Ada beberapa teman bertanya, koq tulisan saya terakhir berupa puisi berjudul “ Mama bukan Super Mom” tertulis di Singapura. Memang benar, kami sempat kembali ke Singapura beberapa hari lamanya karena izin kerja suami yang belum selesai sedangkan masa satu bulan di Vietnam sudah sampai. Jadi kami harus ke luar dari HCMC menuju Singapura dan kembali ke HCMC. Satu sisi, saya bersyukur juga, karena saya pengin melihat suasana Natal di Orchard Road sebelum saya pindahan di awal November lalu. Tapi, tidak kesampaian, karena Orchard baru berbenah di awal November menyambut pertemuan APEC di pertengahan November 2009 lalu. Untuk itu, Orchard yang sudah biasa berbenah secara mewah, sekarang bertambah lagi, karena ada APEC Summit itu tadi.
Sebelum berangkat di akhir Oktober, saya mulai melihat Tanglin Mall sudah mulai berbenah. Tanglin Mall sudah rapi dihiasi permen dan rumah yang cantik di luarnya. Sementara deretan Orchard Road sudah mulai cantik pula, namun saya belum berkesempatan menikmatinya. Karena saya sibuk dengan pindahan dan tentu saja pikiran yang tengah bercabang seperti itu tidak mampu melihat keindahan sesuatu secara penuh.
Jujur saja, terbayang pun tidak bahwa saya akan tinggal di Singapura. Tapi, mungkin Tuhan tahu kerinduan hati saya yang terdalam ketika saya SMU dulu, saya ingin sekolah di luar negeri. Tetapi, karena banyak kendala, jadi saya memang tidak bisa meneruskan ke luar negeri. Yang utama adalah kesehatan Papa saya yang sudah amat menurun sejak saya SMP. Beliau meninggal ketika saya kuliah tingkat I. Dan perekonomian keluarga cukup morat-marit di kala itu. Mana mungkin saya memikirkan kuliah ke luar negeri kecuali lewat bea siswa? Dan kala itu juga, ketika hendak mencari bea siswa dari depdikbud Jepang (karena saya tengah kursus Bahasa Jepang di kala itu), Papa sepertinya enggan memberi lampu hijau. Akhirnya, saya kuliah di Jakarta (lagi-lagi bukan pilihan saya, karena saya inginnya kalau di Indonesia kuliah di Yogyakarta). Dan itu sesuai dengan kehendak Papa. Papa meninggal ketika saya di Jakarta. Setelah semua kejadian itu saya berpikir, bagus juga karena saya tidak dapat bea siswa ke Jepang bahkan tidak mengajukannya. Karena bila iya, saya hanya bisa pulang setahun sekali atas biaya Monbusho (depdikbud Jepang) dan bila Papa meninggal di tengah-tengahnya, pastinya saya tidak bisa menengok atau harus berhutang/pinjam dulu karena memang masa-masa tersebut adalah masa sulit bagi kami.
Tahun demi tahun berlalu, saya sudah hampir melupakan impian itu. Saya menerima, bahkan saya amat cinta dengan kota Jakarta. Yang bagi sebagian orang dibilang macet, polusi, tidak aman, banjir, dan sebagainya. Oh, saya juga realistis koq, saya adalah bagian dari kota yang realitanya seperti itu. Saya tidak meminta lebih, tapi saya senang di sana. Teman dan keluarga berkumpul, pekerjaan yang cukup baik, dan kegiatan kerohanian sampai kegiatan rekreasi semacam fitnes di pusat kebugaran sampai nonton bioskop dengan mudahnya bisa saya lakoni. Naik ojek, naik busway, naik taksi, tidak jadi masalah. Walaupun kadang deg-degan juga ya, tapi saya suka di Jakarta.
Setelah seolah impian itu tidak lagi mendominasi otak saya, tiba-tiba saja segala perubahan itu terjadi. Saya bertemu dengan suami saya, pacaran, menikah, dan hamil. Ketika hamil 7 bulan, kami pindah. Ke mana? Ke Singapura! Seperti impian yang jadi nyata! Saya amat senang. Saya sudah memimpikan tinggal di negara ini dari sejak saya SD. Di mana kami sekeluarga terbiasa menonton video sinetron atau serial dari Singapura. Di mana saya cukup hafal nama pemain, bahkan mengidolakan salah satu pemain film yang terkenal di Negeri Singa itu. Lie Nan Xing. Saya tahu Orchard Road, bahkan seolah saya sudah berada di sana, sejak dari kelas 4 SD. Mungkin itu yang dinamakan the power of the dream? Mungkin saja. Namun, di sisi lain, saya melihatnya sebagai rencana Tuhan yang tak pernah bisa saya selami. Mengapa bukan saat saya kuliah? Mengapa ketika saya sudah menikah dan hamil pula baru pindah ke sana? Banyak pertanyaan yang tak terjawab. Tapi, saya puas, akhirnya saya bisa ke Singapura.
Satu sisi, ketika hidup di Singapura, saya harus menghadapi banyak adaptasi. Dari bekerja, jadi ibu rumah tangga. Dari wanita karier yang aktif, jadi mengurus anak dan rumah. Adaptasi tinggal di negara baru yang sebelumnya hanya saya kunjungi dua kali. Tidak sesering orang-orang yang ber-weekend ke Singapura. Saya merasakan kerasnya hidup di sana. Dan satu sisi, saya melihat bahwa impian yang jadi nyata pun memiliki konsekuensinya. Tidak semua indah seperti dalam negeri dongeng. Tidak semua adalah happy ending yang ‘live happily ever after’. Tapi, lagi-lagi saya percaya, bahwa apa pun yang Tuhan berikan pada saya, pastinya Tuhan berikan pula kekuatan untuk melewatinya.
Orchard Road di malam hari. Indah. Bersinar terang. Dari Orchard Hotel di sisi yang satu, di kiri jalan. Sisi dari Tanglin Shopping Center menuju Orchard Road. Forum Shopping Mall, Delfi Orchard, Orchard Towers, Isetan on Scotts (Shaw House), Borders (Wheelock Place). Semua pusat perbelanjaan itu memenuhi kiri dan kanan jalan.Primadona baru Orchard Road, ION Orchard. Berseberangan dengan Mariott Hotel (Tang’s). Setelah itu Paragon dan Lucky Plaza. Berseberangan pula dengan Takashimaya (Ngee Ann City) dan Wisma Atria. Robinson (Center point), OG, John Little. Berseberangan dengan 313 @ Sommerset yang baru launching juga. Dan Orchard Central di sisi yang sederet dengan 313 Sommerset. Istana dan Plaza Singapura.
Orchard memang indah. Memang cantik. Kesannya mahal. Hiasan natal di depan ION dan Paragon mengingatkan saya pada seorang wanita cantik yang berani pakai barang branded untuk menghiasi kecantikannya. Berani ke salon dan spa yang mahal untuk memelihara kecantikannya. Tidak selalu perlu. Tapi, dia memang mampu. Terkadang memandang Orchard dari sisi ini, membuat orang sering lupa, seolah Singapura identik dengan belanja, kemewahan, kemegahan, dan kualitas yang tinggi. Walaupun itu benar, namun saya pun mencatat sisi lain di Orchard Road terutama di depan Orchard Towers. Tempat yang jarang alias tak pernah saya kunjungi. Punya bayi membuat kami jarang keluar malam. Namun, ketika kembali ke Singapura beberapa waktu yang lalu, kami berkesempatan untuk melihat kembali Orchard Road dari dekat, karena kami diberikan kenyamanan berupa tinggal di Hotel di Orchard Road. Thank God!
Orchard Towers di malam hari ternyata banyak menawarkan para wanita yang menjual cinta demi lembaran uang. Menjual kemolekan tubuhnya demi hidup di Negeri Singa. Saya juga tak jelas dari mana saja mereka berasal, namun dilihat dari wajahnya kemungkinan berasal dari negeri Cina. Jujur, tinggal di Singapura dengan harga-harga selangit tak pernah mudah. Terutama tempat tinggal, mahal sekali di sana. Dan agak sedih juga melihat Orchard yang indah di sepanjang jalurnya, tak mampu menyembunyikan kisah sedih dan kepiluan di sana. Prostitusi.
Hati saya campur aduk. Kembali ke Singapura dengan suasana berbeda, ternyata membuat suasana hati saya pun berbeda pula. Mungkin bila saya bandingkan, ketika melihat wanita cantik atau pria tampan, kita pikir mereka tak punya masalah. Hanya ceria saja. Hanya indah. Karena mereka mendapatkan kemudahan di sana-sini karena kecantikan atau ketampanannya. Namun, dugaan itu salah. Sering kali kecantikan dan ketampanan itu justru membuat mereka sengsara. Dikejar-kejar orang yang tak disukai. Dilecehkan. Karena cantik, karena tampan itu tadi. Singapura, dengan kecantikannya, membuat banyak orang berpikir tidak ada duka di sana. Padahal saya kira, di wajah Orchard saja sudah bisa menggambarkan ketidakseimbangan di sana. Kemewahan berpadu dengan prostitusi terbuka di ujung jalannya.
Singapura menyimpan banyak cerita duka. Banyak orang tua mengeluhkan bahwa anak mereka tak peduli lagi dengan mereka. Bahkan ketika kami keluar dengan mertua dalam satu taksi, seorang ‘auntie’ petugas bersih-bersih di rumah kami mengatakan jarang terjadi di Singapura anak dan menantu mau keluar rumah bersama orang tuanya atau mertuanya. Kebanyakan mereka jadi individualistis. Orang tua tinggal menunggu waktu dan mengisi hari tuanya di panti jompo, atau sendirian di rumah, atau diabaikan begitu saja. Mereka mencari teman di Community Club dan menyibukkan diri di sana. Walaupun masih ada juga yang membantu mengurus cucu sementara anak dan menantu sibuk mencari uang demi tercukupinya kebutuhan hidup yang tidak murah di sana. Tetapi yang individualistis cukup banyak.
Mungkin pengalaman saya yang hanya tinggal 3 tahun di Singapura tak mampu menggambarkan semuanya. Namun, di balik segala kemegahan dan keindahan, tersembunyi duka dan luka. Di balik segala sesuatu yang tampaknya bobrok seperti di Indonesia dan Vietnam (negara yang saya tempati sekarang), tersembunyi kebaikan, ketulusan, dan kebahagiaan yang menyapa secara perlahan. Selalu ada plus minusnya.
Orchard Road masih berkilau. Lampu-lampu di sepanjang jalannya masih amat memukau. ‘Snow man’ tergantung di tiang-tiang lampu jalanan. Pohon natal megah di dalam dan di luar ‘mall’ sepanjang jalan. Show untuk anak-anak dari Barbie, Barney, Care bears masih memenuhi setiap mall di Orchard dan daerah lainnya. Saya syukuri keindahan itu yang terpampang jelas di mata saya. Namun, saya masih mencari keindahan-keindahan lain dalam bentuk tersembunyi. Dalam kesunyian. Dalam kedamaian. Karena Natal bagi saya, bukan cuma soal ‘jor-joran’ memberikan hadiah. Bukan melulu ‘jor-joran’ shopping atau sale. Namun, Natal juga berarti membagi kasih. Mengingat kembali lahirnya Sang Juru Selamat ke dunia yang kekurangan kasih ini. Di mana kesempurnaan kasih ada pada-Nya dan ingin dibagikan-Nya pada dunia. Natal berarti memperbaharui kasih di dalam diri saya dan Anda. Untuk menjadi lebih baik lagi. Dan bersiap diri untuk membagikannya ke dunia yang penuh kesakitan dan kesepian ini.
Orchard Road masih ‘sparkling’. Masih bercahaya. Saya berterima kasih untuk pengalaman hidup di sini dan kesempatan untuk kembali lagi ke tempat ini. Semua hanya karena kebaikan-Nya. Ketika kita percaya kepada-Nya, Dia akan hadirkan impian yang terdalam yang ada di hati kita, bahkan melebihi apa yang kita impikan. Berserah dan percaya. Dan mempersiapkan diri juga, bila ternyata impian yang sudah dicapai itu tak seindah yang kita bayangkan. Namun, Tuhan pasti beri kekuatan.
Selamat malam, Orchard Road! Saya mematikan lampu di kamar hotel, masih di ‘Orchard Road’ juga. Dan bersiap untuk pulang ke Saigon, keesokan harinya….
Good bye Orchard Road, sampai jumpa di lain waktu…
HCMC, 9 December 2009
-fon-
* catatan perjalanan singkat ke Singapura beberapa waktu yang lalu.
nice story .. jadi kepengen jalan2 ke kota singa lagi nih .. hehe ..
ReplyDelete@ Vino: Ma kasih komentarnya, silakan jalan-jalan lagee hehe... Aku udah pindah sih, gak di Spore lagi hehe...:)
ReplyDeleteUntuk saat ini, saya baru bisa mengoleksi oleh2 dari Singapore. Berikutnya saya harus bisa ke sana :D
ReplyDelete@ Nonadita: Saya doakan. Keep dreaming and believing, satu saat ketika saat-Nya tiba, pasti bisa ke sana...:)
ReplyDelete