Setelah agak tertunda sekitar beberapa minggu, serial ini balik lagi. Mungkin ke depannya, setidaknya saya usahakan untuk menuliskannya sebulan sekali. Moga-moga bisa konsisten :) Inilah pengalaman saya di negeri orang…
Ben Thanh Market (Cho Ben Thanh) di sore hari…
Setelah bagian dalam pasar tutup, sekitar pukul 6 sore, saya melihat para pedagang sibuk dengan gerobak kayu yang ada roda di bawahnya dan bersiap membawa tenda-tenda, kardus kayu atau kotak plastik, untuk mempersiapkan restoran mereka di malam hari. Mereka bekerja keras, gesit, dan amat cepat. Dalam sekejap, siaplah tenda-tenda itu lengkap dengan meja kursinya, dan kami pun bisa memesan makanan di sana. Saya agak kasihan sebetulnya mereka berlari-lari tergopoh-gopoh untuk segera mempersiapkan tenda rumah makannya. Namun, suami saya berujar, ‘ life is tough’. Hal yang mungkin terlupakan bagi banyak orang termasuk saya di saat itu, hidup memang tak selalu mudah. Hidup memang perlu perjuangan.
Anggaplah kondisinya sedikit banyak mengingatkan saya pada daerah Pecenongan di Jakarta Pusat, di mana para pedagang buka setelah toko di dalamnya tutup. Dan makan di pinggir jalan di Ben Thanh di malam hari memang membawa suasana berbeda.
Kami mampir di restoran yang menjual ikan bakar, udang dan teman-temannya. Untuk kedua kalinya, kami makan udang rebus yang disusun rapi di atas kelapa muda. Menarik juga ya! Entah ada tidak cara penyajian serupa di Indonesia. Sambil berusaha meningat-ingat, udang dan ikan sudah masuk ke perut. Nyam-nyam…! Di restoran ini, setidaknya saya bisa makan tanpa sakit kepala. Harga yang terjangkau dan rasa yang enak. Memang sih pinggir jalan, but who cares? Lagian saya penikmat kuliner biarpun di pinggir jalan. Itu seninya :)
Setelah puas berbelanja di pasar malam Ben Thanh, kami pun pulang. Setelah sebelumnya membeli kue-kue semacam getuk tapi dengan parutan kelapa. Enak sih, tapi sepertinya penjual memainkan harga. Ketika dipikir kami orang Vietnam, dia jelas-jelas mengatakan, “ Nam nghin” yang berarti lima ribu dong per bungkus Tetapi ketika kami membayar, dia minta sepuluh ribu dong per bungkus. Dengan hati sedikit kesal, kami bayar pula dan berlalu. Tapi, ya resiko, tak bisa bicara dalam bahasa Vietnam. Kondisi ini amat berbeda, ketika saya pergi ke pasar di dekat rumah. Pedagang yang masih jujur dan polos, memberikan saya harga-harga yang sama dengan yang dijual kepada orang lokal. Walaupun mereka tahu, saya masih kesulitan untuk bicara dalam bahasa mereka. Namun, setidaknya saya mulai memakai angka-angka dalam bahasa Vietnam. Walaupun masih bengong dan sulit mengerti kalau mereka bicara terlalu cepat. Tapi setidaknya saya berusaha.
Saigon Notre-Dame Basilica (Vietnamese: Vương cung thánh đường Đức Bà Sài Gòn or Nhà thờ Đức Bà Sài Gòn)
Ketika bicara dengan beberapa sopir taksi yang tidak berbahasa Inggris, mereka bingung jika saya bilang Saigon Notre-Dame Basilica. Beberapa kali akhirnya saya mengucapkan ‘Duc Ba’, dan kata ini lebih dimengerti. Walaupun terkadang mereka bingung, akhirnya saya memperjelas dengan ‘Nha tho Duc Ba’ yang berarti Gereja Duc Ba. Eniwei, buswei, di sanalah saya misa selama beberapa minggu terakhir. Misa 09.30 di hari Minggu adalah Misa Berbahasa Inggris. Saya sempat datang pukul delapan pagi dan berada di tengah-tengah misa Bahasa Vietnam di sana. Itu dikarenakan saya mencari satu gereja lain di Ton Dhuc Thang yang menurut info dari tetangga di apartemen juga memiliki misa berbahasa Inggris, tapi ternyata tidak ada misa pukul delapan pagi, jadi saya meneruskan perjalanan ke Duc Ba.
Duc Ba dipenuhi para turis yang sibuk menjepretkan kameranya dan merekam dengan ‘handycam’ pula. Duc Ba memang cukup indah. Terutama bagian depannya, arsitektur yang unik ini menjadi tempat foto ‘wedding’ terkemuka di sini. Terlihat dari tiap minggu ada banyak pasangan berbaju pengantin yang difoto di seputar gereja. Sang ‘Cameraman’ sampai seru juga jongkok di pinggir jalan, agak melupakan kondisi lalu lintas yang simpang siur di Vietnam ini…
Bel gereja pagi ini saya lihat berhiaskan hiasan natal berwarna perak dan emas. Dililit pita semacam pita Natal dari bawah sampai ke atas. Yang menarik bagi saya, di dalam Duc Ba, terletak banyak Santa/Santo yang disediakan tempat berdoa plus meletakkan lilin. Di sekeliling bagian dalam gereja, penuh dengan Santa/ Santo. Termasuk Bunda Maria, Santo Petrus, Malaikat Mikael, Santa Anna, dan banyak lagi yang saya tak ingat satu per satu. Di depan gereja sendiri, patung Bunda Maria yang besar mendominasi pekarangan yang dihiasi tanaman. Tempat banyak orang berdoa dan berdevosi kepada Bunda.
Banyak turis yang duduk ikut misa, sehingga ketika misa berlangsung banyak yang tidak menerima komuni. Sementara antrian komuni tidak serapi di Singapura atau Indonesia, cukup berantakan. Saya hari ini juga mengalami kebingungan kapan harus maju untuk komuni. Akhirnya maju bersama sebelah saya dan diselak oleh orang-orang yang kami selak, bingung? Iya, belum biasa seh…
Selesai misa kembali jepretan kamera dan rekaman ‘handycam’ memenuhi Duc Ba kembali. Ini memang salah satu tempat wisata di HCMC.
Saigon Central Post Office (Vietnamese: Bưu điện Thành phố Hồ Chí Min)
Kantor Pos Pusat Saigon, juga menjadi pusat atraksi dan pariwisata di sini. Karena bangunan ini juga sudah berdiri cukup lama, awal abad ke-20 menurut Wikipedia. Dan lokasinya yang di pusat kota, berseberangan dengan Saigon Notre-Dame Basilica menjadikannya mudah dijangkau. Di kiri kanan sebelah dalam Kantor Pos ini, tersedia souvenir. Sementara foto ‘Uncle Ho’ ( Ho Chi Minh) terpampang lebar-lebar di bagian tengah kantor pos ini.
Dari pintu masuk menghadap ke dalam, sebelah kirinya penuh deretan telepon umum semacam kamar-kamar wartel yang berisikan telepon, satu kursi dan meja kecil. Ruangan wartel yang sejuk ber-AC sering dimanfaatkan anak kami untuk bermain dan ‘mengadem’ sejenak…
Setelah ke gereja, pastinya mampir ke kantor pos bagi para turis adalah hal yang biasa. Satu paket sepertinya…
Suasana Natal di HCMC
Suasana natal sudah mulai mendominasi banyak jalan di HCMC. Bahkan di apartemen kami, sudah dipasang Santa dengan keretanya plus rusa-rusa. Ada pula rumah kecil terbuat dari styrofoam. Dan di banyak tempat, termasuk di dalam Tax Center di pusat kota, sudah berdiri beberapa pohon natal di dalam mal dan di luar penuh hiasan Santa dan sebagainya. Memang suasana yang dihadirkan amat berbeda dengan Singapura. Yang kinclong habis luar biasa, yang memang indah dan mewah. Namun, dalam kesederhanaan HCMC, saya bisa melihat kehangatan di sini. Kebahagiaan warga yang sederhana karena hiasan Natal yang sederhana saja, bisa memperlihatkan kepada saya bahwa negara ini penduduknya lugu, belum terlalu terkontaminasi materialisme tingkat tinggi. Sehingga kemampuan mereka mensyukuri apa yang ada, biarpun itu sederhana, membuat saya terharu dan belajar dari mereka. Bersyukur dalam kesederhanaan sekali pun. Tentu saja, beberapa apartemen mewah, mal mahal, juga terkesan ‘wah’. Tapi di luar itu semua, kesederhanaan kota ini secara keseluruhan, mengingatkan saya akan kenangan di kota Palembang, kampung halaman. Dan mengingatkan saya pula untuk mensyukuri sekecil apa pun berkat dari yang di atas.
Natal ini, akan jadi Natal pertama kami sekeluarga di Ho Chi Minh City. Segala sesuatu sungguh di luar perkiraan. Namun, memang Tuhan bekerja di luar akal manusia, bukan?
Kunikmati kehidupan di negeri asing yang tak terlalu jauh dari Indonesia. Dengan bahasa yang masih cukup asing, suasana keramahan yang hangat, dan hati yang terbuka terhadap perubahan yang Tuhan berikan kepadaku…
HCMC, I’m ready to celebrate Christmas and New Year this year!
HCMC, 20 December 2009
-fon-
* wishing you all: Merry Xmas and Happy New Year!
sumber gambar:
http://du-lich.chudu24.com/f/d/090402/duc-ba-sai-gon.jpg
No comments:
Post a Comment