak. Beri saya dua menit saja, katanya anak saya akan keluar sebentar lagi. Dia lagi ada pertemuan di dalam.” Ujar Bapak itu lagi.

Hampir naik pitam, dipanggilnya satpam perusahaan dan disuruhnya mengusir Bapak itu. Entah kenapa, dia jadi emosi luar biasa, padahal itu bukanlah urusannya.

Dan pada saat yang bersamaan, keluarlah Pak Dira, Direktur sekaligus pemilik perusahaan ini.

Ada apa ini?” Tanya Pak Dira.

“ Oh, Bapak… Kapan sampai, Pak?” Pak Dira langsung berpaling ke Bapak tua yang hampir ditarik satpam keluar dan habis dimaki-makinya.

Dia mematung. Malu luar biasa.

Itu??? Bapaknya Pak Dira??? Hampir tak mungkin rasanya! Tapi itu kenyataannya.

“ Bapak masih mau menunggu kamu, tapi anak muda yang hebat ini mau mengusir Bapak karena dianggap menodai citra kemewahan kantormu dengan pakaian Bapak yang ala kadarnya ini,” kata Bapak itu menjelaskan.

Pak Dira mendelik sebentar, menghela nafas, lalu bilang:

“ Saya tunggu kamu di ruangan saya, sepuluh menit lagi.”

“ Baik, Pak,” ujarnya. Pasrah.

Masih mendelik pada resepsionis, dia masih sempat berkata:

“ Kenapa gak bilang kalau itu Bapaknya Pak Dira?” Tanyanya marah.

“ Lho, Bapak ‘kan gak tanya. Lagian sekali masuk langsung emosi melihat Bapaknya Pak Dira.” Ujar resepsionis baru itu polos.

Sepuluh menit berikutnya…

Dia kehilangan semua fasilitasnya. Dia diturunkan jabatannya jadi staf saja. Tetapi bagusnya dia tidak di-PHK. Dalam hatinya, dia menyesali tindakannya.

Dan dia sadar, begitu ‘remeh’ jiwanya hanya karena mengecap kemewahan yang sementara saja.

Hasil meremehkan orang lain, terbayar hari ini dengan diremehkannya dirinya.

Remeh?

Gak lagi-lagi deh…

Tak ada lagi celoteh…

Hanya diam tanpa terkekeh…

Tanpa sadar air mata meleleh…

Tobat, kuundang dirimu, boleh?

Ho Chi Minh City, 8.11.2010

-fon-

* untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak memandang remeh siapa pun, apalagi hanya berdasarkan penampilan belaka…:) Semua sama-sama manusia…

sumber gambar:

jerry71man.blog.friendster.com

2 comments:

  1. Manusia melihat rupa... that's R.E.A.L.I.T.Y
    But....
    Tuhan melihat hati.... ^.^

    Semua manusia BERHARGA di mata TUHAN...
    Halleluya.

    ReplyDelete
  2. @ Sherly.Jo: memang tidak mudah untuk terus konsisten melihat hati manusia lainnya. Karena pastinya kita dipenuhi penilaian dan penghakiman atas orang lain. Yang pasti, catatan di atas untuk mengingatkan aku dan kita semua untuk tidak sombong ketika kemewahan mungkin menyapa dan tetap ingat bahwa orang lain juga manusia. GBU.

    ReplyDelete