Wednesday, December 16, 2009

Terinspirasi ‘So You Think You Can Dance’



Inspirasi bisa timbul dari mana saja, kapan saja, di mana saja. Walaupun ada masa-masa di mana inspirasi itu rasanya begitu jauh, tapi ketika saya lebih teliti melihat, lebih teliti menggali, tiba-tiba ‘ting ting ting!’ timbullah inspirasi di kepala. Bagaikan tokoh ‘Lang Ling Lung’ dalam majalah Donal Bebek yang tiba-tiba mendapatkan ilham dan digambarkan dengan bola lampu yang menyala di majalah kartun itu. Begitulah yang saya alami dan rasakan.

Setelah beberapa hari agak kurang terinspirasi, saya mencoba mencarinya melalui ‘you tube’ dengan mencari ‘best advertisement’ atau ‘best ads’. Salah satu yang sangat mengena di hati dan sangat saya sukai, ‘rap battle’ yang merupakan iklan ‘Taco Bells’, salah satu restoran cepat saji dari Amerika Serikat. Cerita singkatnya: pemesan di ‘drive thru’ memesan dengan cara ‘rap’ yang cukup keren dan canggih. Ketika bertanya kepada karyawan/karyawati ‘Taco Bells’ apakah mereka mendapatkan info pemesanan tersebut, dibalas pula dengan’rap’. Yang hebatnya, karyawati ‘Taco Bells’ itu nge-rap dengan lebih cepat, lebih canggih, dan lebih keren. Saya dan suami tertawa terbahak melihat ekspresi melongo dari kedua pemesan yang masih berada di mobil. Dalam hati, pastinya mereka membatin, “ Gile, nggak nyangka, Man! Waitress-nya lebih canggih nge-rapnya… Kirain gue udah hebat, gak taunya? Wakakaka…”

Saya terinspirasi dengan iklan-iklan lucu, iklan-iklan inspirasional penyentuh hati, semacam hubungan anak dan orang tua yang mengharukan. Rasanya kagum melihat orang-orang di belakang layar yang menemukan ide-ide cemerlang untuk iklan-iklan bermutu semacam itu.

Kekaguman yang sama timbul ketika saya dan suami cukup rutin menyaksikan acara dari ‘Fox Television’ yang disiarkan melalui ‘channel’ AXN bertajuk ‘So You Think You Can Dance’. Serial ini sesekali kami ikuti ketika di Singapura dulu melalui ‘channel 5’- saluran yang berbahasa Inggris- saluran lokal televisi Singapura yang menyiarkan acara-acara asing termasuk ‘American Idol’. Judul tersebut jika diterjemahkan, rasanya memang bernada tantangan. Kalau saya pakai bahasa ‘prokem’ loe-gue, bisa diterjemahkan sebagai berikut, “ Jadi, loe pikir loe bisa nari?” Memang seperti men-‘challenge’ mereka yang jago menari untuk berpikir ulang. Apa loe emang jago? Kalo loe ngerasa jago, coba saksikan dulu yang berikut ini.

Melalui pencarian saya dengan bantuan ‘Mas Google’, saya tersadarkan bahwa episode yang saya tonton di AXN ternyata hanyalah dari ‘Season 4’. Sementara di USA sendiri, telah menelorkan pemenang dari ‘Season 6’. Sedikit tertinggal, namun biarlah apa yang saya lihat ingin saya bagikan dalam tulisan ini. Ketika semalam saya menonton final ‘Season 4’ dari ‘TV online’ di internet (dengan ‘internet connection’ yang baik di Vietnam ini, saya bisa menikmatinya), saya kembali terkagum-kagum. Para finalis, dua pria, dua wanita, memang jempol. Luar biasa. Bukan saja dua dari mereka, para pria-nya adalah penari amatir yang tak pernah mendapatkan pendidikan tarian sebelumnya, hanya otodidak sebagai penari-penari ‘hip hop’ dan mereka mengalami transformasi yang luar biasa dari sekian minggu mereka di acara tersebut. Bahkan pemenang Season 4, Joshua, adalah seorang penari amatir namun amat berbakat. Di acara ini, seluruh penari diharuskan menguasai semua tarian. Bukan satu macam, bukan dua macam, tapi kira-kira ada di atas 7 macam dari seluruh dunia. Kami sempat menyaksikan ‘Bollywood’ dance dari India, ‘Trepak’ dari Rusia, ‘jive’, ‘foxtrot’, ‘waltz’, ‘hip hop’, ‘jazz’, ‘contemporary’, ‘ mambo’, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak saya sebutkan di sini. Mereka harus menjadi orang-orang yang mumpuni dalam setiap tarian. Biasanya, orang mengambil spesialisasi. Penyanyi keroncong akan sulit menyanyi ‘rap’. Tapi di acara ini, mereka harus menarikan semuanya secara sempurna.

Dalam final sendiri, tiap penari berganti pasangan dengan pasangan lawannya. Lalu berpasangan berdasarkan jenis kelamin, sesama pria dan sesama wanita, dan harus pula tampil solo. Mereka sangat prima! Gerakan-gerakan yang sulit, terlihat amat mudah dan ‘enteng’ dilakukan oleh mereka. Saya amat salut! Sebagai seseorang yang suka menari, saya juga melihat memang mereka amat-amat-amat hebat dan berbakat. Belum lagi deretan koreografer yang mengajar mereka semisal si ganteng-tenar, Wade Robson. Dan banyak nama besar lainnya. Jadilah acara ini semakin memikat, memadukan seni tari tingkat tinggi, talenta para penari, dan koreografi yang amat indah menjadi satu tontonan yang amat menghibur dan mengundang decak kagum.

Saat itu, saya berpikir dan berandai-andai…

Hidup adalah ‘dance floor’. Panggung pementasan karya kita dari awal kelahiran sampai nanti ketika Sang Maut menjemput. Bagaimanakah saya menarikan hidup saya? Bagaimanakah saya mempertontonkan kehidupan saya kepada dunia? Mungkin saya bukan penari yang piawai. Saya menarikan hidup saya tertatih-tatih. Mungkin kaki saya tengah cedera, sehingga tarian saya pun tak sempurna. Mungkin, saya tengah kelelahan setelah sekian lama menari tanpa henti dan ingin duduk beristirahat sejenak sambil merenungkan kembali apa yang sudah saya tarikan sementara ini. Dan sementara saya merenung, saya kembali melihat karya-karya besar Tuhan sebagai koreografer utama hidup saya. Dia telah merancangkan semuanya ke dalam tarian kehidupan yang saya jalani. Terkadang saya amat fokus dan tertuju padanya, sehingga tarian saya menyenangkan hati dan sedap dipandang mata. Ada kalanya ketika saya menjadi ‘bad mood’, tidak ingin lagi menari, bahkan ingin berhenti untuk selamanya karena apa yang saya tarikan dengan susah-payah hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang saya kasihi dan dunia ini. Segala latihan yang saya lalui, jam-jam penuh keringat dan air mata, ketika saya tampil di panggung malah terjadi hal yang di luar perkiraan dan mengecewakan. Saya marah! Mungkin saya menyalahkan Sang Koreografer Sejati mengapa tak membuat langkah-langkah tarian yang mudah saja, mengapa harus membuat saya menari begitu sulit tanpa hasil pula? Apa maksud dari ini semua?

Hidup ini, ketika diibaratkan sebagai tarian, hendaknya ditarikan dengan sepenuh hati. Sehingga tarian kehidupan kita mampu dipandang penuh syukur oleh para penontonnya. Yang menyadari bahwa kita bisa begitu indah karena ada Sang Koreografer Utama di balik itu semua. Tuhan sendiri. Bukan karena kehebatan sang penari semata. Memang untuk menjadi penari handal, perlu latihan ratusan atau bahkan ribuan jam. Ratusan atau ribuan hari. Perlu kerja ekstra keras. Dan setiap langkah-langkah kecil yang kita buat hendaknya tetap dipersiapkan untuk menjadikan pementasan di panggung kehidupan kita lebih berarti. Dengan mempersiapkan segalanya: mental, bakat yang ada, stamina, kostum, dan sebagainya, kita kembali menarikan hidup kita bagi kemuliaan-Nya.

Hidup yang tak terinspirasi Sang Koreografer Utama, akan tetap berjalan. Namun, tariannya tak seindah yang telah di-koreografi-kan oleh-Nya. Ketika jalanmu sulit, ketika langkahmu tertatih, ketika engkau kelelahan. Mohon kekuatan dari-Nya, berdoa, berusaha mengasah setiap talenta yang dititipkan-Nya, sehingga kau kembali kuat untuk melangkah. Berlari kecil, gerakan memutar, melompat tinggi, meraih segala mimpi bersama-Nya. Jangan pernah berhenti! Tarikan hidupmu sebagai pujian syukur atas kebaikan-Nya!

HCMC, Desember 17, 2009

-fon-

* sangat sangat sangat terinspirasi oleh ‘So You Think You Can Dance’. Semoga kita bisa menari dengan indah di antara semua kecewa dan gundah, hanya bagi-Nya. Amin.

sumber gambar:

http://cdn3.ioffer.com/img/item/116/352/081/1dwUprkzRksb3u3.jpg

No comments:

Post a Comment