Sunday, February 7, 2010

Comparing


Comparing

Ibu Suci memiliki seorang suami yang baik dan sepasang anak yang lucu-lucu berumur 4 dan 6 tahun. Di usia perkawinannya yang memasuki tahun ke-8, sebetulnya dia harus akui dia cukup bahagia. Suami bekerja dengan posisi lumayan. Belum manajer sih, tapi cukuplah. Mobil mereka punya, bukan merk yang mewah, tapi muat buat sekeluarga jalan-jalan. Rumah mereka masih dicicil setiap bulannya dan berada di satu kompleks yang cukup baik di kawasan barat Jakarta. Segala sesuatu baik, anak-anak sehat dengan sedikit batuk dan pilek yang datang dan pergi seiring cuaca yang terus berubah. Masalah pasti ada, tetapi mereka setidaknya mampu mengatasinya. Semua seolah baik-baik saja. Sampai satu ketika, tetangga sebelah mereka mulai mendaki kesuksesan. Mereka pindah rumah, dapat mobil bagus, dapat fasilitas wah dan masih terus mengontak Ibu Suci dengan memberi ‘update’ kemajuan mereka. Tanpa sadar, perlahan, Ibu Suci mulai dirasuki pemikiran dan rasa iri hati. Sebetulnya wajar saja, jika iri itu bisa menyelinap diam-diam. Tetapi, ketika rasa itu berdiam terlalu lama dan menyebar menjadi racun yang memenuhi hati seseorang seperti hati Ibu Suci di saat ini, itu yang jadi masalah.

Ibu Suci menjadi sering marah-marah. Kepada suaminya karena dianggap tak pintar cari seseran atau cari jalan tikus buat menaikkan ‘income’ keluarga mereka. Kepada anak-anaknya karena dianggap tak cukup pintar untuk jadi juara di sekolah demi menaikkan gengsi mereka. Jadi sedih dengan kondisi rumah, mobil, dan tempat tinggal mereka yang di kawasan barat (dan bukan di kawasan Selatan). Semua lagu yang awalnya dinyanyikan sebagai lagu ceria, kini berubah menjadi lagu duka bercampur amarah. Kenapa dia bisa sukses? Kenapa aku masih begini-begini saja?

Ketika kita dibandingkan sebagai pribadi, tak pernah rasanya enak. Misalnya kakak dan adik yang selalu dibandingkan. Yang satu lebih cantik dari yang lainnya. Atau yang satu lebih pintar dari yang lainnya. Tidak pernah terasa enak bagi yang dianggap kurang, bagi yang dianggap kalah. Namun, sebetulnya perbandingan baik juga untuk memacu dan memicu seseorang untuk bergerak maju. Asal tidak dihinggapi dengan dendam, karena kalau maju dalam tangga kesuksesan tapi diiringi dendam kesumat juga bukanlah suatu hal yang membanggakan…

Tindakan mendengar dan membandingkan kesuksesan orang lain dengan keadaan diri sendiri terkadang membuat seseorang menjadi frustrasi. Dan tak jarang timbul tindakan mengasihani diri. Atau mungkin marah kepada Tuhan dan mengatakan, “ Tuhan koq pilih kasih, tidak adil nih! Koq dia dikasih yang bagus-bagus, koq aku tidak?”

Padahal mungkin, bertahun-tahun lamanya tetangganya itu hidup susah sementara Ibu Suci merasa senang, tenang, dan bahagia. Dan Ibu Suci tidak ingat masa-masa yang membahagiakan itu. Yang dia ingat hanya masa-masa yang menyedihkan saja. Masa-masa kekalahan saja.

Membandingkan, mungkin perlu untuk kemudian memacu diri lagi. Dan perbandingan yang paling pas rasanya adalah membandingkan kemajuan diri sendiri yang telah dicapai waktu demi waktu. Apa sekarang aku tambah sabar?Apa aku sekarang tambah pandai dalam Bahasa Inggris? Apa sekarang aku telah tambah pandai menyetir mobil? Bukannya melulu membandingkan dengan orang lain. Karena saya bukanlah dia. Dan dia bukanlah saya. Saya dan dia memang BERBEDA. Kami punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kami punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kalau di bidang itu dia unggul, di bidang ini saya yang lebih unggul. Begitu kira-kira. Rasanya tak ada orang yang sempurna dan menguasai 100% segalanya. Jadi tak perlu berkecil hati akan diri sendiri.

Kunci yang juga tak kalah pentingnya adalah menyadari arti penting seseorang di dunia ini. Bahwa ia lahir bukan sebagai suatu kesalahan. Namun dalam perencanaan-Nya. Dengan lebih mengasihi dan menerima diri sendiri, agaknya sikap membandingkan yang negatif dan berujung rasa frustrasi akan berkurang. Karena sadar bahwa dia dicintai apa adanya oleh Tuhan dan dia pun belajar mencintai dirinya sendiri apa adanya. Dengan niat untuk memperbaiki diri juga agar menjadi seseorang yang lebih baik dan tentunya mengasihi diri sendiri ini diiringi rasa kasih yang seimbang juga kepada sesama, agar tak selalu berpusat pada diri sendiri melulu.

Perlahan, Ibu Suci mulai disadarkan akan kekeliruannya. Bahwa memang dia salah juga. Karena tiap orang ada rezekinya masing-masing. Dan untuk tiap orang ada waktu-Nya juga. Ketika dia melihat apa yang dimiliki, dia mulai mensyukuri kembali. Apalagi ketika dia melihat orang-orang yang berkekurangan. Dia pun merasa malu hati, tak sepantasnya dia menjadi iri sekaligus marah begini.

Tidak lagi dia mau membandingkan dirinya dengan tetangganya secara terlalu berlebihan. Menyadari tetangganya tengah berkelimpahan, berdoa bagi mereka, dan berusaha meningkatkan diri juga. Dengan mencari-cari kegiatan atau usaha apa untuk membantu suaminya. Daripada terus membebani suaminya untuk mencari penghasilan ekstra. Dengan bahu-membahu, Ibu Suci dan keluarga mulai menapaki jalan sukses mereka sendiri. Yang mungkin tak melesat seperti tetangganya, tetapi mereka mulai menerima penghasilan tambahan yang cukup lumayan dari usaha Ibu Suci berjualan kue kering terutama mendekati Lebaran, Natal, dan Imlek.

Dibandingkan, tak pernah enak, apalagi ketika kita berada di posisi ‘kalah’. Dan itu terkadang mematikan potensi diri dengan anggapan kita tak bisa apa-apa. Mungkin sikap yang bisa diambil ketika kita kalah dalam suatu perbandingan: menerima diri dan kenyataan, namun tidak menyerah bahkan berusaha untuk tetap mengejar impian yang ada dalam hati kita masing-masing.

Iri hati takkan membawa kita berkembang pesat dalam hidup ini. Ketika dia muncul, ketika tendensi ‘comparing’ atau membandingkan muncul… Entah dari sekitar kita yang memang mengamati terus dan mengungkapkannya. Entah dari diri kita pribadi yang juga secara kritis membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal yang penting untuk dicatat adalah: perbandingan diri saya sendiri untuk menjadi lebih baik hari lepas hari.

Di dunia yang semakin materialistis dan mendewakan uang, di dunia yang semakin melihat kesuksesan dan memperolok kegagalan… Kita tetap belajar bahwa ada hikmah di balik setiap kejadian. Tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua saling berhubungan, semua saling berkaitan. Karena semuanya itu sudah ditulis dan dilukis secara sempurna dalam buku kehidupan kita oleh Sang Pencipta.

Jadi diri sendiri yang lebih baik, yang terbaik yang kita bisa, itu yang hendaknya kita usahakan terus dan terus. Dan yakinlah, Tuhan akan terus memberikan kesempatan, pertolongan, dan pertumbuhan bagi mereka yang tak menyerah terhadap kegagalan dan berdiri tegar dalam kepahitan. Dia selalu beserta kita. Dia selalu ada dengan setia sepanjang perjalanan kita. Be yourself, a better you. A better us! Dan temukanlah kebahagiaan itu bagi dirimu sendiri yang menerima segala sesuatu yang sudah diberikan-Nya sambil terus berjuang untuk menjadi lebih baik lagi. Tindakan membandingkan yang berujung negatif, hendaknya diperkecil. Namun, membandingkan yang kemudian membuat hasil yang positif untuk bergerak maju, itulah yang harus dipertahankan. Tuhan sayang kamu! :)

HCMC, 8 Februari 2010

-fon-

* Mungkin kita semua pernah dalam satu masa berperan sebagai ‘Ibu Suci’ yang tiba-tiba merasa iri mendadak. ‘It’s about time to change’ dengan mensyukuri apa yang ada dan menjadi diri sendiri yang lebih baik:) A better you!

sumber gambar:

http://thevoiceforschoolchoice.files.wordpress.com/2008/08/comparing-apples-and-oranges.jpg

No comments:

Post a Comment