*** Cerpen Natal
Sebagai seorang ibu dari seorang anak yang bersekolah di sekolah internasional, aku terkadang suka pusing. Bukannya kenapa, karena ekonomi kami sebetulnya pas-pasan. Rizky bisa masuk ke sekolah itu karena pertolongan dari kepala sekolahnya yang memberikan keringanan berupa bea siswa, karena tahu keluarga kami bukan tergolong mampu. Sisi lain yang terasa sulit bagi kami untuk beradaptasi adalah
Biasanya kami hanya memberi kartu ucapan selamat dan itu pun diberikan kepada anak yang berulang tahun, sehari sesudahnya. Karena Rizky tak pernah kami ajak ke
Liburan kali ini, Rizky bilang, seluruh temannya sudah berlomba-lomba cerita tentang liburan ke
Jangan pernah berpikir bahwa kami tak pernah mempertimbangkan agar Rizky keluar dari sekolah itu. Beban mentalnya terlalu berat bagi kami, belum lagi Rizky. Namun, setelah dua kali kami menyatakan kepada Kepala Sekolah ‘Star International’ bahwa Rizky akan berhenti, tiap kali Kepala Sekolah pun memberikan dukungan berupa bea siswa sampai selesai O Level nantinya. Semakin pusing kami dibuatnya. Akhirnya kami teruskan, walaupun hati setengah bimbang. Bea siswa itu ditawarkan bukannya tanpa alasan, karena dari sejak masuk sampai hari ini Rizky selalu menduduki ranking pertama dari berapa pun kelas yang ada. Dia juara umum. Terima kasih kepada Tuhan, dalam kesederhanaan kami, Tuhan beri kepercayaan mendidik seorang anak pintar yang sebetulnya sangat penurut pada orang tua. Tapi tidak belakangan ini…
Terpengaruh suasana
“ Nak, Ibu saja belum pernah ke luar negeri sampai hari ini. Bukannya Ibu tak mau, tapi Ibu tahu diri, karena gaji Bapak hanya cukup buat makan kita sekeluarga dan sedikit tabungan kita. Ibu mau sekali pergi sama kamu dan Bapak, tapi kita masih belum mampu, Nak…” Dengan sedih kuungkapkan kalimat-kalimat itu. Mengharapkan anakku mengerti. Bahwa kami cukup walaupun kami tak pernah ke luar negeri. Kami cukup, walaupun kami tak bisa merayakan ulang tahun Rizky di hotel berbintang empat atau
Hatiku sedih sekaligus bahagia. Bahagia karena sadar, keadaan kami tidak terlalu buruk dibandingkan mereka yang lebih sulit daripada kami. Sedih, karena orang tua mana yang tak ingin memenuhi keinginan anaknya? Tapi kami memang belum mampu. Mau bilang apa…
Rizky memandangku dengan sedih. Dia amat kecewa, tapi dia berusaha tegar dan menerima.
“ Baiklah, bu… Kalau begitu, Rizky mau belajar yang pintar, biar dapat bea siswa ke luar negeri. Ke Singapura atau ke Inggris, Rizky mau lihat dunia!”
“ Gitu dong, anak ibu! Jempol!”
Aku senang melihat semangatnya yang bangkit lagi seperti itu. Aku senang bahwa dia tidak terpuruk dalam dukanya, malah melihatnya sebagai motivasi untuk berusaha lebih keras. Semoga Tuhan bukakan jalan untukmu, Nak… Semoga Tuhan juga melindungi setiap langkahmu di lingkungan keras seperti itu yang harus kaujalani tiap hari…
Seminggu sebelum
Libur telah tiba. Aku dan Rizky tak ke mana-mana. Paling ke supermarket dekat rumah kami. Berbelanja sedikit, sesuai kantong kami. Kalau berbelanja banyak-banyak, uang dari mana? Rizky cukup senang hati ketika kubelikan cokelat
Sepulang dari supermarket, di depan gang, kami jumpai beberapa anak kecil anak Bu Dullah, tetangga kami. Mereka saling berebut permen. Permen yang hanya dua butir, diperebutkan oleh empat anak Bu Dullah. Melihat hal itu, Rizky otomatis menjulurkan sekantong permen yang dipegangnya. Permen yang kami beli tadi. Sehingga mereka tak lagi ribut, malahan tersenyum dan berterima kasih pada Rizky. Lucu melihat gigi mereka yang sebagian ompong, tapi masih menyeringaikan senyum kepada kami. Sebungkus permen seharga
Rizky tersenyum. Aku pun bahagia. Rizky tahu artinya berbagi.
Di rumah, kembali aku puji dia, “ Nah, begitu dong, anak baik… Lihat, masih banyak yang lebih susah dari kita, Rizky. Mereka sekolah saja sulit, belum tentu bisa tamat. Rizky bisa sekolah di ‘Star’ itu sudah bagus.”
“ Betul, Bu.. Sekarang Rizky tambah sadar…Bahwa omongan Ibu memang benar. Rizky harus bersyukur.”
Tak lama kemudian kami menyalakan televisi. Kali ini ada berita kurang menyenangkan, sebuah pesawat internasional yang membawa dua ratus penumpang dan sepuluh awak pesawat, dinyatakan hilang. Dan pesawat itu bertujuan ke Hongkong. Rizky terkejut luar biasa, karena dia tahu, beberapa temannya sudah bicara padanya akan berangkat seminggu sebelum
“ Rizky, kita doa, yuk… Doakan teman-teman kamu dan keluarganya yang ada di pesawat itu.” Kami pun masuk ke kamar dan berdoa sejenak.
Tak lama, nama-nama penumpang pun terpampang jelas. Rizky benar, setidaknya ada
Rizky masih tertegun dan wajahnya masih ‘shock’. Masih terkejut. Namun, aku sadar, hari ini dia belajar sesuatu. Bahwa Natal tak selalu identik dengan pesta pora, bahwa Natal tak selalu sama dengan liburan mewah ke luar negeri, bahwa Natal tak selalu harus memberi hadiah mahal yang dianggap murah karena dibeli waktu ‘sale’ di mal ternama. Bukan hanya karena kami tak mampu menikmati semuanya itu. Memang kami belum mampu, tapi apakah esensi
Damai dari surga pelan-pelan menyebar ke hati kami. Di rumah kontrakan kami yang sederhana, berdinding kayu dan berpagar hitam yang sudah sedikit berkarat, damai itu kami rasakan. Dan semoga keluarga yang ditinggalkan dari para korban kecelakaan pesawat tadi, walaupun amat sangat pedih, bisa pelan-pelan dipulihkan oleh kasih-Nya. Semoga damai-Nya tetap terasa di mana pun kita berada. Semoga damai-Nya meliputi setiap hati di bumi senantiasa. Hidup sering membawa kita kepada kejutan yang menyenangkan ataupun menyedihkan. Namun, damai-Nya semoga tetap menaungi hati kita, dalam apa pun yang terjadi. Pahit atau manisnya hidup ini, damai Tuhan selalu sertamu.
Selamat Natal, selamat berbagi kasih dan bersyukur untuk apa yang dimiliki, bukan apa yang tak dipunyai…
HCMC, Desember 21, 2009
-fon-
* let’s coming back to the essence of Christmas, God so loved the world, that He gave His only Son…. Peace be with you. Selamat Natal!
Sumber gambar:
http://www.thewayncc.org/images/Peace%20On%20Earth%20Hands.jpg
wuih panjang juga, God Bless
ReplyDelete@GKII Rehobot: cerpen tapi panjang, ya? hehehe...Ma kasih dah baca dan komen...GBU.
ReplyDelete