Friday, February 19, 2010

Si Pengemudi


Si Pengemudi

“ Anak saya empat orang, Ce (dia memanggil saya Ce, suatu sebutan hormat walaupun saya lebih muda dari dia),” begitu dia memulai kisahnya.

“ Oh, ya? Yang tertua dan terkecil umur berapa?” Tanya saya antusias.

“ Yang terkecil berumur tiga tahun lebih. Sementara yang tertua umur 18 tahun dan baru meninggal dua bulan yang lalu. Di bulan Desember tahun lalu.” Ujarnya sendu.

Deg! Hati saya langsung merasa kasihan. Dia berumur empat puluhan. Selama perjalanan pulang kampung ke kota kelahiran saya, dialah yang mengantar kami ke mana-mana. Entah bagaimana ceritanya, dia pun begitu terbuka kepada saya dan suami saya. Saya pelan-pelan menangis dalam hati. Sungguh, tidak mudah bebanmu, Pak! Sungguh hidup ini memang terkadang sulit dipahami.

“ Pastinya sulit menerima ya, Pak. Apalagi sebagai orang tua, melihat kematian anak yang menjadi harapan keluarga. Melihat yang lebih muda terlanjur pergi terlebih dahulu, pasti bukan hal yang mudah.” Lanjut saya mencoba memecah situasi ‘kagok’ yang terjadi. Salah tingkah takut salah ucap karena ini memang masalah sensitif.

“ Istri saya sampai hari ini masih menangis. Tiap ingat anak kami, dia menangis. Dia mencoba menguatkan diri dengan banyak sembahyang. “ Sambungnya lagi.

“ Mengapa bisa meninggal, Pak?” Tanya saya.

“ Gantung diri di kamar mandi, Ce.” Jawabnya lirih.

Hati saya seolah ditimpa batu karang yang berat. Sukar bernafas. Hidup memang tak mudah, ya… Tapi, apa bunuh diri adalah jalan keluar yang terbaik? Kita semua tahu jawabannya, ‘kan?

“ Masalahnya apa? Apa Bapak tahu?” Saya bertanya pelan.

“ Tidak tahu. Rasanya dengan keluarga tidak ada masalah. Dengan pekerjaan ataupun lingkungan juga tidak. Jadi, kami duga masalahnya adalah dengan pacarnya.” Si Pengemudi menjawab sambil tetap konsentrasi pada jalanan kota empek-empek yang sedikit macet di beberapa bagian.

“ Apa dia meninggalkan pesan?” Tanya suami saya.

“ Tidak.” Jawabnya singkat.

Meninggal di usia 18 tahun. Tanpa pesan. (Mungkin) karena ada masalah dengan pacar. Lulusan STM. Selalu ranking satu. Tak pernah ada masalah dengan keluarga. Anak yang baik, sopan, hemat, dan tidak pernah menyusahkan orang tua. Ketika meninggal ironisnya, anak ini mendapat panggilan ‘interview’ di satu perusahaan yang tak pernah dia kirimi ‘resume’. Hanya perusahaan itu percaya karena dia direkomendasikan oleh gurunya. Tentunya menyisakan tanda tanya besar bagi keluarganya. Bagi bapak-ibunya. Bagi adik-adiknya yang masih melewatkan waktu terakhir bersama kakak lelaki mereka bermain Nintendo bersama, sebelum akhirnya masuk kamar mandi dan mengakhiri segalanya. Mengakhiri dengan caranya. Cara yang dianggapnya terbaik karena dia amat tertutup, tak pernah cerita apa-apa.

Hati saya masih berkecamuk. Satu sisi mendoakan agar Tuhan mengampuni dosa-dosanya. Juga mendoakan agar keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan. Sisi yang lain juga dilanda sedikit tanda tanya, apa yang sebetulnya terjadi. Apa memang kematian itu memang misteri, sehingga caranya pun tak pernah sama bagi setiap orang? Tetapi kali ini, sedemikian misteriusnya, sehingga dia pergi tanpa pesan. Dengan mengakhiri menurut kehendak pribadinya.

Si Pengemudi masih berusaha menegarkan hati. Terus mengemudikan mobil dengan baik dan bertutur penuh sopan-santun terhadap kami. Sementara saya berdoa kepada Pengemudi kehidupan seluruh manusia yang ada di atas sana. Tuhan, berkati keluarga ini, Si Pengemudi ini, dan sekali lagi…ampunilah dosa-dosa anak lelakinya.

Si Pengemudi masih menembus jalan-jalan di kota Palembang. Sampai menjelang malam. Dan bukankah kita semua mengemudikan hidup kita sebaik yang kita bisa? Sambil tetap percaya penuh kepada Sang Pengemudi utama kehidupan ini, yaitu Tuhan sendiri.

Satu sisi saya merasa terhormat, Si Pengemudi telah berbagi cerita kepada saya. Membagikan hidup dan kesedihannya kepada kami. Setiap orang punya duka, setiap orang punya luka. Mau pengemudi, pengusaha, atau tukang becak. Mau sarjana S3, lulusan SD, atau tamatan SMEA. Bukankah hidup dengan kumpulan suka-dukanya itu menjadikan kehidupan itu lebih berarti? Dan di dalamnya, penting bagi kita untuk menyadari, masih ada asa di esok hari. Sehingga tak lagi putus harapan dan berbuat nekad untuk mengakhiri. Harap itu tak pernah pergi. Adalah pilihan kita untuk mau melihat atau membutakan diri dari secercah asa di hidup ini. Life is beautiful if only we can see it with hope. Don’t lose hope!

HCMC, 19 Februari 2010

-fon-

* ucapan terima kasih buat Si Pengemudi dan ‘curhat’-nya serta kepercayaannya kepada kami. Semoga Tuhan berikan kekuatan, Pak! Amin.


Sumber gambar:
http://jennifertobler.files.wordpress.com/2008/05/rear-view-mirror.jpg

No comments:

Post a Comment