Cap atau stempel? Kening, jidat, atau dahi? Semuanya benar dan semuanya ada di kamus Bahasa Indonesia. Dan masalahnya: pilih yang mana? Pada akhirnya saya memilih stempel di dahi, hanya karena masalah ‘rasa’. Rasanya kening paling sopan, jidat lebih kasar, seperti makian orang yang sering terdengar, “ Mana mata loe? Ditaro’ di jidat?” Dan dahi cenderung netral. Ini hanya perasaan saya, bisa salah bisa benar.
Tetapi, akhirnya saya memilih judul di atas untuk menggambarkan apa yang saya alami ketika berada di Singapura beberapa waktu yang lalu.
Kami menginap di satu hotel di daerah ‘
Dua hari kemudian…
Saya bangun agak pagi karena lapar. Malam sebelumnya saya makan tidak terlalu banyak jadi paginya perut sudah berbunyi. Keroncongan. Pelayan hotel yang sama masih ada di pagi itu. Saya sempat memperhatikannya bahkan saya tahu namanya. ‘Miss L’. Dan pagi itu karena anak saya masih tidur, saya sarapan sendirian. Hasilnya, saya jadi memperhatikan sekitar. Dengan perasaan kesal yang masih terbawa, saya terlanjur memberi stempel di dahinya, bahwa dia orang yang kurang bertanggung jawab. Tidak peduli sekitar dan kurang tanggap. Mungkin hal kecil, tapi kalau berhadapan dengan orang yang lebih vokal, sudah pasti Miss L dilaporkan kepada Manager-nya. Tapi, lagi-lagi saya kembali mendapatkan pemikiran yang berbeda…
Seberapa sering kita memberi stempel di dahi orang-orang yang berbuat salah atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita sering menyebut Si Mbak di rumah sebagai Mbak yang bodoh, tolol, udik, kampungan. Atau, kita dengan seringnya tertawa bersama karena stempel di dahi itu sudah begitu melekatnya pada diri seseorang: Si Tompel, Si Badung, dan maaf kalau ini terdengar kasar, Si Pincang. Terlalu sering kita memberi cap berdasarkan apa yang kita lihat, atau kita rasakan sebentar saja dan merasa tahu semuanya tentang seseorang. Saya melihat kejelekan ‘Miss L’ dan itu saja yang ada di mata saya. Tanpa saya sadari, dari pagi saya duduk di kursi itu, saya melihat senyum ramahnya yang kembali muncul setiap kali bertanya maukah para tamu menambah teh atau kopinya.
Bagaimana bila itu dibalik, bila kita yang diberi stempel buruk dan selalu dianggap takkan pernah berubah menjadi baik. Kita dihina terus-menerus tanpa diberi kesempatan untuk tumbuh ataupun berubah. Dan apa yang terjadi, bila Tuhan sudah putus harapan pada kita dan menganggap stempel di dahi kita sudah kartu mati, takkan pernah berubah lagi?
Saya menghela nafas. Mungkin dia salah, tapi itu hanya satu kali. Dua kali. Atau sepuluh kali. Tapi, tidak selamanya dia salah, dia bodoh, dia tak bertanggung jawab. Dan tidak seharusnya saya mengecapkan stempel itu di dahinya. Di keningnya. Dan beranggapan dia takkan pernah berubah.
Saya pulang ke kamar hotel, menjumpai anak dan suami yang tengah berbenah karena itu hari terakhir kami di Singapura. Kami pulang ke
‘Miss L’, damai ya… ‘Peace’… :)
Saya juga manusia yang bisa salah. Sering menghakimi padahal diri sendiri masih jauh dari benar… Belajar jadi orang benar memang tidak pernah mudah. Semoga Tuhan selalu berikan kita semua kekuatan untuk menjadi diri sendiri yang lebih baik. Amin.
HCMC, 4 Desember 2009
-fon-
* cuplikan dari perjalanan singkat ke Singapura.
sumber gambar:
http://www.camodesign.de/images/projects/apestamp_1.jpg
No comments:
Post a Comment