Friday, December 4, 2009

Stempel di Dahi



Cap atau stempel? Kening, jidat, atau dahi? Semuanya benar dan semuanya ada di kamus Bahasa Indonesia. Dan masalahnya: pilih yang mana? Pada akhirnya saya memilih stempel di dahi, hanya karena masalah ‘rasa’. Rasanya kening paling sopan, jidat lebih kasar, seperti makian orang yang sering terdengar, “ Mana mata loe? Ditaro’ di jidat?” Dan dahi cenderung netral. Ini hanya perasaan saya, bisa salah bisa benar.

Tetapi, akhirnya saya memilih judul di atas untuk menggambarkan apa yang saya alami ketika berada di Singapura beberapa waktu yang lalu.

Kami menginap di satu hotel di daerah ‘Orchard Road’. Dan ketika sarapan pagi, saya yang tengah sibuk menggendong sambil sesekali menuntun anak saya, telah memenuhi meja kami dengan berbagai makanan yang saya kira bisa dimakan oleh anak saya. Ada keju setengah ‘slice’, ada kue semacam ‘sponge cake’ kecil, dan ada minuman berupa jus dan teh hangat. Sambil mengambil air minum, saya bawa anak saya, dan saya tinggalkan meja saya yang penuh pernak-pernik tersebut. Dan ketika saya pulang, saya tertegun melihat meja saya telah rapi bersih. Dan seorang perempuan muda, bertubuh kurus kecil, tersenyum kepada saya. Dan saya bilang ke dia bahwa saya belum selesai. Dia kembali tersenyum dan berkata, “ It’s Okay!” Dan berjanji akan mengambilkan saya teh hangat secangkir lagi. Tetapi sampai akhir saya selesai makan pagi, tidak satu cangkir pun datang kepada saya. Dan dia sepertinya tidak peduli pada saya. Saya agak kesal, tetapi berusaha mencuekkan, karena saya pikir buat apa juga ribut hanya gara-gara hal yang sepele seperti itu. Memang merepotkan, tetapi saya kembali mengambil satu per satu makanan buat anak saya. Dan saya kira boleh saja dia membereskan bila kelihatan meja sudah penuh tumpukan piring kotor dan bukan penuh makanan seperti di meja saya. Tapi, entahlah apa yang ada di pikirannya ketika dia membereskan meja saya di pagi itu. Saya hanya berlalu sambil menyimpan kesal di dada.

Dua hari kemudian…

Saya bangun agak pagi karena lapar. Malam sebelumnya saya makan tidak terlalu banyak jadi paginya perut sudah berbunyi. Keroncongan. Pelayan hotel yang sama masih ada di pagi itu. Saya sempat memperhatikannya bahkan saya tahu namanya. ‘Miss L’. Dan pagi itu karena anak saya masih tidur, saya sarapan sendirian. Hasilnya, saya jadi memperhatikan sekitar. Dengan perasaan kesal yang masih terbawa, saya terlanjur memberi stempel di dahinya, bahwa dia orang yang kurang bertanggung jawab. Tidak peduli sekitar dan kurang tanggap. Mungkin hal kecil, tapi kalau berhadapan dengan orang yang lebih vokal, sudah pasti Miss L dilaporkan kepada Manager-nya. Tapi, lagi-lagi saya kembali mendapatkan pemikiran yang berbeda…

Seberapa sering kita memberi stempel di dahi orang-orang yang berbuat salah atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita sering menyebut Si Mbak di rumah sebagai Mbak yang bodoh, tolol, udik, kampungan. Atau, kita dengan seringnya tertawa bersama karena stempel di dahi itu sudah begitu melekatnya pada diri seseorang: Si Tompel, Si Badung, dan maaf kalau ini terdengar kasar, Si Pincang. Terlalu sering kita memberi cap berdasarkan apa yang kita lihat, atau kita rasakan sebentar saja dan merasa tahu semuanya tentang seseorang. Saya melihat kejelekan ‘Miss L’ dan itu saja yang ada di mata saya. Tanpa saya sadari, dari pagi saya duduk di kursi itu, saya melihat senyum ramahnya yang kembali muncul setiap kali bertanya maukah para tamu menambah teh atau kopinya.

Bagaimana bila itu dibalik, bila kita yang diberi stempel buruk dan selalu dianggap takkan pernah berubah menjadi baik. Kita dihina terus-menerus tanpa diberi kesempatan untuk tumbuh ataupun berubah. Dan apa yang terjadi, bila Tuhan sudah putus harapan pada kita dan menganggap stempel di dahi kita sudah kartu mati, takkan pernah berubah lagi?

Saya menghela nafas. Mungkin dia salah, tapi itu hanya satu kali. Dua kali. Atau sepuluh kali. Tapi, tidak selamanya dia salah, dia bodoh, dia tak bertanggung jawab. Dan tidak seharusnya saya mengecapkan stempel itu di dahinya. Di keningnya. Dan beranggapan dia takkan pernah berubah.

Saya pulang ke kamar hotel, menjumpai anak dan suami yang tengah berbenah karena itu hari terakhir kami di Singapura. Kami pulang ke Vietnam di siang harinya. Pelajaran di hari itu membuat saya ingin menanggalkan cap atau stempel yang pernah saya berikan kepada orang lain. Tidak selalu mudah. Tidak selalu bisa. Namanya juga usaha. Tetapi saya hanya berpikir, kalau saya dicap seperti itu, apa enak? Apalagi kalau Tuhan sudah memberikan cap tersebut pada saya? Untung DIA Maha Pengampun. Maha Pengasih. Kalau tidak? Sudah jadi apa saya ini?

‘Miss L’, damai ya… ‘Peace’… :)

Saya juga manusia yang bisa salah. Sering menghakimi padahal diri sendiri masih jauh dari benar… Belajar jadi orang benar memang tidak pernah mudah. Semoga Tuhan selalu berikan kita semua kekuatan untuk menjadi diri sendiri yang lebih baik. Amin.

HCMC, 4 Desember 2009

-fon-

* cuplikan dari perjalanan singkat ke Singapura.

sumber gambar:

http://www.camodesign.de/images/projects/apestamp_1.jpg

No comments:

Post a Comment