Friday, February 26, 2010

Lapar


Dikaisnya tempat sampah itu. Ternyata hari ini dia cukup beruntung. Di tempat sampah yang baunya menyengat itu, dia temukan sebungkus nasi. Tepatnya sisa nasi Padang yang sudah tinggal tak sampai separuh, kuah gulai yang berwarna kuning, plus sedikit cabai hijau. Tak lama, ketika dia mengais dan mengorek lebih dalam, ditemukannya beberapa lembar roti tawar. Hari ini mungkin nasib baik berpihak padanya. Karena tiga lembar roti tawar itu masih cukup baik, hanya sedikit yang berjamur. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Rotinya bisa dia simpan buat sarapan. Sementara nasi Padang jadi menu makan malam ini. Dia menelan air liurnya. Terbayang sudah kelezatan nasi Padang itu di pikirannya. Sampai seseorang yang tak dia sangka-sangka datang dan merebut makanan lezatnya itu!

“ Jangan!” teriaknya spontan.

“ Kasih ke aku, Din!” suara itu garang dan mengancam. Sambil sudah menarik bungkusan itu dari tangan Didin.

“ Jangan, Mbak Puput! Didin sudah kelaparan setengah mati. Didin sudah berhari-hari tidak makan. Hanya minum air dan sisa biskuit dua hari yang lalu. Didin kelaparan! Jangan ambil!” Didin mulai menangis. Rasa lapar tak lagi mampu ditahannya. Didin, anak berumur tiga belas tahun itu, tak kuasa melawan Mbak Puput. Kepala pemulung di daerahnya yang lebih berkuasa, lebih berumur, dan lebih dewasa.

Sia-sia saja upaya Didin mempertahankan nasi bungkusnya. Mbak Puput merebutnya, menghabiskannya di hadapan matanya. Sementara Didin hanya gigit jari. Terpaksa lembaran roti tawar itu jadi makan malamnya. Sambil menangis kencang, ia merasa pelan-pelan ada satu perih tak terlukiskan di hatinya. Dia berjalan, duduk di sisi tong sampah besar, di daerah tempat tinggal pemulung yang terletak bersebelahan persis dengan tempat pembuangan sampah. Mbak Puput bergegas pergi, tak peduli. Menghampiri anak kecil lain bawahannya yang memiliki makanan hasil mengais dari tempat sampah juga. Mbak Puput memang tinggi besar, gemuk padat, dan selalu kelaparan. Perempuan berumur tiga puluhan itu selalu mampu mengambil jatah makanan anak-anaknya hari itu. Apalagi ketika mereka sedang tak beruntung kena inspeksi mendadak seperti nasib Didin.

Didin menangis, dia tak tahu harus makan apa dia besok?

***

Sementara di rumah tak jauh dari pembuangan sampah itu, di rumah bercat putih dan berpagar hitam yang tinggi menjulang, makan malam tengah terselenggara dengan sempurna.

Seluruh menu empat sehat lima sempurna telah terhidang di hadapannya. Namun, Sheila tak berselera. Udang goreng mentega, ayam bakar bumbu rujak, sayur brokoli cah saus tiram, nasi putih, sampai makanan penutup sudah tersedia rapi. Tiga orang pembantu di rumah itu membuat Sheila lebih dari cukup perhatian untuk semua kegiatannya di rumah.

Namun, dia tak nafsu makan. Hilang semua seleranya, ketika baru saja Papi menelpon dan bilang tak akan makan di rumah karena tiba-tiba ada ‘meeting’ mendadak dengan para pemegang saham. Sementara Mami yang tengah sibuk dengan kegiatan sosialnya, berkunjung ke luar kota dengan kelompoknya karena mereka mau mengunjungi panti asuhan di sana. Dan setelah pulang di hari Minggu, Seninnya Mami harus berangkat lagi. Kali ini ke Hongkong, kalau tidak salah mendapatkan salah satu penghargaan atas kegiatan sosialnya untuk tingkat Asia. Entahlah, Sheila tak mengerti kegiatan Mami yang bejibun itu. Dia hanya duduk diam termenung, tak bisa menyuapkan satu sendok makanan pun ke mulutnya. Tiba-tiba dia merasa kenyang!

Langsung ditujunya saja internetnya, tempat ia mencari hiburan atas kesepiannya. Mulai dari situs pertemanan, chatting, sampai musik online. Dan tak lupa, Sheila juga merambah situs-situs terlarang guna mencari kepuasan batin dan setelah itu dia mencari pacar yang diharapkan mampu mengisi kekosongan hatinya. Namun, tak juga ditemukannya yang sejati. Dia hanya terus jatuh dan jatuh lagi. Dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain. Guna memuaskan rasa lapar dan dahaganya akan cinta.

Dan berharap suatu saat nanti, dia akan menemukan bahagianya.

***

Sheila dan Didin adalah gambaran yang nyata akan rasa lapar di sekitar kita. Ada kalanya lapar itu berarti harafiah: perut yang tak terisi dan terpaksa puasa sekian hari karena kemiskinan yang membelit dan tak mau pergi. Sehingga inflasi dan kenaikan harga makanan tak lagi mampu diimbangi dengan daya beli. Tak lagi mampu makan nasi, terpaksa diencerkan: makan bubur. Tak lagi mampu makan beras, terpaksa makan tiwul. Tak lagi mampu makan sehari sekali, terpaksa makan dua hari sekali.

Banyak sekali yang masih kelaparan di dunia ini. Di sekitar kita. Tetangga kita. Di jalanan di lampu merah, di sudut-sudut kumuh yang jauh dari gemerlapnya metropolitan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Lapar, menahan perut yang lapar, bisa membuat orang ganas. Dan bukan tak mungkin, hanya karena setengah nasi bungkus yang diperebutkan, terjadi bakuhantam dan nyawa bisa begitu entengnya melayang.

Tak kalah gawatnya adalah kondisi kurang kasih sayang. Lapar akan cinta, lapar akan kasih yang sejati. Yang tak pernah didapat dari keluarga. Tak dimiliki dari rumah, walaupun mungkin berlimpah harta dan hidup berkecukupan. Ketika orang tua tak lagi punya waktu yang cukup bagi anaknya. Ketika kesibukan cari uang, kesibukan cari popularitas dan kesibukan yang begitu menggoda di luar sana membuat ayah dan ibu terlena seketika bahkan lupa akan anak-anaknya di rumah. Mereka mencari dan merindukan kasih itu. Sampai kapan pun, akan selalu ada perasaan hampa. Sebanyak apa harta yang diberikan orang tua tak lagi bermakna. Sebanyak apa kegiatan yang diharapkan bisa menjadi alat pemuas kelaparan kasih dalam dirinya tak juga bisa memuaskan dahaganya. Sheila masih mencari. Dan masih banyak Sheila-Sheila lainnya dalam hidup ini yang masih terus mengais tong sampah kekosongan dalam hatinya dan berharap menemukan makanan bagi jiwanya.

Di sekitar kita, bahkan di rumah kita mungkin ada Sheila. Di lingkungan kita mungkin ada Didin. Mungkin kitalah Sheila itu sendiri. Mungkin Didin itu anak tetangga kita yang kita kenal. Mungkin dan mungkin….

Dunia ini penuh kelaparan. Mari kita yang tengah atau sudah lebih kenyang, berbagi kepada mereka yang menangis kelaparan. Kita bisa menjadikan dunia ini lebih baik. Setidaknya, dengan mulai membagikan apa yang kita miliki dan bersimpati dengan mereka yang kekurangan. Saling berbagi, semoga jadi kunci menuju dunia yang semakin penuh kasih. Semoga harapan ini bisa kita sama-sama wujudkan. Itu doa saya.

HCMC, 27 February 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://www.istockphoto.com/file_thumbview_approve/5205956/2/istockphoto_5205956-hungry-for-love.jpg

No comments:

Post a Comment