*** Sebuah cerpen. Terinspirasi dari
I'm holding on your rope,
Got me ten feet off the ground
I'm hearin’ what you say but I just can't make a sound
You tell me that you need me
Then you go and cut me down, but wait
You tell me that you're sorry
Didn't think I'd turn around, and say...
It's too late to apologize, it's too late
I said it's too late to apologize, it's too late
Aku gelisah. Terbaring sembari membolak-balikkan badanku di atas ranjang kecil di kamar sempitku. Hatiku tak tenang. Penghujung tahun yang biasanya ramai, penghujung tahun yang biasanya penuh keceriaan, kini tak kurasakan. Sementara banyak orang mempersiapkan diri mereka untuk pesta akhir tahun, sementara banyak keluarga mulai mempersiapkan ‘barbeque night’ di pekarangan rumah mereka, sementara banyak keluarga berencana atau malah tengah pergi ke luar kota bahkan keluar negeri, aku harus menelan pil pahit kesendirianku di akhir tahun ini. Mendung menaungi hatiku. Badai bermukim di
Papa dan Mama sempat bangga terhadap diriku. Sebagai anak tunggal dan kesayangan mereka, aku diharuskan memenuhi semua standar tinggi yang mereka berikan kepadaku. Dan dari pendidikan formal sampai pendidikan ekstrakurikuler, semua bisa kulakoni. Dari rapor di sekolah sampai rapor piano dan Bahasa Inggrisku semua prima. Mereka puas.
Sedangkan aku? Aku tak tahu pasti. Setidaknya aku mampu membahagiakan mereka. Aku pun bahagia. Tapi satu sisi, hatiku menjerit. Karena banyak kali, aku tak bisa memenuhi keinginanku. Hasrat terdalamku. Impianku. Banyak kali kukorbankan keinginanku, hobbyku, hanya demi mereka. Dan kali ini, rasanya sudah cukup. Aku hanya ingin menekuni apa yang kumau. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Aku tak ingin masuk jurusan kedokteran seperti yang mereka inginkan. Aku tak pernah ingin jadi dokter. Aku hanya ingin jadi seorang penerjemah. Untuk itulah aku masuk jurusan Sastra Inggris. Karena aku pikir, aku juga suka sastra semacam Shakespeare dan sejenisnya. Aku juga suka membaca karya-karya sastra dalam Bahasa Inggris. Jadi Penerjemah? Mengapa tidak?
Sudah bertahun-tahun kuikuti keinginan mereka. Ini waktunya bagiku untuk berdiri tegar di atas impian hatiku. Walaupun dengan konsekuensi, tak ada lagi kiriman uang saku. Walaupun dengan kemungkinan takkan lagi aku dikirimi uang untuk pendidikanku. Tapi, biarlah, kali ini aku tak mau lagi disetir. Aku tak mau lagi jadi robot bagi keinginan mereka. Aku manusia yang punya hati. Aku mau jadi diriku sendiri.
Pa, Ma, izinkanlah sekali ini saja, aku mengikuti kata hatiku!
Yang kudapati hanyalah bantingan pintu kamar Mama dan tatapan kecewa Papa. Itu yang terakhir kalinya ketika aku meninggalkan
Lagu itu mulai mengganggu pikiranku. Benarkah terlalu terlambat untuk meminta maaf? Benarkah?
Atau sebaliknya? Tiada kata terlambat bagi mereka yang mau meminta maaf? Bagi mereka yang mau berdamai?
‘Is too late to apologize? Or it’s not (never) too late to apologize?’ Hatiku masih terus berperang. Antara keyakinan berdasarkan lagu yang terus kuputar di kamarku versus keyakinan lain yang mulai menggerogoti hatiku… Bahwa inilah saatnya berdamai dengan mereka?
Kuambil telepon genggamku. Mungkin ini saatnya minta maaf kepada Papa dan Mama. Mungkin tahun baru ini menjadi berbeda, karena aku mau secara rendah hati mengalah kepada mereka. Tokh mereka adalah orang tua kandungku. Tokh mereka tak pernah bermaksud jahat kepadaku. Hanya memang kali ini pandangan kami berbeda. Tapi haruskah permusuhan itu menjadi melebar sampai bertahun-tahun begini?
Dengan ragu aku memutar nomor telepon rumahku. Nomor yang sudah empat tahun belakangan tak pernah kuputar sama sekali. Aku sudah lulus dari kuliahku. Aku sudah mengajar menjadi guru di salah satu kursus Bahasa Inggris ternama di
“ Halo, “ Suara tegas sedikit ketus, khas Mama di seberang
Klik. Kututup sambungan telepon kami. Entah, hatiku masih amat ragu untuk memulai percakapan kali ini. Keberanianku belum terkumpul secara sempurna. Malas memulai lagi setelah sekian lama tidak bicara. Tapi, kali ini, demi hubungan kami?
Kuulangi panggilan sekali lagi. Kutarik nafas dalam-dalam dan berkata:
“ Halo, Ma. Apa kabar?”
Kudengar tangisan di ujung
“ Meity, ke mana saja kamu, Nak?” Sedu sedan mengiringi ucapannya yang terbata.
“ Aku ada, Ma. Di Jakarta. Aku pulang, Ma, boleh? Malam ini aku coba cari pesawat, kalau tidak besok pagi.”
“ Boleh? Pertanyaan apa itu? Ini rumahmu, kami sudah lama menginginkan kedatanganmu kembali. Kau anak kami satu-satunya. Pulanglah!” Tak ada nada kesal atau marah lagi di suara Mama. Malahan kesungguhan kudapatkan di
Dan kututup telepon dengan lega. Langsung bersiap ‘packing’ untuk keberangkatanku. Sambil kumatikan CD-ku. One Republic, kita tidak sependapat kali ini. It’s never too late to apologize :) Tak pernah ada kata terlambat untuk minta maaf. Untuk keinginan memperbaiki hubungan yang sudah rusak parah sekalipun, tak pernah ada kata terlambat.
Aku tersenyum bahagia. Keharuan menyelimuti hatiku. Aku mau pulangggg!
HCMC, 31 Desember 2009
-fon-
* mengingatkanku untuk tak pernah terlambat bagi hati yang mau meminta maaf. Kepada siapa pun. Selamat tahun baru!
Sumber gambar:
http://sisterskeepers.files.wordpress.com/2008/02/whitedandelion4.jpeg
i'll be home for new year wkwkwkwk
ReplyDelete@ Femi: jadi ada sontrek baru neh cerpen wkwkwk...Hepi new year yaa:)
ReplyDelete