Chapters of Life, begitu saya senang menyebutnya. Karena bagi saya, hidup adalah babak demi babak, bab demi bab, yang menjadikan buku kehidupan saya sempurna.
Monday, August 31, 2009
Love in Action
I always love watching drama. Just name it! Hollywood, Korean, Taiwanese, or even Indonesian love story which is always full of romantic things. Well, sometimes it’s too good to be true, but in another time it’s just something impossible. Or in my own perspective, I found that we like to be entertained with that kind of love story, the love that we could never found in reality. It’s only in the movie.
Sweet talks all the time, romantic candle light dinners, romantic walk in the lake-garden or even in the mountain, and so much more. Which only can be found in those movies.
But once I got married, I know that love isn’t just all about sweet talks or romantic kisses.
To love- most of the time means- we need to do something. We need to act. And that’s why I call it love in action.
Love in action includes forgiveness. Uncountable times. Maybe for the same stupid mistakes that our spouse do (or we do it on our own) or many more.
When romantic love in the marriage has slowed down, not as passionate as the previous courtship’s stage, most of the time we need to accept unpleasant realities which are totally different with the romantic movies.
It’s pretty sad, isn’t it? Yes, it is, if we keep on comparing on the romantic part. There are some ways though to make the love alive. To light the fire once more. It’s not that impossible, even of course, the priority will be different because of the kids.
Love is a decision, love is a choice, love is an action. How we do everything we could to please our spouse. Even sometimes whenever both parties are too tired, they don’t have enough strength to talk sweetly, but to talk in peaceful situation rather than full of rage or anger is also an act that should be chosen.
The first 3 years of marriage often being said as the adjustment phase, some of the couple didn’t make it, some of them make it. For those who give up, I might say they’re trapped in romantic love imagination all the time, only to find that the reality is totally different. Our spouse isn’t able to protect us all the time, to be attentive all the time, to be there all the time, to be exactly what we want him/her to be all the time. When we’re in the courtship period, sometimes love is just trying to please the other party all the time. And we do it willingly, unconditionally, whole-heartedly.
But, sometimes, whenever two individuals become one, living in the same roof, sleeping in the same bed, using the same toilet, lots of things will change. Many different habits like the way to press the tube of a toothpaste, how or where to put the dirty clothes, etc, seems as simple problems but yet can trigger some difference and arguments sometimes.
From small things to more principal things, such as how to deal with in laws, how to deal with the problems of marriage life, and how to deal with financial problem, has shown us that marriage is more complex than we thought in the first place.
The most common reason of a divorce, according to some reference that I read, is due to financial management. The difference perspective or focus in finance, sometimes lead to misunderstanding, not trusting each other anymore, and eventually divorce. Other than that, the third party is also sometimes is the reason of a divorce, and few more reasons that are common as well.
Love is an action. It’s an act to stay positive even though the situation is bad. It’s the act of finding solution rather than pointing at one another’s mistakes. It’s an act of discussion rather than harsh arguments. It’s how to make a loving environment of the whole family including children, rather than making them scared all the time. It’s about giving, caring and forgiving and not about taking, ignoring, and making revenge.
Love is an action. Love is a decision. Love is a choice to stay in love even though the adjustments aren’t easy or even painful.
(Well, the domestic violence are the things that I don’t include here, it’s exceptional…).
Love is just trying to stay faithful even though there are many attractive men/women out there.
May we grow more in love each day with our spouse. Not an easy thing though, but we can try to make it better….
Singapore, September 01, 2009
-fon-
* in sympathy of the divorce news of the celebrities including Krisdayanti and Anang. They have their own problems, but hopefully whatever the decision they’ll take, it will be the best for the whole family.
picture: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/ea/Love_heart.jpg/609px-Love_heart.jpg
Thursday, August 27, 2009
Singlish? Can Lah...
Pertama kali pindah ke Singapura, dengan tekad di dada:
“ Gak bakalan gue ngomong Singlish! Harus konsisten donk, kalo mau American ya American, kalo mo British ya British, kalo mau logat yang rada Endonesa English juga gak pa-pa.. Tapi kalo Singlish? No Way! “
Tapi, apa daya, setelah dua tahun-an, Singlish (kadang-kadang) sudah jadi makanan sehari-hari tanpa disadari. Masih berusaha untuk gak begitu terpengaruh sebetulnya, tapi ternyata gak mudah juga ya…
Terutama ketika bicara dengan Singaporean, yang entah Chinese, Malay, ato India, pasti terselip kata-kata : ‘iya, lah...’ atau ‘ can or not?’ yang jawabannya kalo bisa: “ Can, lah!”
Belum lagi akhiran ‘lor’ atau ‘meh’ yang lebih jarang dipakai tapi juga cukup populer di sini…
Jadi sudah semacam bahasa pergaulan sehari-hari juga. Begitu pun kalo ngomong di food court ato ama taxi driver ngejelasin direction, ya sutralah campur adukkk…
Untungnya, punya tetangga satu orang guru British Council asal London. Jadinya, kalo ngomong ma dia (berusaha) untuk tidak pake Singlish walaupun terkadang gagal juga, teteup aja keselip satu dua kata huehehe….
Campur aduk bahasa di Singapore ini juga menarik untuk diikuti. Chinese bisa ngomong bahasa Melayu. Dan tidak jarang orang India ato Malay bisa ngomong Chinese. Belum lagi campuran antara Mandarin dan English (ini juga paling sering kulakukan, karena rasanya Mandarin tak sempurna, mau ngomong 100% pakek Mandarin, kadang-kadang gak bisa nyampein isi hati sepenuhnya…). Alhasil campur aduk, kayak gado-gado.
Belum lagi, kalo ama temen India, baby sitter-nya temenku. Sama dia ngomongnya Singlish plus Malay. Pusing? Pusing deh :)
Satu sisi yang cukup aku nikmati adalah di sini pembauran berjalan baik. Dalam arti, gak berasa tuh kalo India ato Malay di sini gimanaaa gitu. Berasanya aman-aman aja.
Pernah nih, ke wet market (alias pasar tradisional). Nah, di sini mau gak mau aku musti ngomong Mandarin (walaupun kadang diajak ngomong Inggris sih, disangka Filipino, emangnya Maribeth? Halah! Wkwkwkwk…). Tapi dasar waktu awal-awal, ngomong pun perlu mikir. Itu kan efek samping bahasa yang gak pernah dipake, ngomong juga musti mikir panjang. Gak selancar kalo nyerocos dalam bahasa Indonesia.
Aku mau beli nasi ayam di hawker centre di wet market, trus aku udah mikir panjang mo pake bahasa Mandarin, gini nih yang keluar:
“ Liang pao ci fan, ta pao!” (Maap gak pake hanyu pinyin (cara penulisan bacaan Mandarin dalam bentuk alfabet), karena gak ngerti juge huehehe… yang artinya: dua bungkus nasi ayam, bungkusss!)
Yang langsung mendapat protes penjualnya…
“ Xiao Jie, liang pao yu ting se ta pao…” ( Miss, kalo dua bungkus itu pastinya dibungkus donk…)
Aku tersenyum juga mikirin ya koq gue ampe grogi begitu. Kalo di-translate bahasa Indonesia yang bagus dan bener nih omonganku tuh begini:
“ Dua bungkus nasi ayam bang, bungkus yaaaa…” (cengar-cengir mode on berlanjut, udah tau dua bungkus, ya pasti bungkuss atuh…Gimana nih si eneng? Kira-kira begitu terjemahan kata-kata si penjual tadi…).
Makanya, kadang kalo lagi not in the mood of ngomong Mandarin, ya sudah, aku hajar pake English aja. Dan Singlish juga.
Jadi, setelah dua tahun-an, I have to admit that Singlish? Can lah…
Jadi gak sebel lagi, walaupun sebisa mungkin gak ngomong seh, karena prefer pake English yang baik dan benar… Tapi emang kontaminasi pergaulan yang bikin orang pada kecampur semuanya…
Mandarin- English. English-Malay. Malay-Chinese.
Yes? Welcome to Singapore! Can lahh…:)
Singapore, August 27, 2009
-fon-
* catatan hidup di negeri orang…:)
“ Gak bakalan gue ngomong Singlish! Harus konsisten donk, kalo mau American ya American, kalo mo British ya British, kalo mau logat yang rada Endonesa English juga gak pa-pa.. Tapi kalo Singlish? No Way! “
Tapi, apa daya, setelah dua tahun-an, Singlish (kadang-kadang) sudah jadi makanan sehari-hari tanpa disadari. Masih berusaha untuk gak begitu terpengaruh sebetulnya, tapi ternyata gak mudah juga ya…
Terutama ketika bicara dengan Singaporean, yang entah Chinese, Malay, ato India, pasti terselip kata-kata : ‘iya, lah...’ atau ‘ can or not?’ yang jawabannya kalo bisa: “ Can, lah!”
Belum lagi akhiran ‘lor’ atau ‘meh’ yang lebih jarang dipakai tapi juga cukup populer di sini…
Jadi sudah semacam bahasa pergaulan sehari-hari juga. Begitu pun kalo ngomong di food court ato ama taxi driver ngejelasin direction, ya sutralah campur adukkk…
Untungnya, punya tetangga satu orang guru British Council asal London. Jadinya, kalo ngomong ma dia (berusaha) untuk tidak pake Singlish walaupun terkadang gagal juga, teteup aja keselip satu dua kata huehehe….
Campur aduk bahasa di Singapore ini juga menarik untuk diikuti. Chinese bisa ngomong bahasa Melayu. Dan tidak jarang orang India ato Malay bisa ngomong Chinese. Belum lagi campuran antara Mandarin dan English (ini juga paling sering kulakukan, karena rasanya Mandarin tak sempurna, mau ngomong 100% pakek Mandarin, kadang-kadang gak bisa nyampein isi hati sepenuhnya…). Alhasil campur aduk, kayak gado-gado.
Belum lagi, kalo ama temen India, baby sitter-nya temenku. Sama dia ngomongnya Singlish plus Malay. Pusing? Pusing deh :)
Satu sisi yang cukup aku nikmati adalah di sini pembauran berjalan baik. Dalam arti, gak berasa tuh kalo India ato Malay di sini gimanaaa gitu. Berasanya aman-aman aja.
Pernah nih, ke wet market (alias pasar tradisional). Nah, di sini mau gak mau aku musti ngomong Mandarin (walaupun kadang diajak ngomong Inggris sih, disangka Filipino, emangnya Maribeth? Halah! Wkwkwkwk…). Tapi dasar waktu awal-awal, ngomong pun perlu mikir. Itu kan efek samping bahasa yang gak pernah dipake, ngomong juga musti mikir panjang. Gak selancar kalo nyerocos dalam bahasa Indonesia.
Aku mau beli nasi ayam di hawker centre di wet market, trus aku udah mikir panjang mo pake bahasa Mandarin, gini nih yang keluar:
“ Liang pao ci fan, ta pao!” (Maap gak pake hanyu pinyin (cara penulisan bacaan Mandarin dalam bentuk alfabet), karena gak ngerti juge huehehe… yang artinya: dua bungkus nasi ayam, bungkusss!)
Yang langsung mendapat protes penjualnya…
“ Xiao Jie, liang pao yu ting se ta pao…” ( Miss, kalo dua bungkus itu pastinya dibungkus donk…)
Aku tersenyum juga mikirin ya koq gue ampe grogi begitu. Kalo di-translate bahasa Indonesia yang bagus dan bener nih omonganku tuh begini:
“ Dua bungkus nasi ayam bang, bungkus yaaaa…” (cengar-cengir mode on berlanjut, udah tau dua bungkus, ya pasti bungkuss atuh…Gimana nih si eneng? Kira-kira begitu terjemahan kata-kata si penjual tadi…).
Makanya, kadang kalo lagi not in the mood of ngomong Mandarin, ya sudah, aku hajar pake English aja. Dan Singlish juga.
Jadi, setelah dua tahun-an, I have to admit that Singlish? Can lah…
Jadi gak sebel lagi, walaupun sebisa mungkin gak ngomong seh, karena prefer pake English yang baik dan benar… Tapi emang kontaminasi pergaulan yang bikin orang pada kecampur semuanya…
Mandarin- English. English-Malay. Malay-Chinese.
Yes? Welcome to Singapore! Can lahh…:)
Singapore, August 27, 2009
-fon-
* catatan hidup di negeri orang…:)
Tuesday, August 25, 2009
Daun
Di balik kerimbunanmu
Ada menyisakan sedikit tanya di hatiku
Untuk kesegaran dan warna hijau yang kautawarkan
Nyata kepada dunia, apakah pernah kau merasa lelah?
Daun…
Aku merasa segar melihatmu
Untaian warna hijaumu
Nyanyikan jiwaku senandung baru
Daun
Alangkah gontai aku melihatmu
Usang, kuyu, berubah warna
Nampaknya drastis juga perubahan itu
Daun…
Kulihat lagi engkau
Berguguran
Satu demi satu
Di depan mataku
Hidupmu memang sebentar saja
Sama seperti diri manusia
Di kala hijau muda dan pucuk-pucuk segarnya menyapa
Kau katakan pada dunia
“ Mau apa saja, aku bisa!”
Ketika kau mulai berubah warna menjadi hijau tua
Dengan dewasa kau ucapkan
“ Hidup bukan melulu kemenangan sebuah ego. Namun, bagaimana hidup dalam keseimbangan dengan sesama, itu yang lebih penting rasanya.”
Di kala warna menjadi semakin kuning dan menua
Ada kalanya kau sadar dan kau pun ungkapkan
“ Aku bahagia dengan hidupku. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Inilah hidupku apa adanya. Tak sempurna. Selalu ada suka duka.”
Namun, ada pula saatnya di mana kau teriak kecewa:
“ Mengapa??? Mengapa aku harus berubah jadi tua dan sakit-sakitan tanpa daya? Bukankah dulu aku perkasa? Bukankah dulu aku si ‘serba bisa’??”
Dan daun yang kering dan patah
Yang jatuh ke tanah, berucap untuk terakhir kalinya:
“ Masih untung bagiku, menyumbangkan sisa tenaga terakhirku untuk menyuburkan tanah. Jadi aku tak mati sia-sia…”
Lahir. Hidup. Sukses. Gagal. Bangkit lagi. Sukses lagi. Gagal lagi.
Lahir. Sehat. Sakit ringan. Sakit berat. Sehat lagi. Sakit lagi.
Lahir. Bahagia. Kecewa. Senang lagi. Sedih lagi.
Lahir. Tertawa. Menangis. Tersenyum lagi. Meratap lagi.
Lahir. Setia. Berkhianat. Setia lagi. Membelot lagi.
Lahir. Berharap. Berhenti berharap. Harapan muncul lagi. Hilang lagi.
Lahir. Hidup. Mati.
Lahir. Dan tetap berguna sampai mati.
Ada pelajaran yang kudapati hari ini, dari kau, daun…
Dan aku berterima kasih.
Atas pembelajaran ini.
Untuk kesempatan yang membuatku lebih mengerti
Nilai penting dalam hidup ini.
Smoga selama hidupku, setidaknya mampu memberi arti…
Singapore, 25 August 2009
-fon-
*hasil siang-siang memandangi daun depan sekolah anakku…:)
Ada menyisakan sedikit tanya di hatiku
Untuk kesegaran dan warna hijau yang kautawarkan
Nyata kepada dunia, apakah pernah kau merasa lelah?
Daun…
Aku merasa segar melihatmu
Untaian warna hijaumu
Nyanyikan jiwaku senandung baru
Daun
Alangkah gontai aku melihatmu
Usang, kuyu, berubah warna
Nampaknya drastis juga perubahan itu
Daun…
Kulihat lagi engkau
Berguguran
Satu demi satu
Di depan mataku
Hidupmu memang sebentar saja
Sama seperti diri manusia
Di kala hijau muda dan pucuk-pucuk segarnya menyapa
Kau katakan pada dunia
“ Mau apa saja, aku bisa!”
Ketika kau mulai berubah warna menjadi hijau tua
Dengan dewasa kau ucapkan
“ Hidup bukan melulu kemenangan sebuah ego. Namun, bagaimana hidup dalam keseimbangan dengan sesama, itu yang lebih penting rasanya.”
Di kala warna menjadi semakin kuning dan menua
Ada kalanya kau sadar dan kau pun ungkapkan
“ Aku bahagia dengan hidupku. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Inilah hidupku apa adanya. Tak sempurna. Selalu ada suka duka.”
Namun, ada pula saatnya di mana kau teriak kecewa:
“ Mengapa??? Mengapa aku harus berubah jadi tua dan sakit-sakitan tanpa daya? Bukankah dulu aku perkasa? Bukankah dulu aku si ‘serba bisa’??”
Dan daun yang kering dan patah
Yang jatuh ke tanah, berucap untuk terakhir kalinya:
“ Masih untung bagiku, menyumbangkan sisa tenaga terakhirku untuk menyuburkan tanah. Jadi aku tak mati sia-sia…”
Lahir. Hidup. Sukses. Gagal. Bangkit lagi. Sukses lagi. Gagal lagi.
Lahir. Sehat. Sakit ringan. Sakit berat. Sehat lagi. Sakit lagi.
Lahir. Bahagia. Kecewa. Senang lagi. Sedih lagi.
Lahir. Tertawa. Menangis. Tersenyum lagi. Meratap lagi.
Lahir. Setia. Berkhianat. Setia lagi. Membelot lagi.
Lahir. Berharap. Berhenti berharap. Harapan muncul lagi. Hilang lagi.
Lahir. Hidup. Mati.
Lahir. Dan tetap berguna sampai mati.
Ada pelajaran yang kudapati hari ini, dari kau, daun…
Dan aku berterima kasih.
Atas pembelajaran ini.
Untuk kesempatan yang membuatku lebih mengerti
Nilai penting dalam hidup ini.
Smoga selama hidupku, setidaknya mampu memberi arti…
Singapore, 25 August 2009
-fon-
*hasil siang-siang memandangi daun depan sekolah anakku…:)
Saturday, August 22, 2009
Capek
“ Capek!”
Begitu kata hatimu. Ketika lagi-lagi impian yang sudah diidam-idamkan sejak lama kandas. Tidak ada titik terang. Di luar sana sepertinya hanya ada kegelapan yang melanda. Jadi, ngapain sih terus berjuang?
“ Capek!”
Ketika tidak ada dukungan dari orang-orang yang kauanggap penting, orang-orang yang kau kasihi, keluarga, suami/istri, pacar, anak, teman dekat, sahabat, dsb. Orang-orang yang dekat di hati tidak mendukung impianmu. Padahal impianmu bukan sesuatu yang jelek. Hanya memang impianmu mungkin tidak umum. Di saat semua anak bermimpi menjadi dokter atau pilot, dengan bangga kaubilang mau jadi pelukis. Dan mulai saat itu, dirimu dicekoki begitu banyak masukan kiri kanan untuk mematikan impian itu. Anehnya? Impian itu tak pernah pudar, malah makin berakar kuat. Karena kau memang suka melukis dan lukisanmu selalu keluar dari segenap kemampuan diri untuk memberi yang terbaik, dan lukisanmu memang disukai banyak orang.
Memang sedih, ketika dukungan yang diharapkan tidak ada. Apalagi dari orang-orang terdekat. Tetapi anehnya, malah orang lain- yang tidak terlalu dikenal, yang baru ditemui atau yang merasakan sentuhan pribadimu lewat lukisanmu- Merekalah yang malah memberikan dukungan tulus. Tapi, itulah kerja alam yang tak pernah bisa disangka dan dikira. Memang aneh.
Asalkan kau yakin dengan impianmu, tetaplah memberikan yang terbaik, walaupun tak ada dukungan, walaupun tak ada kepastian. Namun, yang penting kau suka mengerjakannya. Kau taruh hatimu 100% atau bahkan 120% di sana.
Bukan tidak mungkin, suatu saat, ketika waktunya tepat, akan ada seseorang atau sekelompok orang, yang mendukungmu dan menyukai karyamu. Impian itu sudah di depan matamu, begitu saja! Semudah menjentikkan jemari. Tetapi itu bukan berarti tanpa proses. Selama itu pulalah kau diproses. Dilatih menjadi lebih baik. Dibuat lebih biasa menghadapi kritik yang pedas dan yang tak menyenangkan.
“ Capek!”
Ketika kau merasa sudah memberikan yang terbaik, tapi bagi banyak orang itu masih belum cukup. Saat itulah, kita harus belajar berbesar hati, menerima perbedaan sekaligus tidak putus asa, selama sudah melakukan yang terbaik bagi diri kita dan melihat kemajuan langkah demi langkah, step by step dalam diri sendiri, itu sudah cukup.
“ Capek! Kenapa sih gue nggak juga nge-top?”
Apakah terkenal adalah segalanya? Berapa banyak orang yang bukan dari siapa-siapa, menjadi terkenal, dan kemudian menyesali ketenarannya itu. Di balik ketenaran, tersembunyi beberapa kehilangan besar. Yang terbesar adalah kehilangan privasi, dan mengutip kata seorang teman baik, kehilangan kesempatan untuk melakukan kesalahan. Karena sepertinya, orang tenar, kalau buat salah sedikit, langsung jadi sensasi. Padahal, kita kan manusia, bisa salah dan belajar dari kesalahan. Apakah ketenaran adalah segalanya? Atau melakukan apa yang kauimpikan dengan penuh cinta dari dalam hati yang terdalam? Bagiku, saat ini itu lebih dari cukup…
Aku pernah berseru, “ Capek deeeeh, Tuhannn!”
Ketika tulisanku tidak dimuat di majalah yang kukirimkan. Ketika orang mengatakan hasil tulisanku tidak bagus, tidak pantas diterbitkan. Ketika aku tidak memperoleh dukungan dari orang terdekat. Ketika apa yang kuanggap segalanya bagiku, hal yang teramat penting, hanya dianggap sepi dan angin lalu oleh orang yang penting bagiku.
Tapi itu bukan berarti aku mau berhenti. Aku mau tetap menulis hanya karena aku suka menulis. Selain itu juga karena aku suka berbagi. Mungkin buat sebagian orang tulisanku biasa saja, menuh-menuhin inbox mereka, atau malah tak sempat dibaca langsung di-delete.
Tapi mudah-mudahan aku tak sakit hati, karena aku tahu, di balik itu semua, aku sedang dipersiapkan untuk menulis dengan baik, untuk menulis dengan lebih serius lagi, tanpa meninggalkan esensi dari menulis itu sendiri: karena aku sukaaa menulis dan karena aku suka berbagi.
Itu sudah cukup bagiku. Dan yang terakhir, aku menulis, karena memiliki keyakinan bahwa itu adalah satu talenta yang Tuhan titipkan padaku. Jadi, untuk-Nya aku menulis. Sekaligus bersama-sama dengan Dia menulisi lagi lembar demi lembar buku kehidupanku. Dengan tulisanku, aku mau Dia juga terus menulisi setiap bab kehidupanku dengan lebih berwarna.
Saat ini, terlebih kurasakan, menulis adalah ibadah. Buat mendekatkan diriku padaNya. Selain itu juga untuk menghilangkan stress, membagi suka/ keceriaan, dan yang terakhir menambah teman dengan beberapa pertemanan baru yang kudapati dari mereka yang membaca tulisanku atau dengan teman-teman yang sama ‘gila’nya dalam menulis.
Di luar itu semua, aku juga berterima kasih untuk semua pihak yang mendukungku, memberikan kekuatan, masukan dan input yang membangun. Memenuhi inbox mereka dengan tulisanku, membacanya dan mengomentarinya. Sejujurnya, dengan demikian saja, aku sudah bahagia. I couldn’t ask for more. Itu sudah cukup bagiku:)
Belum lagi dukungan yang juga kudapat dari beberapa sahabat yang betul-betul memikirkan bagaimana langkah berikutnya untuk mewujudkan impianku. I do grateful to have you, guys! Dan aku berdoa semoga Tuhan memberkati kalian dengan banyak kebaikan, karena kalian sudah begitu baik bagiku.
Walaupun apa yang terjadi di depan sana, ada hari-hari capek, ada hari-hari penuh semangat tentunya. Di balik semua hari itu, aku tetap mau menulis. Menggoreskan lembar hidupku dengan warna. Warna yang lebih membuat dunia lebih hidup. Warna yang membuatku sadar, bahwa aku ada di antaranya, dalam lembar buku kehidupan yang ditulisNya dengan penuh warna pula…
Singapore, August 22, 2009
-fon-
* color your life, paint it beautifully!
Begitu kata hatimu. Ketika lagi-lagi impian yang sudah diidam-idamkan sejak lama kandas. Tidak ada titik terang. Di luar sana sepertinya hanya ada kegelapan yang melanda. Jadi, ngapain sih terus berjuang?
“ Capek!”
Ketika tidak ada dukungan dari orang-orang yang kauanggap penting, orang-orang yang kau kasihi, keluarga, suami/istri, pacar, anak, teman dekat, sahabat, dsb. Orang-orang yang dekat di hati tidak mendukung impianmu. Padahal impianmu bukan sesuatu yang jelek. Hanya memang impianmu mungkin tidak umum. Di saat semua anak bermimpi menjadi dokter atau pilot, dengan bangga kaubilang mau jadi pelukis. Dan mulai saat itu, dirimu dicekoki begitu banyak masukan kiri kanan untuk mematikan impian itu. Anehnya? Impian itu tak pernah pudar, malah makin berakar kuat. Karena kau memang suka melukis dan lukisanmu selalu keluar dari segenap kemampuan diri untuk memberi yang terbaik, dan lukisanmu memang disukai banyak orang.
Memang sedih, ketika dukungan yang diharapkan tidak ada. Apalagi dari orang-orang terdekat. Tetapi anehnya, malah orang lain- yang tidak terlalu dikenal, yang baru ditemui atau yang merasakan sentuhan pribadimu lewat lukisanmu- Merekalah yang malah memberikan dukungan tulus. Tapi, itulah kerja alam yang tak pernah bisa disangka dan dikira. Memang aneh.
Asalkan kau yakin dengan impianmu, tetaplah memberikan yang terbaik, walaupun tak ada dukungan, walaupun tak ada kepastian. Namun, yang penting kau suka mengerjakannya. Kau taruh hatimu 100% atau bahkan 120% di sana.
Bukan tidak mungkin, suatu saat, ketika waktunya tepat, akan ada seseorang atau sekelompok orang, yang mendukungmu dan menyukai karyamu. Impian itu sudah di depan matamu, begitu saja! Semudah menjentikkan jemari. Tetapi itu bukan berarti tanpa proses. Selama itu pulalah kau diproses. Dilatih menjadi lebih baik. Dibuat lebih biasa menghadapi kritik yang pedas dan yang tak menyenangkan.
“ Capek!”
Ketika kau merasa sudah memberikan yang terbaik, tapi bagi banyak orang itu masih belum cukup. Saat itulah, kita harus belajar berbesar hati, menerima perbedaan sekaligus tidak putus asa, selama sudah melakukan yang terbaik bagi diri kita dan melihat kemajuan langkah demi langkah, step by step dalam diri sendiri, itu sudah cukup.
“ Capek! Kenapa sih gue nggak juga nge-top?”
Apakah terkenal adalah segalanya? Berapa banyak orang yang bukan dari siapa-siapa, menjadi terkenal, dan kemudian menyesali ketenarannya itu. Di balik ketenaran, tersembunyi beberapa kehilangan besar. Yang terbesar adalah kehilangan privasi, dan mengutip kata seorang teman baik, kehilangan kesempatan untuk melakukan kesalahan. Karena sepertinya, orang tenar, kalau buat salah sedikit, langsung jadi sensasi. Padahal, kita kan manusia, bisa salah dan belajar dari kesalahan. Apakah ketenaran adalah segalanya? Atau melakukan apa yang kauimpikan dengan penuh cinta dari dalam hati yang terdalam? Bagiku, saat ini itu lebih dari cukup…
Aku pernah berseru, “ Capek deeeeh, Tuhannn!”
Ketika tulisanku tidak dimuat di majalah yang kukirimkan. Ketika orang mengatakan hasil tulisanku tidak bagus, tidak pantas diterbitkan. Ketika aku tidak memperoleh dukungan dari orang terdekat. Ketika apa yang kuanggap segalanya bagiku, hal yang teramat penting, hanya dianggap sepi dan angin lalu oleh orang yang penting bagiku.
Tapi itu bukan berarti aku mau berhenti. Aku mau tetap menulis hanya karena aku suka menulis. Selain itu juga karena aku suka berbagi. Mungkin buat sebagian orang tulisanku biasa saja, menuh-menuhin inbox mereka, atau malah tak sempat dibaca langsung di-delete.
Tapi mudah-mudahan aku tak sakit hati, karena aku tahu, di balik itu semua, aku sedang dipersiapkan untuk menulis dengan baik, untuk menulis dengan lebih serius lagi, tanpa meninggalkan esensi dari menulis itu sendiri: karena aku sukaaa menulis dan karena aku suka berbagi.
Itu sudah cukup bagiku. Dan yang terakhir, aku menulis, karena memiliki keyakinan bahwa itu adalah satu talenta yang Tuhan titipkan padaku. Jadi, untuk-Nya aku menulis. Sekaligus bersama-sama dengan Dia menulisi lagi lembar demi lembar buku kehidupanku. Dengan tulisanku, aku mau Dia juga terus menulisi setiap bab kehidupanku dengan lebih berwarna.
Saat ini, terlebih kurasakan, menulis adalah ibadah. Buat mendekatkan diriku padaNya. Selain itu juga untuk menghilangkan stress, membagi suka/ keceriaan, dan yang terakhir menambah teman dengan beberapa pertemanan baru yang kudapati dari mereka yang membaca tulisanku atau dengan teman-teman yang sama ‘gila’nya dalam menulis.
Di luar itu semua, aku juga berterima kasih untuk semua pihak yang mendukungku, memberikan kekuatan, masukan dan input yang membangun. Memenuhi inbox mereka dengan tulisanku, membacanya dan mengomentarinya. Sejujurnya, dengan demikian saja, aku sudah bahagia. I couldn’t ask for more. Itu sudah cukup bagiku:)
Belum lagi dukungan yang juga kudapat dari beberapa sahabat yang betul-betul memikirkan bagaimana langkah berikutnya untuk mewujudkan impianku. I do grateful to have you, guys! Dan aku berdoa semoga Tuhan memberkati kalian dengan banyak kebaikan, karena kalian sudah begitu baik bagiku.
Walaupun apa yang terjadi di depan sana, ada hari-hari capek, ada hari-hari penuh semangat tentunya. Di balik semua hari itu, aku tetap mau menulis. Menggoreskan lembar hidupku dengan warna. Warna yang lebih membuat dunia lebih hidup. Warna yang membuatku sadar, bahwa aku ada di antaranya, dalam lembar buku kehidupan yang ditulisNya dengan penuh warna pula…
Singapore, August 22, 2009
-fon-
* color your life, paint it beautifully!
Friday, August 21, 2009
This is My Confession...
This is My Confession…
*** Jalan Tuhan Bukan Jalanku.
Kemarin, sebetulnya aku bertujuan untuk membuat pempek. Salah satu makanan khas Palembang yang terkenal itu. Dan sejujurnya, biarpun sering melihat ataupun mendengar tips-tips dari mamaku ataupun mertua, aku tidak pernah praktek langsung. Jadi, alhasil, dengan modal pengetahuan seadanya, plus info dari internet dan mengingat-ingat lagi resep dari mertua, kuberanikan diri untuk membuatnya juga. Hitung-hitung latihan!
Kesibukan mengolah ikan sudah dimulai dua hari sebelumnya, ketika aku mulai membeli ikan, mengerok sendiri dan memblender sampai halus. Dan menyimpannya di freezer. Pekerjaan yang tidak mudah buat seorang Fonny yang dulunya tidak pernah suka masak. Ditambah lagi, di sini kami tidak ada pembantu, jadi semua memang dikerjakan sendiri.
Mungkin kata masak tak pernah ada dalam kamusku. Entah karena memang tidak suka, entah karena maunya praktis karena jadi anak kost 10 tahunan, entah..
Yang pasti, dengan kata ‘masak’ aku kurang bersahabat…:)
Itu dulu…
Dan keadaan memang mulai berubah, ketika aku menikah dan punya anak. Dulunya tidak bisa, sekarang harus setidaknya mampu masak buat anakku, kalo nggak mau makan apa dia? Kasihan kan…
Makan di luar setiap hari juga bukan sebuah option yang baik, apalagi masih memiliki anak balita.
Akhirnya, aku mulai memberanikan diri menceburkan diri ke peralatan dapur, terutama saat ibu mertua kembali ke Jakarta di saat ini, dan aku harus menguasai dapur, sendirian.
Tidak mudah bagiku sebetulnya. Tapi aku mau berusaha. Untuk keluargaku, aku mau mencoba.
Dengan agak was-was karena takut adonannya tidak jadi, aku pelan-pelan mulai membuat pempek. Dan kekuatiranku jadi nyata, ketika kutuangkan air ke adonan yang berisi ikan dan sagu. Ooppps, kebanyakan! Dan tidak bisa dibuntel (alias dibulat-bulatkan) tuh adonan, terlalu cair. What should I do?
Akhirnya tambah tepung, masih belum bisa juga.
* Agak frustrasi mode on*
Tapi akhirnya, tidak kehabisan akal, kubuat menjadi bulatan-bulatan kecil, soup tekwan. Tidak terlalu jelek, walaupun agak lembek, tidak sekenyal buatan mertua, tapi setidaknya masih bisa dimakan.
Dan sesudah itu, sibuklah aku mencari bahan buat kuahnya yang memerlukan udang….
Pulang menjemput Audrey, langsung kami ke Shen Siong Supermarket di Commonwealth. Setelah selesai membeli udang, black fungus (Jamur hitam ya…), terus beli cabe, beli bangkuang dan beberapa bahan lainnya, kami pulang. Tak lama Audrey tidur, dan aku melanjutkan memasak kuahnya.
Kukupas udang, kupotong bangkuang, dan seterusnya. Masukkan semua bumbunya. Dan hasilnya, kuahnya tidak mengecewakan…Yes! Thank God!
Aku tersenyum, karena selama memasak pun, aku juga sempat bercakap-cakap dengan-Nya. Pas tidak jadi pempek juga, aku membatin…” Bagaimana ini Tuhan?”
Aku hanya ingin melibatkan Dia dalam keseharianku. Bukankah Dia adalah teman yang paling setia, yang selalu ada di tiap hari dan tiap detik hidup kita???
Dan hasilnya, tekwannya lumayanlah, bisa dimakan. Not bad for my first attempt!
Dari sini, aku juga belajar, bahwa terkadang rencanaku bukanlah rencanaNya. Dari pengalaman sesederhana ini, aku kembali diingatkan, terkadang Tuhan membawa kita kepada petualangan yang jauh dari pemikiran kita. Perencanaan kita yang sepertinya sudah matang, diputar olehNya. Terkadang putar sedikit, terkadang putar 180 derajad. Only to find that in the end, rencanaNya tak pernah jelek, Dia selalu beri yang terbaik.
This is my confession of His Faithfulness. Bukan hanya Dia menjagaiku selama hidupku, Dia juga memberikan ‘kejutan-kejutan’ tak terduga sepanjang perjalanan hidup kami. Dia memberikan pengalaman-pengalaman baru di luar rencanaku, hanya untuk menjadikanku seseorang yang lebih dewasa di dalam iman (mudah-mudahan…masih berjuang…:)), untuk menjadi orang yang semakin indah di dalam Dia.
Ending…
Kuhirup soup tekwanku dengan nikmat. Bukan karena rasanya…Karena mungkin rasanya biasa saja, acceptable tapi tidak sophisticated.
Tapi karena pengalaman di balik itu…
Karena aku belajar masak dan akhirnya karena aku kembali melihat rencanaNya adalah yang terbaik dalam hidup setiap insan manusia.
Termasuk diriku. Amen.
Singapore, August 21, 2009
-fon-
* yang tidak kapok mau bikin pempek lagi suatu hari nanti, siapa tau jadinya siomay bandung? Halahhh wkwkwkwk….
*** Jalan Tuhan Bukan Jalanku.
Kemarin, sebetulnya aku bertujuan untuk membuat pempek. Salah satu makanan khas Palembang yang terkenal itu. Dan sejujurnya, biarpun sering melihat ataupun mendengar tips-tips dari mamaku ataupun mertua, aku tidak pernah praktek langsung. Jadi, alhasil, dengan modal pengetahuan seadanya, plus info dari internet dan mengingat-ingat lagi resep dari mertua, kuberanikan diri untuk membuatnya juga. Hitung-hitung latihan!
Kesibukan mengolah ikan sudah dimulai dua hari sebelumnya, ketika aku mulai membeli ikan, mengerok sendiri dan memblender sampai halus. Dan menyimpannya di freezer. Pekerjaan yang tidak mudah buat seorang Fonny yang dulunya tidak pernah suka masak. Ditambah lagi, di sini kami tidak ada pembantu, jadi semua memang dikerjakan sendiri.
Mungkin kata masak tak pernah ada dalam kamusku. Entah karena memang tidak suka, entah karena maunya praktis karena jadi anak kost 10 tahunan, entah..
Yang pasti, dengan kata ‘masak’ aku kurang bersahabat…:)
Itu dulu…
Dan keadaan memang mulai berubah, ketika aku menikah dan punya anak. Dulunya tidak bisa, sekarang harus setidaknya mampu masak buat anakku, kalo nggak mau makan apa dia? Kasihan kan…
Makan di luar setiap hari juga bukan sebuah option yang baik, apalagi masih memiliki anak balita.
Akhirnya, aku mulai memberanikan diri menceburkan diri ke peralatan dapur, terutama saat ibu mertua kembali ke Jakarta di saat ini, dan aku harus menguasai dapur, sendirian.
Tidak mudah bagiku sebetulnya. Tapi aku mau berusaha. Untuk keluargaku, aku mau mencoba.
Dengan agak was-was karena takut adonannya tidak jadi, aku pelan-pelan mulai membuat pempek. Dan kekuatiranku jadi nyata, ketika kutuangkan air ke adonan yang berisi ikan dan sagu. Ooppps, kebanyakan! Dan tidak bisa dibuntel (alias dibulat-bulatkan) tuh adonan, terlalu cair. What should I do?
Akhirnya tambah tepung, masih belum bisa juga.
* Agak frustrasi mode on*
Tapi akhirnya, tidak kehabisan akal, kubuat menjadi bulatan-bulatan kecil, soup tekwan. Tidak terlalu jelek, walaupun agak lembek, tidak sekenyal buatan mertua, tapi setidaknya masih bisa dimakan.
Dan sesudah itu, sibuklah aku mencari bahan buat kuahnya yang memerlukan udang….
Pulang menjemput Audrey, langsung kami ke Shen Siong Supermarket di Commonwealth. Setelah selesai membeli udang, black fungus (Jamur hitam ya…), terus beli cabe, beli bangkuang dan beberapa bahan lainnya, kami pulang. Tak lama Audrey tidur, dan aku melanjutkan memasak kuahnya.
Kukupas udang, kupotong bangkuang, dan seterusnya. Masukkan semua bumbunya. Dan hasilnya, kuahnya tidak mengecewakan…Yes! Thank God!
Aku tersenyum, karena selama memasak pun, aku juga sempat bercakap-cakap dengan-Nya. Pas tidak jadi pempek juga, aku membatin…” Bagaimana ini Tuhan?”
Aku hanya ingin melibatkan Dia dalam keseharianku. Bukankah Dia adalah teman yang paling setia, yang selalu ada di tiap hari dan tiap detik hidup kita???
Dan hasilnya, tekwannya lumayanlah, bisa dimakan. Not bad for my first attempt!
Dari sini, aku juga belajar, bahwa terkadang rencanaku bukanlah rencanaNya. Dari pengalaman sesederhana ini, aku kembali diingatkan, terkadang Tuhan membawa kita kepada petualangan yang jauh dari pemikiran kita. Perencanaan kita yang sepertinya sudah matang, diputar olehNya. Terkadang putar sedikit, terkadang putar 180 derajad. Only to find that in the end, rencanaNya tak pernah jelek, Dia selalu beri yang terbaik.
This is my confession of His Faithfulness. Bukan hanya Dia menjagaiku selama hidupku, Dia juga memberikan ‘kejutan-kejutan’ tak terduga sepanjang perjalanan hidup kami. Dia memberikan pengalaman-pengalaman baru di luar rencanaku, hanya untuk menjadikanku seseorang yang lebih dewasa di dalam iman (mudah-mudahan…masih berjuang…:)), untuk menjadi orang yang semakin indah di dalam Dia.
Ending…
Kuhirup soup tekwanku dengan nikmat. Bukan karena rasanya…Karena mungkin rasanya biasa saja, acceptable tapi tidak sophisticated.
Tapi karena pengalaman di balik itu…
Karena aku belajar masak dan akhirnya karena aku kembali melihat rencanaNya adalah yang terbaik dalam hidup setiap insan manusia.
Termasuk diriku. Amen.
Singapore, August 21, 2009
-fon-
* yang tidak kapok mau bikin pempek lagi suatu hari nanti, siapa tau jadinya siomay bandung? Halahhh wkwkwkwk….
Thursday, August 20, 2009
Menisik Hati
Pulang ke rumah membawa bungkusan belanja. Hati Sonia senang tak terkira.
Belanja memang terkadang punya efek yang membahagiakan. Apalagi kalau lagi stress berat trus belanja, rasanya ada beban yang terlepas.
Memang sih, tidak selalu dibenarkan kalau orang boleh melampiaskan kemarahan atau stressnya dengan belanja. Harusnya ya mbok mawas diri dikit. Apalagi zaman susah kayak gini. Masih ada pekerjaan dan bisa makan saja sudah cukup. Tapi, kalau lagi stress, lagi-lagi Sonia tak mampu menahan hasrat belanjanya…
Duh, jadi pee r, nih…
Dilihatnya satu per satu. Dan matanya tertuju pada T-Shirt hitam yang langsung jadi kesukaannya hanya pada pandangan pertama. Bisa gitu, ya? Buat Sonia, bisa!
Love at first sight buat kaos hitam berinitial S itu. Seperti Superman. Sekaligus sama seperti namanya, Sonia.
Cocoklah pokoknya.
Dilihatnya dengan lebih teliti. Eh, kenapa di bagian belakangnya ada satu lubang kecil? Kecil sih, pastinya tak kelihatan kalau orang tidak memperhatikan. Namun, bagi Sonia yang perfeksionis, pastilah hal itu jadi masalah. Membelinya pas lagi ‘sale’, jadinya yah gak bisa dikembalikan atau ditukar.
Hiks….! Sonia mulai panik. Tapi dia tak kekurangan akal, diambilnya benang hitam, ditisiknya, pelan-pelan lubang itu mulai tertutup benang hitam dan dari jauh tak kentara kalau memang Sonia menisiknya.
Agak kecewa, tapi mau bilang apa, Sonia melanjutkan kegiatan tisik menisik, agar terlihat lebih rapi.
Sedang asyik menisik, tiba-tiba muncullah sesosok pria bertubuh jangkung, berkaca mata, dengan tubuh tegapnya. Suaranya agak cempreng, sedikit kurang sesuai dengan posturnya:
“ Lagi ngapain kamu, Nia?”
“ Lagi nisik baju, Dre.” Jawab Sonia, yang dipanggil Nia tanpa menoleh. Masih sibuk dengan pekerjaan yang lebih menarik hatinya. Menisik baju ber-initial S.
Lelaki yang dipanggil Dre itu juga tidak terlalu memperhatikan Sonia lagi. Bergegas masuk ke kamar tidur mereka dan menyalakan TV. Menonton acara favoritnya sampai menunggu makan malam disediakan si Mbak.
Nia menghela nafas. Andre atau Dre, adalah suaminya. Perkawinan mereka baru satu setengah tahun. Dan Nia mulai merasa bosan dengan semua rutinitas ini. Tak ada kata mesra, pelukan, atau sun sayang. Adanya hanyalah basa-basi layaknya orang yang baru bertemu. Aneh…
Ketika dia melirik ke arah kamar, sambil tangannya tetap asik menisik bajunya, Nia melihat Dre di tempat tidur, dengan posisi khasnya, sambil memegang remote. Kadang Nia pikir, remote lebih menarik daripada dia. Setidaknya remote itu lebih sering disayang suaminya daripada dirinya. Dan itu dialami di usia perkawinan sedini ini.
Hatinya tertusuk. Bukan saja impiannya kandas, tapi dia memang tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Asalkan Dre tidak selingkuh saja sudah bagus kali!
Nia melihat HP-nya. Ada sebuah sms yang masuk yang luput dari perhatiannya rupanya.
Dilihatnya, ooh… itu dari seorang pemilik butik, yang sering dikunjungi Nia. Namanya Adnan.
Adnan sering menginformasikan baju-baju baru pada Nia. Dan dengan kondisi pernikahannya yang membosankan dan bikin be te, Nia merasa perlu melampiaskan ‘shopaholic’nya dan toko Adnan menjadi langganan kesayangannya, karena baju-bajunya tidak umum, dari Korea, dan lucu-lucu.
Adnan malam itu bilang ada koleksi baju baru, Nia diharapkan datang. Of course, Adnan, besok ya… Besok aku datang!
***
Diam-diam, Adnan memperhatikan wajah Sonia. Cantik juga ujarnya dalam hati. Dan di antara sekian banyak pertemuan mereka, Adnan tidak sempat memperhatikan raut wajah Nia satu per satu. Rupanya, jika diperhatikan lebih seksama, kelihatan lebih cantik dan manis.
Adnan tahu, Nia sudah menikah. Dan dia merasa, Nia kurang bahagia. Sering terlihat di butiknya, Nia melamun. Nia memang pelanggan tetapnya yang tidak tanggung-tanggung kalau belanja, tapi Adnan menangkap raut wajah yang kadang cemberut, kadang bengong, dan jarang terseyum.
Adnan yang hendak menutup tokonya malam itu, memberanikan diri..
“ Habis saya tutup butik, mau minum kopi bareng?”
“ Boleh, “ Nia menjawab spontan. Sambil tersenyum. Kemudian baru berpikir, koq tiba-tiba sekali dia menjawab ajakan Adnan tanpa pikir panjang. Memang sih, suaminya, Dre, sedang keluar kota untuk tugas. Bukan sehari, tapi dua hari, mungkin diperpanjang.
Dan dia sendirian malam ini. Walaupun tak ada bedanya bagi Nia, sendirian atau tidak, tetap saja dia kesepian. Mending dia melupakan kesedihannya sejenak dengan minum kopi bersama Adnan.
Setelah itu, mereka melangkah ke gerai kopi yang buka sampai pukul 02.00 pagi. Adnan memang membuka butiknya agak telat, tidak secepat toko lainnya yang buka pukul 10.00 pagi. Adnan buka pukul 12.00 siang. Dan bagi Nia? Dia yang tidak bekerja, tidak ada masalah. Dia bisa pulang kapan saja. Lagian Dre tidak di rumah. Ngapain pulang cepet-cepet?
Hari itu mereka bertukar cerita. Ternyata Adnan orang yang amat menarik. Adnan mampu membuatnya tertawa ceria. Hal yang sudah lama tidak dialaminya. Adnan juga mampu menangkap hatinya dengan pesonanya yang mengingatkan Nia pada seorang model. Adnan memang tidak terlalu tampan, tapi badannya yang atletis dan pakaiannya yang necis tapi tidak melupakan kemaskulinannya, membuat orang pasti akan menoleh kepadanya. Tidak hanya wanita, terkadang pria juga.
Adnan akhirnya menawarkan diri untuk mengantar Nia pulang. Nia kebetulan hari itu tidak membawa mobil, dia berpikir dia akan naik taksi. Mobil mereka sedang di bengkel. Ada beberapa bagian yang perlu di-service.
***
Rumah Nia dan Dre yang bergaya minimalis, memang tidak terlalu besar. Namun, tiap detailnya memberikan kesan yang anggun. Mahal. Memang Dre menginvestasikan cukup banyak uang untuk istana mereka.
ISTANA? Nia tersenyum kecut. Mengapa istananya kekurangan cahaya? Cahaya cinta. Ah, sudahlah. Entah apa yang salah, Nia juga tak tahu. Dan dia tak bermaksud untuk cari tahu. Karena Dre juga tampaknya tak peduli. Buat apa? Bukankah dalam pernikahan tidak bisa hanya salah satu pihak yang terus berusaha mengupayakan yang terbaik? Bukankah pihak yang lainnya juga harus melakukannya?
Nia tidak menawarkan Adnan untuk masuk ke rumahnya. Walaupun ada bagian yang sangat kuat dari hatinya untuk mengajak Adnan masuk dan melanjutkan percakapan penuh keceriaan itu tadi, namun ada bagian lain dari hatinya yang mencegahnya. Bagian itu yang lebih kuat untuk saat ini. Dia memutuskan untuk menghentikan keceriaan itu, bukankah besok-besok masih ada waktu?
Dibukanya pintu rumahnya. Adnan masih memperhatikan Nia sampai masuk rumah. Adnan merasakan bahwa Nia gadis yang amat menarik, dan pelan-pelan, rasa suka itu muncul….Ah, jarang-jarang, boleh dikatakan tidak pernah terjadi, dia jatuh cinta secepat itu, kepada pelanggannya. Tapi Nia memang istimewa. Setidaknya di mata Adnan.
Nia masuk ke kamar tidurnya. Didapatinya Dre sedang duduk melamun.
“ Dre, koq sudah pulang???” Nia amat terkejut. “ Bukannya kata kamu besok paling cepat?”
“ Meeting hari ini dibatalkan. Pembelinya sudah terlanjur terbang ke negara asalnya karena ada rencana mendadak. Jadi, tadi aku tidak berangkat. Aku sudah telpon kamu, sms kamu, tapi kamu tidak jawab sama sekali. Itu bikin aku khawatir, tahu?” Dre memandang Nia cemas.
Dan tatapan Dre itu, tatapan itulah yang membuatnya jatuh cinta. Dan sambil pelan-pelan melihat Handphone-nya. Dia melihat bahwa HP-nya masih dalam silent mode. Entah kepencet, entah memang dia sempat membuatnya silent, Nia lupa. Ternyata ada 10 missed calls dari Dre dan 8 sms. Smua dari suaminya.
“ Kamu ke mana aja, Nia?” Tanya Dre.
“ Aku ke butik langganan, kebetulan ada barang baru. Bagus dan lucu-lucu. Sori, pulangnya kemalaman dan gak ngasih kabar, karena aku pikir kamu pulangnya besok.” Jawab Nia.
“ Gak pa-pa, “ Jawab Dre pelan. Sambil pelan-pelan memeluk Nia. Nia merasakan kelembutan, kehangatan, yang dia rindukan. Yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Dan memang, dia satu sisi mengetahui bahwa Dre tengah stress berat dengan pekerjaannya. Pergantian management di kantornya, target yang tak ada habisnya untuk dikejar, membuat Dre terlalu capek ketika sampai di rumah.
Dalam pelukan Dre, Nia berjanji dalam hati, untuk menjadi istri yang lebih baik. Menjadi istri yang lebih mengerti. Memang hatinya terluka selama Dre mencuekkan dia dan menganggap TV lebih memberikan relaksasi baginya. Tetapi, sebagaimana Nia menisik baju barunya, kali ini Nia ingin menisik hatinya. Menambalnya dengan cinta yang pernah ada di antara mereka. Dan sebetulnya cinta itu masih ada, hanya Nia yang merasa sudah tak memilikinya lagi.
***
HP yang sudah dikembalikan ke mode general, tiba-tiba berbunyi. Isinya? SMS untuk Nia, dari siapa lagi kalau bukan dari Adnan.
“ Thanks for tonight and sweet dream, sweetie!”
Ah, kalau saja tadi dia mempersilakan Adnan masuk, habislah dia. Satu sisi, perasaan bersalah juga timbul di hati Nia. Nia merasa tidak seharusnya dia senang-senang sementara Dre menunggunya dengan cemas di rumah. Dengan missed calls dan SMS sebanyak itu, Nia mengerti, pastinya Dre cemas.
“ Dari siapa?” Tanya Dre
“ Oh, dari butik langgananku itu tadi.” Jawab Nia pelan masih dengan perasaan tidak enak hati.
Dan Nia menghapus sms itu. Adnan memang menarik. Tapi dia juga tak ingin menodai janji perkawinan yang mereka ucapkan 1.5 tahun lalu. Walaupun kondisinya sudah amat membosankan, walaupun dirinya amat merasa kesepian dan tak diperhatikan, walaupun Adnan amat menarik, sumpahhh Nia tertarik. Tapi cintanya memang sudah diberikan kepada Dre. Sisanya, adalah mempertahankan cinta yang pernah ada itu dan membuatnya kembali membara.
Cinta bukan cuma perasaan. Ketika Nia menyadari hal itu, dia berkata dalam hati, cinta adalah keputusan. Keputusan untuk mencintai dalam keadaan apa pun.
Nia tersenyum, kembali memeluk suaminya dan bertekad….menisik hati mereka berdua dengan cinta.
Singapore, August 20, 2009
-fon-
* pas liat tisikan baju di satu kaos-ku kemarin, terciptalah cerpen ini :)
Belanja memang terkadang punya efek yang membahagiakan. Apalagi kalau lagi stress berat trus belanja, rasanya ada beban yang terlepas.
Memang sih, tidak selalu dibenarkan kalau orang boleh melampiaskan kemarahan atau stressnya dengan belanja. Harusnya ya mbok mawas diri dikit. Apalagi zaman susah kayak gini. Masih ada pekerjaan dan bisa makan saja sudah cukup. Tapi, kalau lagi stress, lagi-lagi Sonia tak mampu menahan hasrat belanjanya…
Duh, jadi pee r, nih…
Dilihatnya satu per satu. Dan matanya tertuju pada T-Shirt hitam yang langsung jadi kesukaannya hanya pada pandangan pertama. Bisa gitu, ya? Buat Sonia, bisa!
Love at first sight buat kaos hitam berinitial S itu. Seperti Superman. Sekaligus sama seperti namanya, Sonia.
Cocoklah pokoknya.
Dilihatnya dengan lebih teliti. Eh, kenapa di bagian belakangnya ada satu lubang kecil? Kecil sih, pastinya tak kelihatan kalau orang tidak memperhatikan. Namun, bagi Sonia yang perfeksionis, pastilah hal itu jadi masalah. Membelinya pas lagi ‘sale’, jadinya yah gak bisa dikembalikan atau ditukar.
Hiks….! Sonia mulai panik. Tapi dia tak kekurangan akal, diambilnya benang hitam, ditisiknya, pelan-pelan lubang itu mulai tertutup benang hitam dan dari jauh tak kentara kalau memang Sonia menisiknya.
Agak kecewa, tapi mau bilang apa, Sonia melanjutkan kegiatan tisik menisik, agar terlihat lebih rapi.
Sedang asyik menisik, tiba-tiba muncullah sesosok pria bertubuh jangkung, berkaca mata, dengan tubuh tegapnya. Suaranya agak cempreng, sedikit kurang sesuai dengan posturnya:
“ Lagi ngapain kamu, Nia?”
“ Lagi nisik baju, Dre.” Jawab Sonia, yang dipanggil Nia tanpa menoleh. Masih sibuk dengan pekerjaan yang lebih menarik hatinya. Menisik baju ber-initial S.
Lelaki yang dipanggil Dre itu juga tidak terlalu memperhatikan Sonia lagi. Bergegas masuk ke kamar tidur mereka dan menyalakan TV. Menonton acara favoritnya sampai menunggu makan malam disediakan si Mbak.
Nia menghela nafas. Andre atau Dre, adalah suaminya. Perkawinan mereka baru satu setengah tahun. Dan Nia mulai merasa bosan dengan semua rutinitas ini. Tak ada kata mesra, pelukan, atau sun sayang. Adanya hanyalah basa-basi layaknya orang yang baru bertemu. Aneh…
Ketika dia melirik ke arah kamar, sambil tangannya tetap asik menisik bajunya, Nia melihat Dre di tempat tidur, dengan posisi khasnya, sambil memegang remote. Kadang Nia pikir, remote lebih menarik daripada dia. Setidaknya remote itu lebih sering disayang suaminya daripada dirinya. Dan itu dialami di usia perkawinan sedini ini.
Hatinya tertusuk. Bukan saja impiannya kandas, tapi dia memang tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Asalkan Dre tidak selingkuh saja sudah bagus kali!
Nia melihat HP-nya. Ada sebuah sms yang masuk yang luput dari perhatiannya rupanya.
Dilihatnya, ooh… itu dari seorang pemilik butik, yang sering dikunjungi Nia. Namanya Adnan.
Adnan sering menginformasikan baju-baju baru pada Nia. Dan dengan kondisi pernikahannya yang membosankan dan bikin be te, Nia merasa perlu melampiaskan ‘shopaholic’nya dan toko Adnan menjadi langganan kesayangannya, karena baju-bajunya tidak umum, dari Korea, dan lucu-lucu.
Adnan malam itu bilang ada koleksi baju baru, Nia diharapkan datang. Of course, Adnan, besok ya… Besok aku datang!
***
Diam-diam, Adnan memperhatikan wajah Sonia. Cantik juga ujarnya dalam hati. Dan di antara sekian banyak pertemuan mereka, Adnan tidak sempat memperhatikan raut wajah Nia satu per satu. Rupanya, jika diperhatikan lebih seksama, kelihatan lebih cantik dan manis.
Adnan tahu, Nia sudah menikah. Dan dia merasa, Nia kurang bahagia. Sering terlihat di butiknya, Nia melamun. Nia memang pelanggan tetapnya yang tidak tanggung-tanggung kalau belanja, tapi Adnan menangkap raut wajah yang kadang cemberut, kadang bengong, dan jarang terseyum.
Adnan yang hendak menutup tokonya malam itu, memberanikan diri..
“ Habis saya tutup butik, mau minum kopi bareng?”
“ Boleh, “ Nia menjawab spontan. Sambil tersenyum. Kemudian baru berpikir, koq tiba-tiba sekali dia menjawab ajakan Adnan tanpa pikir panjang. Memang sih, suaminya, Dre, sedang keluar kota untuk tugas. Bukan sehari, tapi dua hari, mungkin diperpanjang.
Dan dia sendirian malam ini. Walaupun tak ada bedanya bagi Nia, sendirian atau tidak, tetap saja dia kesepian. Mending dia melupakan kesedihannya sejenak dengan minum kopi bersama Adnan.
Setelah itu, mereka melangkah ke gerai kopi yang buka sampai pukul 02.00 pagi. Adnan memang membuka butiknya agak telat, tidak secepat toko lainnya yang buka pukul 10.00 pagi. Adnan buka pukul 12.00 siang. Dan bagi Nia? Dia yang tidak bekerja, tidak ada masalah. Dia bisa pulang kapan saja. Lagian Dre tidak di rumah. Ngapain pulang cepet-cepet?
Hari itu mereka bertukar cerita. Ternyata Adnan orang yang amat menarik. Adnan mampu membuatnya tertawa ceria. Hal yang sudah lama tidak dialaminya. Adnan juga mampu menangkap hatinya dengan pesonanya yang mengingatkan Nia pada seorang model. Adnan memang tidak terlalu tampan, tapi badannya yang atletis dan pakaiannya yang necis tapi tidak melupakan kemaskulinannya, membuat orang pasti akan menoleh kepadanya. Tidak hanya wanita, terkadang pria juga.
Adnan akhirnya menawarkan diri untuk mengantar Nia pulang. Nia kebetulan hari itu tidak membawa mobil, dia berpikir dia akan naik taksi. Mobil mereka sedang di bengkel. Ada beberapa bagian yang perlu di-service.
***
Rumah Nia dan Dre yang bergaya minimalis, memang tidak terlalu besar. Namun, tiap detailnya memberikan kesan yang anggun. Mahal. Memang Dre menginvestasikan cukup banyak uang untuk istana mereka.
ISTANA? Nia tersenyum kecut. Mengapa istananya kekurangan cahaya? Cahaya cinta. Ah, sudahlah. Entah apa yang salah, Nia juga tak tahu. Dan dia tak bermaksud untuk cari tahu. Karena Dre juga tampaknya tak peduli. Buat apa? Bukankah dalam pernikahan tidak bisa hanya salah satu pihak yang terus berusaha mengupayakan yang terbaik? Bukankah pihak yang lainnya juga harus melakukannya?
Nia tidak menawarkan Adnan untuk masuk ke rumahnya. Walaupun ada bagian yang sangat kuat dari hatinya untuk mengajak Adnan masuk dan melanjutkan percakapan penuh keceriaan itu tadi, namun ada bagian lain dari hatinya yang mencegahnya. Bagian itu yang lebih kuat untuk saat ini. Dia memutuskan untuk menghentikan keceriaan itu, bukankah besok-besok masih ada waktu?
Dibukanya pintu rumahnya. Adnan masih memperhatikan Nia sampai masuk rumah. Adnan merasakan bahwa Nia gadis yang amat menarik, dan pelan-pelan, rasa suka itu muncul….Ah, jarang-jarang, boleh dikatakan tidak pernah terjadi, dia jatuh cinta secepat itu, kepada pelanggannya. Tapi Nia memang istimewa. Setidaknya di mata Adnan.
Nia masuk ke kamar tidurnya. Didapatinya Dre sedang duduk melamun.
“ Dre, koq sudah pulang???” Nia amat terkejut. “ Bukannya kata kamu besok paling cepat?”
“ Meeting hari ini dibatalkan. Pembelinya sudah terlanjur terbang ke negara asalnya karena ada rencana mendadak. Jadi, tadi aku tidak berangkat. Aku sudah telpon kamu, sms kamu, tapi kamu tidak jawab sama sekali. Itu bikin aku khawatir, tahu?” Dre memandang Nia cemas.
Dan tatapan Dre itu, tatapan itulah yang membuatnya jatuh cinta. Dan sambil pelan-pelan melihat Handphone-nya. Dia melihat bahwa HP-nya masih dalam silent mode. Entah kepencet, entah memang dia sempat membuatnya silent, Nia lupa. Ternyata ada 10 missed calls dari Dre dan 8 sms. Smua dari suaminya.
“ Kamu ke mana aja, Nia?” Tanya Dre.
“ Aku ke butik langganan, kebetulan ada barang baru. Bagus dan lucu-lucu. Sori, pulangnya kemalaman dan gak ngasih kabar, karena aku pikir kamu pulangnya besok.” Jawab Nia.
“ Gak pa-pa, “ Jawab Dre pelan. Sambil pelan-pelan memeluk Nia. Nia merasakan kelembutan, kehangatan, yang dia rindukan. Yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Dan memang, dia satu sisi mengetahui bahwa Dre tengah stress berat dengan pekerjaannya. Pergantian management di kantornya, target yang tak ada habisnya untuk dikejar, membuat Dre terlalu capek ketika sampai di rumah.
Dalam pelukan Dre, Nia berjanji dalam hati, untuk menjadi istri yang lebih baik. Menjadi istri yang lebih mengerti. Memang hatinya terluka selama Dre mencuekkan dia dan menganggap TV lebih memberikan relaksasi baginya. Tetapi, sebagaimana Nia menisik baju barunya, kali ini Nia ingin menisik hatinya. Menambalnya dengan cinta yang pernah ada di antara mereka. Dan sebetulnya cinta itu masih ada, hanya Nia yang merasa sudah tak memilikinya lagi.
***
HP yang sudah dikembalikan ke mode general, tiba-tiba berbunyi. Isinya? SMS untuk Nia, dari siapa lagi kalau bukan dari Adnan.
“ Thanks for tonight and sweet dream, sweetie!”
Ah, kalau saja tadi dia mempersilakan Adnan masuk, habislah dia. Satu sisi, perasaan bersalah juga timbul di hati Nia. Nia merasa tidak seharusnya dia senang-senang sementara Dre menunggunya dengan cemas di rumah. Dengan missed calls dan SMS sebanyak itu, Nia mengerti, pastinya Dre cemas.
“ Dari siapa?” Tanya Dre
“ Oh, dari butik langgananku itu tadi.” Jawab Nia pelan masih dengan perasaan tidak enak hati.
Dan Nia menghapus sms itu. Adnan memang menarik. Tapi dia juga tak ingin menodai janji perkawinan yang mereka ucapkan 1.5 tahun lalu. Walaupun kondisinya sudah amat membosankan, walaupun dirinya amat merasa kesepian dan tak diperhatikan, walaupun Adnan amat menarik, sumpahhh Nia tertarik. Tapi cintanya memang sudah diberikan kepada Dre. Sisanya, adalah mempertahankan cinta yang pernah ada itu dan membuatnya kembali membara.
Cinta bukan cuma perasaan. Ketika Nia menyadari hal itu, dia berkata dalam hati, cinta adalah keputusan. Keputusan untuk mencintai dalam keadaan apa pun.
Nia tersenyum, kembali memeluk suaminya dan bertekad….menisik hati mereka berdua dengan cinta.
Singapore, August 20, 2009
-fon-
* pas liat tisikan baju di satu kaos-ku kemarin, terciptalah cerpen ini :)
Wednesday, August 19, 2009
Dedicated for Indonesia
I love the blue of Indonesia
It's the flavor in the air
I love the blue of Indonesia
You can taste everywhere
I love the blue of Indonesia
It’s my kind of blue
(song from one of Bentoel’s Ads)
I’ve heard this song few years back then.
I don’t remember in which year to be exact,
I just felt that I like the song as a whole: the rhythm, the wordings, the voice.
Those things really reminded me the beauty of the nature of my country.
That’s all. So simple.
But the feeling has changed now.
Since I’m not in Indonesia for the last 2.5 years or to be more precise, almost 3 years – oh yes, I still had some trip back to my hometown, Jakarta or even Bali- but I’m referring to the fact that I don’t stay there most of the time.
How I missed Indonesia.
Starting from the food, the atmosphere, the friendship, the warmth, or even the traffic jam…
Hmmm, I don’t really know the progress of this jam, especially in Jakarta, because I’ve heard from some of my relatives and friends that it has become worse, anyway, every single thing, even though it’s imperfect, seems to have drag me more and more to this feeling. I miss my hometown, my country, my Indonesia.
This note is slightly late than our Independence Day, but the feeling that I want to share is just in time. It’s never too late to share the feelings, the way that I feel right now.
Maybe, like a friend said, you’ll never treasure something until you lost it. Or in other way, I’d like to say that maybe we don’t treasure it as much as we should, because sometimes we took it as a granted.
I remembered my days in Jakarta, there were times that I complained as well, about the traffic jam, about the indiscipline of many people while driving, queuing, or about the bribery/corruption there.
About few things and sometimes about many things as well.
Only to find that in the end, even though how imperfect my country is, I still love it.
Even in the midst of high tech world, high quality country, the feeling grows even deeper.
It’s strange, but it’s true.
Whatever it is, whatever it takes…
Wherever my life will bring me, to which country…
I will love you, my Indonesia
And I’ll remember the blue color of your sky, your nature, your beauty.
Hopefully I still have the chance to see the blue of Indonesia
Not contaminated by pollution…
And hopefully Indonesia will become a more mature country…
A more discipline one, a more developed one.
Wishing everything the best on your 64th birthday and the years ahead…
Singapore, August 20, 2009
-fon-
* Not in the mood of blue… And actually, I really love blue, it’s my favorite color:)
It's the flavor in the air
I love the blue of Indonesia
You can taste everywhere
I love the blue of Indonesia
It’s my kind of blue
(song from one of Bentoel’s Ads)
I’ve heard this song few years back then.
I don’t remember in which year to be exact,
I just felt that I like the song as a whole: the rhythm, the wordings, the voice.
Those things really reminded me the beauty of the nature of my country.
That’s all. So simple.
But the feeling has changed now.
Since I’m not in Indonesia for the last 2.5 years or to be more precise, almost 3 years – oh yes, I still had some trip back to my hometown, Jakarta or even Bali- but I’m referring to the fact that I don’t stay there most of the time.
How I missed Indonesia.
Starting from the food, the atmosphere, the friendship, the warmth, or even the traffic jam…
Hmmm, I don’t really know the progress of this jam, especially in Jakarta, because I’ve heard from some of my relatives and friends that it has become worse, anyway, every single thing, even though it’s imperfect, seems to have drag me more and more to this feeling. I miss my hometown, my country, my Indonesia.
This note is slightly late than our Independence Day, but the feeling that I want to share is just in time. It’s never too late to share the feelings, the way that I feel right now.
Maybe, like a friend said, you’ll never treasure something until you lost it. Or in other way, I’d like to say that maybe we don’t treasure it as much as we should, because sometimes we took it as a granted.
I remembered my days in Jakarta, there were times that I complained as well, about the traffic jam, about the indiscipline of many people while driving, queuing, or about the bribery/corruption there.
About few things and sometimes about many things as well.
Only to find that in the end, even though how imperfect my country is, I still love it.
Even in the midst of high tech world, high quality country, the feeling grows even deeper.
It’s strange, but it’s true.
Whatever it is, whatever it takes…
Wherever my life will bring me, to which country…
I will love you, my Indonesia
And I’ll remember the blue color of your sky, your nature, your beauty.
Hopefully I still have the chance to see the blue of Indonesia
Not contaminated by pollution…
And hopefully Indonesia will become a more mature country…
A more discipline one, a more developed one.
Wishing everything the best on your 64th birthday and the years ahead…
Singapore, August 20, 2009
-fon-
* Not in the mood of blue… And actually, I really love blue, it’s my favorite color:)
Tuesday, August 18, 2009
There’s a Giant in Every Ant
source of picture---http://thundafunda.com/393/images/wallpapers/ants-pictures/ants-ona-leaf-in-my-garden-ants-pictures.jpg
Hari-hari yang terasa berat…
Ketika kegagalan datang silih berganti.
Bukan hanya sekali…
Namun, berkali-kali.
Ada istilah keledai pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali
Kecuali keledai yang amat bodoh.
Ketika kegagalan menyapa…
Dengan ramah…
Bukan sekali…
Dua, tiga, empat, bahkan mungkin…
Puluhan atau ratusan kali…
Mungkin perasaan itu yang dominan…
Merasa bak keledai yang bodoh..
Super bodoh malah..
Karena jatuh ke lubang kegagalan yang sama
Berkali-kali…
Di saat itu, diri merasa kecil…
Amat kecil…
Sekecil semut…
Atau yang lebih ekstrim…
Merasa diri bagaikan kuman
Yang hanya bisa dilihat melalui mikroskop…
Jiwa merasa kerdil…
Kecil…
Tak mampu melakukan apa-apa…
Sudah berusaha sekuat tenaga
Hasilnya tak ada…
Investasi sana-sini…
Bukannya untung malah merugi…
Kerja serabutan sampai kurang tidur…
Uangnya tidak cukup sampai akhir bulan..
Tetapi…
Biarpun merasa kecil…
Kerdil…
Tak berarti…
Tak mampu menatap kehidupan…
Bak semut yang kecil itu….
Di balik itu semua,
di balik semua hal yang kecil dan kerdil yang ada di diri seorang semut
Ada satu raksasa yang menunggu…
Untuk dibangkitkan…
Untuk ditelusuri…
Untuk dibangunkan dari alam tidurnya
Selalu ada satu hal yang setidaknya mampu kita lakukan dengan baik.
Mungkin amat berbeda dengan orang lain.
Dan mungkin sama sekali buat kita tak berarti.
Tapi cobalah ingat lagi…
PASTI ada sesuatu yang positif di diri.
Gali kekuatan dan potensi diri.
Tak mungkin Tuhan tak berikan talenta sama sekali.
Yang mungkin terjadi…
Kita terlalu fokus pada kegagalan dan kesulitan
Sehingga tak mampu melihat cahaya terang
Potensi dalam diri
Sebagaimana intan yang belum diasah…
Inside every ant, there’s a giant…
Jangan pernah anggap dirimu tak berarti.
Ketika perasaan itu singgah lagi…
Diam dan renungkan kembali…
PASTI ada sesuatu yang bisa kau lakukan untuk dunia ini.
Biarpun dalam skala kecil yang tampaknya tak berarti.
Namun, dari yang kecil itu, asalkan setia…
Bukan tidak mungkin suatu saat nanti…
Akan tumbuh menjadi raksasa yang baik hati
Yang tidak menakutkan…
Karena tahu diri…
Dan menyadari…
There’s also an ant inside every giant…
Di dalam setiap kekuatan, juga pasti ada kelemahan.
Menerima diri. Apa adanya.
Tetap meng-upgrade diri.
Jangan berhenti.
Sehingga apa pun keadaan kita nanti…
Ant or Giant?
Sudah tidak jadi masalah lagi…
Ketika sukses, kita mampu bersyukur dan tak lupa diri.
Sekaligus ketika gagal, kita juga mampu introspeksi
Dan tidak terbawa arus depresi…
Teori tak pernah mudah dijalankan…
Namun, itu yang harus kita perjuangkan.
Sembari menyadari…
Sekali lagi…
Kalau itu semua hanyalah penggalan-penggalan kisah kehidupan
Yang sudah dirangkai dengan sempurnanya oleh sang Pencipta.
Singapore, 19 August 2009
-fon-
* Terinspirasi tontonan anakku: Wordworld di Playhouse Disney, episode: There’s an Ant in Every Giant.
Monday, August 17, 2009
Zee
Source: http://community.thenewstribune.com/node/33557
“Zee!”
Dia menoleh ke arahku ketika kupanggil namanya. Sungguh wajahnya tidak ganteng bagiku. Agak aneh. Sedikit lucu malah. Dan pertemanan antar lawan jenis yang kami lakoni sekian tahun lamanya tidak juga berkembang ke arah cinta seperti kata orang. Friends turn to lovers? Ah, itu tidak terjadi bagi kami. Bagiku, dia tetap sahabat baik. Teramat baik malah!
Aku mendapatkan banyak masukan, pencerahan, nasihat, yang semuanya sangat sesuai di hatiku. Banyak kali aku mendapati orang yang menasihati sesuai maunya sendiri. Apa yang menurut mereka terbaik. Tapi, apa yang mereka kira terbaik dari mata mereka, bukan selalu yang terbaik bagi yang mengalaminya, bukan?
Lagi-lagi, itu tak pernah terjadi pada Zee-ku! Aku puas curhat dengan dia, dua tiga jam sehari. Sampai malam telah pelan-pelan merangkak menjelang dini hari, menyongsong fajar, menyambut pagi.
Pernah, saking lupa waktunya kami, itu percakapan terlama kami, 4 jam. Nonstop.
Zee dan aku tak menyadari bahwa kami perlu meningkatkan relasi kami ke arah yang lebih jauh, ke jenjang yang lebih serius. Kalau nantinya malah jadi saling mengikat dan melukai, buat apa? Mending seperti sekarang, sama-sama senang, tidak ada ikatan, tidak juga ada pacar. Hanya sebatas sahabat.
Mungkin istilah yang tepat Teman Tapi Mesra atawa TTM? Bisa juga…
Sampai suatu ketika…
Aku membuka pekarangan rumah Zee. Rumah yang sederhana, tidak besar, namun apik. Selalu membawaku ingin terus main ke sana. Aku yang sebatang kara di ibukota merasakan kehangatan hanya berada di rumah Zee.
Saat itu Zee hanya seorang diri di rumahnya. Ayah ibunya tengah keluar kota menjenguk saudara yang sakit. Dan pembantunya tengah ke pasar membeli beberapa keperluan dapur.
Aku dan Zee langsung ngobrol dengan riangnya. Tanpa kami sadari, karena saking serunya dia mau memperlihatkan koleksi buku terbaru yang tengah dia baca, kami ada di kamar Zee, berdua saja.
Dan ketika aku membuka-buka buku Zee, tiba-tiba tangannya mengelus rambutku. Aku terkejut! Ini bukan Zee…! Koq, Zee jadi begini???
Dan kulihat pandangan matanya berubah lembut. Dan sebentar lagi, berubah seperti ingin menerkamku… Tiba-tiba, rasa ketakutan begitu menguasaiku.
Aku lari, bergegas meninggalkan rumah Zee, dengan seribu tanya di hati.
Kurang ajar, kamu…Aku tidak terima, Zee!
Malam itu di kamarku…
Aku merenungkan kejadian siang itu. Ada rasa lembut yang mulai masuk di kedalaman hatiku. Dan pelan-pelan mulai menjalari seluruh otakku. Yah, kenapa tidak? Mungkin Zee betul-betul suka padaku. Mungkin Zee mencintaiku. Dan kenyamanan ini? Kenyamanan yang kurasakan saat bersamanya tak bisa tergantikan oleh siapa pun. Kapan pun. Jadi, untuk apa aku bersusah payah mencari si Dia yang lain?
Kalau memang Zee mencintaiku dan kuyakini hal itu… Akan kuterima dirinya dengan sepenuh hati.
Memang, wajahnya biasa. Cenderung jelek malah. Tapi, aku juga tidak cantik-cantik amat. Aku bukan Tamara Blezinsky, Luna Maya, atau Charlize Theron. Aku cuma wanita biasa dan sederhana.
Kuputuskan untuk mengundang Zee ke rumahku di malam minggu nanti. Sambil memimpikan Zee akan jadi kekasihku. Kekasih yang sempurna bagiku.
Pasti hubungan kami akan sangat indah, karena kami memiliki minat yang sama. Dan bisa ngobrol berjam-jam lamanya.
Ah, Zee… kenapa tiba-tiba aku kangen kamu???
Sabtunya…
Zee datang ke rumahku. Seperti keinginanku.
Zee juga menghampiriku dan bercakap-cakap ramah denganku. Sama seperti dalam anganku.
Zee mulai menjelaskan mengapa dia melakukan hal itu. Kejadian memalukan di kamarnya beberapa waktu silam.
“ Begini, dik… Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa membelai rambutmu dan sepertinya ingin sekali memelukmu. Aku pikir tadinya aku jatuh cinta padamu. Setelah ngobrol intensif kita setiap hari, beberapa jam, aku berpikir mungkin pesonamu sudah memasuki kepala dan hatiku. Tetapi, setelah kudalami lagi, ternyata itu bukan cinta. Itu hanya Chemistry… bla bla bla bla….”
Sudah tidak jelas lagi, apa yang dikatakan Zee. Dia menolakku! Keterlaluan…Aku marah, setelah apa yang dilakukannya padaku. Terpikir juga, untung aku masih dilindungi. Coba kalau aku terlanjur menyerah kepadanya di saat itu…?
Hiiii, ngeriiii…
Aku bergidik memikirkan kemungkinan yang tak pernah terjadi itu.
Dan kimia, chemistry, atau apa lah namanya itu…!
Aku tidak peduli. Aku juga tak pernah suka fisika, biologi atau kimia. Enak saja bagi Zee menyalahkan chemistry. Tapi itu bagiku dia tak mampu mengontrol dirinya.
Tiba-tiba rasa kagumku pada Zee sirna. Semudah itu saja! Setelah pertemanan kami bertahun-tahun. Setelah kukira this friendship could turn to lover.
Setelah tragedi kamar Zee. Setelah percakapan sore ini.
Aku memutuskan untuk mempersilakan Zee pergi. Dari kamarku, dari rumahku, dari hidupku.
Bye-bye, Zee… Bagian yang akan terus kuingat adalah kedekatan kita dulu. Tapi sekarang? Itu sudah bagian masa lalu.
“Bangunlah dari mimpimu, sayangku!”
Aku memotivasi diriku. Aku tengah low-bat. Zee menyerap begitu banyak energiku. Aku sedih, tapi mungkin ini yang terbaik bagiku. Hatiku terlalu sakit untuk penolakan ini. Dan sebetulnya aku tak pernah mencintainya. Hanya mengaguminya dan senang berbicara dengannya. Atau… inikah yang namanya witing tresno jalaran soko kulino? Cinta datang karena kebiasaan, karena sering bersama?
Entah…!
Aku masih belum sanggup mendefinisikan hal itu. Cinta ataukah rasa kagum?
Hmmm, tidak jelas…
Yang pasti, aku mulai resah mendekati malam tiba, karena aku harus mencari alternatif aktifitas lain. Sendiri. Tanpa Zee.
Singapore, 17 August 2009
-fon-
* in the spirit of freedom because of the independence day, let’s free your soul to be more creative, to be more adventurous in this life.
“Zee!”
Dia menoleh ke arahku ketika kupanggil namanya. Sungguh wajahnya tidak ganteng bagiku. Agak aneh. Sedikit lucu malah. Dan pertemanan antar lawan jenis yang kami lakoni sekian tahun lamanya tidak juga berkembang ke arah cinta seperti kata orang. Friends turn to lovers? Ah, itu tidak terjadi bagi kami. Bagiku, dia tetap sahabat baik. Teramat baik malah!
Aku mendapatkan banyak masukan, pencerahan, nasihat, yang semuanya sangat sesuai di hatiku. Banyak kali aku mendapati orang yang menasihati sesuai maunya sendiri. Apa yang menurut mereka terbaik. Tapi, apa yang mereka kira terbaik dari mata mereka, bukan selalu yang terbaik bagi yang mengalaminya, bukan?
Lagi-lagi, itu tak pernah terjadi pada Zee-ku! Aku puas curhat dengan dia, dua tiga jam sehari. Sampai malam telah pelan-pelan merangkak menjelang dini hari, menyongsong fajar, menyambut pagi.
Pernah, saking lupa waktunya kami, itu percakapan terlama kami, 4 jam. Nonstop.
Zee dan aku tak menyadari bahwa kami perlu meningkatkan relasi kami ke arah yang lebih jauh, ke jenjang yang lebih serius. Kalau nantinya malah jadi saling mengikat dan melukai, buat apa? Mending seperti sekarang, sama-sama senang, tidak ada ikatan, tidak juga ada pacar. Hanya sebatas sahabat.
Mungkin istilah yang tepat Teman Tapi Mesra atawa TTM? Bisa juga…
Sampai suatu ketika…
Aku membuka pekarangan rumah Zee. Rumah yang sederhana, tidak besar, namun apik. Selalu membawaku ingin terus main ke sana. Aku yang sebatang kara di ibukota merasakan kehangatan hanya berada di rumah Zee.
Saat itu Zee hanya seorang diri di rumahnya. Ayah ibunya tengah keluar kota menjenguk saudara yang sakit. Dan pembantunya tengah ke pasar membeli beberapa keperluan dapur.
Aku dan Zee langsung ngobrol dengan riangnya. Tanpa kami sadari, karena saking serunya dia mau memperlihatkan koleksi buku terbaru yang tengah dia baca, kami ada di kamar Zee, berdua saja.
Dan ketika aku membuka-buka buku Zee, tiba-tiba tangannya mengelus rambutku. Aku terkejut! Ini bukan Zee…! Koq, Zee jadi begini???
Dan kulihat pandangan matanya berubah lembut. Dan sebentar lagi, berubah seperti ingin menerkamku… Tiba-tiba, rasa ketakutan begitu menguasaiku.
Aku lari, bergegas meninggalkan rumah Zee, dengan seribu tanya di hati.
Kurang ajar, kamu…Aku tidak terima, Zee!
Malam itu di kamarku…
Aku merenungkan kejadian siang itu. Ada rasa lembut yang mulai masuk di kedalaman hatiku. Dan pelan-pelan mulai menjalari seluruh otakku. Yah, kenapa tidak? Mungkin Zee betul-betul suka padaku. Mungkin Zee mencintaiku. Dan kenyamanan ini? Kenyamanan yang kurasakan saat bersamanya tak bisa tergantikan oleh siapa pun. Kapan pun. Jadi, untuk apa aku bersusah payah mencari si Dia yang lain?
Kalau memang Zee mencintaiku dan kuyakini hal itu… Akan kuterima dirinya dengan sepenuh hati.
Memang, wajahnya biasa. Cenderung jelek malah. Tapi, aku juga tidak cantik-cantik amat. Aku bukan Tamara Blezinsky, Luna Maya, atau Charlize Theron. Aku cuma wanita biasa dan sederhana.
Kuputuskan untuk mengundang Zee ke rumahku di malam minggu nanti. Sambil memimpikan Zee akan jadi kekasihku. Kekasih yang sempurna bagiku.
Pasti hubungan kami akan sangat indah, karena kami memiliki minat yang sama. Dan bisa ngobrol berjam-jam lamanya.
Ah, Zee… kenapa tiba-tiba aku kangen kamu???
Sabtunya…
Zee datang ke rumahku. Seperti keinginanku.
Zee juga menghampiriku dan bercakap-cakap ramah denganku. Sama seperti dalam anganku.
Zee mulai menjelaskan mengapa dia melakukan hal itu. Kejadian memalukan di kamarnya beberapa waktu silam.
“ Begini, dik… Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa membelai rambutmu dan sepertinya ingin sekali memelukmu. Aku pikir tadinya aku jatuh cinta padamu. Setelah ngobrol intensif kita setiap hari, beberapa jam, aku berpikir mungkin pesonamu sudah memasuki kepala dan hatiku. Tetapi, setelah kudalami lagi, ternyata itu bukan cinta. Itu hanya Chemistry… bla bla bla bla….”
Sudah tidak jelas lagi, apa yang dikatakan Zee. Dia menolakku! Keterlaluan…Aku marah, setelah apa yang dilakukannya padaku. Terpikir juga, untung aku masih dilindungi. Coba kalau aku terlanjur menyerah kepadanya di saat itu…?
Hiiii, ngeriiii…
Aku bergidik memikirkan kemungkinan yang tak pernah terjadi itu.
Dan kimia, chemistry, atau apa lah namanya itu…!
Aku tidak peduli. Aku juga tak pernah suka fisika, biologi atau kimia. Enak saja bagi Zee menyalahkan chemistry. Tapi itu bagiku dia tak mampu mengontrol dirinya.
Tiba-tiba rasa kagumku pada Zee sirna. Semudah itu saja! Setelah pertemanan kami bertahun-tahun. Setelah kukira this friendship could turn to lover.
Setelah tragedi kamar Zee. Setelah percakapan sore ini.
Aku memutuskan untuk mempersilakan Zee pergi. Dari kamarku, dari rumahku, dari hidupku.
Bye-bye, Zee… Bagian yang akan terus kuingat adalah kedekatan kita dulu. Tapi sekarang? Itu sudah bagian masa lalu.
“Bangunlah dari mimpimu, sayangku!”
Aku memotivasi diriku. Aku tengah low-bat. Zee menyerap begitu banyak energiku. Aku sedih, tapi mungkin ini yang terbaik bagiku. Hatiku terlalu sakit untuk penolakan ini. Dan sebetulnya aku tak pernah mencintainya. Hanya mengaguminya dan senang berbicara dengannya. Atau… inikah yang namanya witing tresno jalaran soko kulino? Cinta datang karena kebiasaan, karena sering bersama?
Entah…!
Aku masih belum sanggup mendefinisikan hal itu. Cinta ataukah rasa kagum?
Hmmm, tidak jelas…
Yang pasti, aku mulai resah mendekati malam tiba, karena aku harus mencari alternatif aktifitas lain. Sendiri. Tanpa Zee.
Singapore, 17 August 2009
-fon-
* in the spirit of freedom because of the independence day, let’s free your soul to be more creative, to be more adventurous in this life.
Sunday, August 16, 2009
Tangisan Bawang
*** cerpen
“ Tolol,” begitu kata hatiku.
Tidak biasanya aku memaki diriku sendiri. Tapi saat ini, lagi-lagi mataku pedas dengan diiringi derai air mata yang mengucur deras, hanya karena mengupas dan memotong bawang. Tak terelakkan ketika bawang merah dan bawang Bombay itu kupotong-potong untuk keperluan memasak.
Menangis bukan hal yang sering kulakukan. Aku terlanjur membekukan hatiku. Mungkin karena aku sudah terluka parah, jadi perasaan-perasaan semacam ini kuanggap sepi saja. Tanpa arti.
Kuambil tissue, kuseka lagi kedua mataku dan sebagian wilayah pipiku, sambil hatiku menertawai ketololanku, karena sekian lama memasak, masih belum fasih juga memotong bawang tanpa menangis.
“ Tolol, “ begitu lagi kata hatiku.
Sejak Mas Pramono yang menikahiku 10 tahun lalu pergi beberapa hari yang lalu, aku juga tidak menangis. Yang aku lakukan hanya melongo, melamun, dan melakukan napak tilas perjalanan hidupku selama 10 tahun terakhir ini bersamanya. Hanya karena aku dianggap tidak mampu memberikan keturunan kepadanya, sikapnya mulai berubah. Dari sangat manis dan romantis, terutama di awal pernikahan kami, sampai ke tindakan yang mulai cuek, sampai tidak memedulikan diriku sama sekali. Rumah dianggap tempat kost, dengan seenak hati dia datang dan pergi, tanpa kabar berita. Itu belum cukup, terakhir, yah…tepatnya tiga tahun terakhir ini, dia melakukan kekerasan padaku. Tidak cukup badanku yang lebam biru menahan pukulannya, namun yang terakhir dia menghantam wajahku, sehingga tidak mampu lagi kusembunyikan kenyataan itu. Yah, wajahku hancur, biru berantakan. Tak lain karena suamiku. Dia jadi makin gila, semenjak dia di-PHK perusahaan tempatnya bekerja. Dia melihatku sebagai pembawa sial dalam hidupnya, karena katanya semenjak menikah, dia tak pernah mengalami masa-masa jaya lagi, yang ada hanya kubangan kemelaratan yang menghinggapi diri kami.
“ Tolol! “ Lagi-lagi hatiku bergumam sendu.
Teringat masa-masa dulu, ketika tubuhku jadi sasaran tinju. Bukan lagi sasaran dan curahan kasih sayang, tapi aku tak lebih diperlakukan sebagai sparring partner bertinjunya? Atau stunt man ketika perkelahian di film-film laga terjadi. Aku sudah kenyang menangis semasa dulu, kenyang juga menertawakan kebodohan diriku, kenapa aku bisa sampai terbius cintanya dulu. Seolah aku tertipu, padahal ini bukan kawin paksa, juga bukan kawin ala Siti Nurbaya. Kami nikah atas dasar suka sama suka, dan tak hanya itu saja, kami juga pacaran, lima tahun lamanya.
“ Tolol!” Tak berhenti kuungkapkan hal itu…
Karena banyak kali aku menangis tak perlu. Ya, seperti menangis karena memotong bawang. Tapi itu terjadi juga. Seperti perkawinanku dengan Mas Pram. Sudah seharusnya aku mengetahui dan mengerti sikapnya selama berpacaran yang terlihat di mataku, dia memang kasar, suka menggunakan tindakan kekerasan terhadap orang di sekitarnya. Juga terhadap adik-adiknya. Tetapi, dengan kenaifanku, aku pikir dia bakal berubah. Apalagi, dia amat baik dan lembut padaku, tak pernah sekalipun dia melakukan kekerasan padaku. Belakangan baru kutahu, kalau dia kesal di rumah atau kesal kepadaku, dia melampiaskannya di rumahnya, kembali kepada adik-adiknya yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa.
Anggaplah ketololanku terbesar adalah karena kenaifanku. Anggaplah ketololanku karena cinta.
Cinta??? Ah, itu klise… Semua orang juga bilang cinta itu buta.
Atau cinta itu tidak buta? Hanya manusia yang mau dibutakan cinta?
Sekarang aku tak mau menangis lagi, sama seperti aku tak mau mengenangnya lagi. Biarkan dia pergi, biarkan dia jadi ketololanku di masa lalu.
“ Mas Prammm, kamu memang tolollll! Kamu tidak pernah mengerti isi hatiku dan betapa besar cintaku kepadamu.”
Dan ketika tanpa sengaja kumasuk ke kamar tidur kami, kulihat di laci ada hasil test lab yang menyatakan Mas Pram mandul dan tak mungkin mempunyai anak, aku tersenyum lebar, menyadari semua ketololan kami hanya karena hal ini.
Anak bukan segalanya bagiku, walaupun aku amat ingin menimang darah dagingku sendiri, buah cinta kami, tapi kalau hanya karena ini dia meninggalkanku, artinya dia belum cukup mengerti diriku.
“ Mas Prammm, kamu memang tolollll! Aku juga tolol. Kita sama-sama ditololkan keadaan dan dibutakan cinta.”
Kukupas bawang lagi, tanpa maksud apa-apa, cuma ingin menangis tanpa alasan. Biar aku bisa lepas dari beban hidupku sejenak karena hatiku sudah buta. Buta rasa, buta cinta. Kubutakan itu semua dan kutunggu Mas Pram dalam ketololanku. Tolol sekalipun, aku tetap cinta kamuuuu…
Singapore, 16 August 2009
-fon-
* tercipta di saat memasak dan mengupas bawang :P
“ Tolol,” begitu kata hatiku.
Tidak biasanya aku memaki diriku sendiri. Tapi saat ini, lagi-lagi mataku pedas dengan diiringi derai air mata yang mengucur deras, hanya karena mengupas dan memotong bawang. Tak terelakkan ketika bawang merah dan bawang Bombay itu kupotong-potong untuk keperluan memasak.
Menangis bukan hal yang sering kulakukan. Aku terlanjur membekukan hatiku. Mungkin karena aku sudah terluka parah, jadi perasaan-perasaan semacam ini kuanggap sepi saja. Tanpa arti.
Kuambil tissue, kuseka lagi kedua mataku dan sebagian wilayah pipiku, sambil hatiku menertawai ketololanku, karena sekian lama memasak, masih belum fasih juga memotong bawang tanpa menangis.
“ Tolol, “ begitu lagi kata hatiku.
Sejak Mas Pramono yang menikahiku 10 tahun lalu pergi beberapa hari yang lalu, aku juga tidak menangis. Yang aku lakukan hanya melongo, melamun, dan melakukan napak tilas perjalanan hidupku selama 10 tahun terakhir ini bersamanya. Hanya karena aku dianggap tidak mampu memberikan keturunan kepadanya, sikapnya mulai berubah. Dari sangat manis dan romantis, terutama di awal pernikahan kami, sampai ke tindakan yang mulai cuek, sampai tidak memedulikan diriku sama sekali. Rumah dianggap tempat kost, dengan seenak hati dia datang dan pergi, tanpa kabar berita. Itu belum cukup, terakhir, yah…tepatnya tiga tahun terakhir ini, dia melakukan kekerasan padaku. Tidak cukup badanku yang lebam biru menahan pukulannya, namun yang terakhir dia menghantam wajahku, sehingga tidak mampu lagi kusembunyikan kenyataan itu. Yah, wajahku hancur, biru berantakan. Tak lain karena suamiku. Dia jadi makin gila, semenjak dia di-PHK perusahaan tempatnya bekerja. Dia melihatku sebagai pembawa sial dalam hidupnya, karena katanya semenjak menikah, dia tak pernah mengalami masa-masa jaya lagi, yang ada hanya kubangan kemelaratan yang menghinggapi diri kami.
“ Tolol! “ Lagi-lagi hatiku bergumam sendu.
Teringat masa-masa dulu, ketika tubuhku jadi sasaran tinju. Bukan lagi sasaran dan curahan kasih sayang, tapi aku tak lebih diperlakukan sebagai sparring partner bertinjunya? Atau stunt man ketika perkelahian di film-film laga terjadi. Aku sudah kenyang menangis semasa dulu, kenyang juga menertawakan kebodohan diriku, kenapa aku bisa sampai terbius cintanya dulu. Seolah aku tertipu, padahal ini bukan kawin paksa, juga bukan kawin ala Siti Nurbaya. Kami nikah atas dasar suka sama suka, dan tak hanya itu saja, kami juga pacaran, lima tahun lamanya.
“ Tolol!” Tak berhenti kuungkapkan hal itu…
Karena banyak kali aku menangis tak perlu. Ya, seperti menangis karena memotong bawang. Tapi itu terjadi juga. Seperti perkawinanku dengan Mas Pram. Sudah seharusnya aku mengetahui dan mengerti sikapnya selama berpacaran yang terlihat di mataku, dia memang kasar, suka menggunakan tindakan kekerasan terhadap orang di sekitarnya. Juga terhadap adik-adiknya. Tetapi, dengan kenaifanku, aku pikir dia bakal berubah. Apalagi, dia amat baik dan lembut padaku, tak pernah sekalipun dia melakukan kekerasan padaku. Belakangan baru kutahu, kalau dia kesal di rumah atau kesal kepadaku, dia melampiaskannya di rumahnya, kembali kepada adik-adiknya yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa.
Anggaplah ketololanku terbesar adalah karena kenaifanku. Anggaplah ketololanku karena cinta.
Cinta??? Ah, itu klise… Semua orang juga bilang cinta itu buta.
Atau cinta itu tidak buta? Hanya manusia yang mau dibutakan cinta?
Sekarang aku tak mau menangis lagi, sama seperti aku tak mau mengenangnya lagi. Biarkan dia pergi, biarkan dia jadi ketololanku di masa lalu.
“ Mas Prammm, kamu memang tolollll! Kamu tidak pernah mengerti isi hatiku dan betapa besar cintaku kepadamu.”
Dan ketika tanpa sengaja kumasuk ke kamar tidur kami, kulihat di laci ada hasil test lab yang menyatakan Mas Pram mandul dan tak mungkin mempunyai anak, aku tersenyum lebar, menyadari semua ketololan kami hanya karena hal ini.
Anak bukan segalanya bagiku, walaupun aku amat ingin menimang darah dagingku sendiri, buah cinta kami, tapi kalau hanya karena ini dia meninggalkanku, artinya dia belum cukup mengerti diriku.
“ Mas Prammm, kamu memang tolollll! Aku juga tolol. Kita sama-sama ditololkan keadaan dan dibutakan cinta.”
Kukupas bawang lagi, tanpa maksud apa-apa, cuma ingin menangis tanpa alasan. Biar aku bisa lepas dari beban hidupku sejenak karena hatiku sudah buta. Buta rasa, buta cinta. Kubutakan itu semua dan kutunggu Mas Pram dalam ketololanku. Tolol sekalipun, aku tetap cinta kamuuuu…
Singapore, 16 August 2009
-fon-
* tercipta di saat memasak dan mengupas bawang :P
Thursday, August 13, 2009
Baik: Sebuah Keputusan
Ketika disakiti, tetaplah berbuat baik.
“ Bagaimana mungkin? Pengennya sih nonjok, bales, dan hancurin sekalian…”
Sesudah itu apa yang didapat dari melampiaskan emosimu?
“ Tidak banyak, cuma rasa lega.”
Betulkah hanya rasa lega? Adakah rasa lainnya?
“ Setelah leganya reda. Akan rasa bersalah yang besar. Karena terlalu emosional.”
Nah, itu dia…Ketika kamu terlalu emosional, kamu didominasi perasaan dan itu bisa berakibat fatal. Ketika kamu tidak lagi memakai akal budimu, sayang kan, kalau akibatnya terlanjur parah. Menyesal di kemudian hari tidak ada gunanya.
“ Tapi, biar saja. Aku rasa kepuasan itu akan sebanding dengan kehancuran musuhku yang kusaksikan dengan mataku sendiri. Lagian, ngapain sih tetep jadi orang baik? Jadi orang baik itu susah, gak ada untungnya, capek-capekin diri lagi. Mending jadi orang yang kurang baik, cenderung licik dan jahat sedikit, karena orang lain juga jahat, ngapain berbaik hati?”
Ketika keadaan tidak baik, tetaplah berharap dan setia.
“ Ini lagi, ngapain juga tetep berharap dan setia? Bukannya harusnya cuek aja? Kalo keadaan lagi gak baik, jadilah agak ‘licin’, biar bisa merubah keadaan jadi baik. ‘Kan keuntungan sendiri juga yang dicari. Gak usah pusingin yang lain…”
Berbuat baiklah kepada semua orang, seolah kamu melakukannya untuk Tuhan.
“ Stop…Stop! Baik itu apa sih sebetulnya? Definisi baik itu apa selalu seragam? Bukannya penjahat sekalipun, mungkin adalah orang baik bagi keluarganya. Pencuri itulah yang memberi makan anak-istrinya. Jadi, apa yang baik dan kurang baik menurut seseorang, mungkin berbeda dengan apa yang dianggap tidak baik oleh orang lain. Satu lagi neh, untuk Tuhan? Emangnya Tuhan bakal melihat hasil karya kamu? Jadi, balaslah sesekali kalau diperlakukan tidak adil. Ngapain kamu nrimo kayak gitu? Gak seharusnya, tauuu…”
Perang dalam diri terus berlanjut. Memang untuk berbuat baik, tidak selalu mudah, tidak selalu mungkin. Setelah dijahati sekian ratus kali, atau ribuan kali, dan dihadapkan pada pilihan untuk berbuat baik atau tidak, tentunya orang akan mengalami kesulitan.
Ketika melihat contoh yang kurang baik dari orang yang diteladani dan di’tua’kan, cenderung yang lebih muda yang belum begitu mengerti, akan meniru dan mengira itulah yang terbaik.
Padahal? Mereka belum tentu benar.
Definisi baik dan tidak baik dalam diri dan kaca mata seseorang mungkin berbeda. Namun, apabila dia keluar dari tempurungnya, akan didapati bahwa ada kebenaran universal tentang kebaikan yang tak tergoyahkan. Ada sebuah benang merah yang selalu didapati dari mengamati suatu kebaikan. Ada ketulusan, keikhlasan, penerimaan, pengampunan, kasih, dan kekuatan untuk melangkah di masa yang akan datang dengan senyuman. Hanya karena memilih melakukan kebaikan.
Pernah, seorang teman bercerita, seorang sopir taksi menolong korban kecelakaan, dan akhirnya perbuatan baiknya tidak dihargai, malahan dikira si sopir taksi lah yang menabrak sang korban. Pada kondisi demikian, dilema terjadi. Bila dihadapkan pada orang yang memerlukan pertolongan, masih haruskah kita memberikan bantuan? Atau mendingan cari amannya saja? Daripada nanti dikira kita adalah tersangka?
‘Play safe’ memang aman. Namun, bila hati bicara jujur dalam kebenaran dan kebaikan, akankah dia menolak melakukan kebaikan?
Kebaikan yang universal juga ada dalam faham yang benar tentang Sang Pencipta. Bahwa Dia dengan kebaikannya, tidak pernah tidak adil. Dia memberikan hal yang sama bagi orang yang baik ataupun yang jahat. Nafas kehidupan, angin, sinar matahari, dan segala fenomena alam. Ketika terasa dunia tidak memperlakukan kita dengan adil, tidak memperlakukan kita dengan baik, mungkin ini saatnya merefleksikan dalam diri kita sendiri, ada apa yang salah dengan diriku? Ada apa yang tidak beres denganku sehingga selalu merasa tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya.
Apakah itu luka di masa lalu? Atau kepahitan yang begitu membekas seolah takkan bisa lagi mengecap manisnya dunia? Perasaan tertolak, perasaan seolah diri adalah korban kehidupan yang lahir dari sebuah kesalahan.
Ataukah derita tak kunjung usai yang rasanya melebihi kekuatan sehingga membuat diri hampir gila, frustrasi, dan stress setengah mati?
Tuhan itu baik. Hidup itu baik. Saya terlahir baik adanya.
Kalaupun kelahiranmu adalah ‘kesalahan’ di masa lalu, ini saatnya mempercayakan kepada-Nya, bahwa dalam kesalahan sekalipun, ada kebaikan juga. Bahwa dirimu yang lahir ke dunia ini, tidak pernah tidak diharapkan-Nya. Dia menuliskan segala sesuatunya dalam buku kehidupanmu.
Tuhan itu baik. Hidup itu baik. Saya percaya hidup saya penuh kebaikan dan saya akan mempraktekkan lebih banyak kebaikan bagi sekitar saya. Bagi dunia.
Dunia ini sakit, dunia perlu banyak kebaikan dari orang-orang yang memilih untuk menyadarinya, keluar dari kesakitannya dan tetap memilih berbuat baik.
Berbuat baik adalah pilihan.
Di antara baik dan jahat, ketika harus memilih…
Pilihlah yang baik.
“Baiklah… Kalau memang berbuat baik itu yang terbaik, maka aku memilih berbuat baik.”
Nah, gitu dong… Dalam kesakitan, dalam kepedihan, jangan berhenti berbuat baik.
Biarpun dilukai oleh orang yang dicintai sekalipun, jangan berhenti melakukan kebaikan.
Mungkin saat ini kebaikanmu tampaknya sia-sia, tak ada guna. Namun, suatu saat nanti, kau bisa melihat bahwa memang tidak pernah ada ruginya berbuat baik.
Well, well, well…Kebaikan bukan masalah untung rugi. Kayak bisnis aja… Ini masalah hati, masalah pilihan, masalah suara hati yang melangkah jujur untuk tetap bersih dari noda kejahatan.
“ Manusia kan kadang bisa berbuat jahat juga, kan gak bisa 100% baik terus.”
Betul, memang manusia tak sempurna. Tak mampu berbuat baik terus 100%. Tetapi ketika kau tak pernah berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kebaikan, kapan kebaikan itu sendiri akan tercapai?
Apa yang kita pikir terbaik, belum tentu di mata orang lain juga yang terbaik. Tapi, so what geto lho? Yang penting kita sudah lakukan yang terbaik yang kita bisa.
I’ve done my best, let God do the rest…
Singapore, 14 August 2009
-fon-
* yang sedang dalam kondisi hati yang kurang baik, namun tetap memutuskan untuk berbuat baik. Yipiieee! Sekarang mood-ku udah baik lagi…:)
“ Bagaimana mungkin? Pengennya sih nonjok, bales, dan hancurin sekalian…”
Sesudah itu apa yang didapat dari melampiaskan emosimu?
“ Tidak banyak, cuma rasa lega.”
Betulkah hanya rasa lega? Adakah rasa lainnya?
“ Setelah leganya reda. Akan rasa bersalah yang besar. Karena terlalu emosional.”
Nah, itu dia…Ketika kamu terlalu emosional, kamu didominasi perasaan dan itu bisa berakibat fatal. Ketika kamu tidak lagi memakai akal budimu, sayang kan, kalau akibatnya terlanjur parah. Menyesal di kemudian hari tidak ada gunanya.
“ Tapi, biar saja. Aku rasa kepuasan itu akan sebanding dengan kehancuran musuhku yang kusaksikan dengan mataku sendiri. Lagian, ngapain sih tetep jadi orang baik? Jadi orang baik itu susah, gak ada untungnya, capek-capekin diri lagi. Mending jadi orang yang kurang baik, cenderung licik dan jahat sedikit, karena orang lain juga jahat, ngapain berbaik hati?”
Ketika keadaan tidak baik, tetaplah berharap dan setia.
“ Ini lagi, ngapain juga tetep berharap dan setia? Bukannya harusnya cuek aja? Kalo keadaan lagi gak baik, jadilah agak ‘licin’, biar bisa merubah keadaan jadi baik. ‘Kan keuntungan sendiri juga yang dicari. Gak usah pusingin yang lain…”
Berbuat baiklah kepada semua orang, seolah kamu melakukannya untuk Tuhan.
“ Stop…Stop! Baik itu apa sih sebetulnya? Definisi baik itu apa selalu seragam? Bukannya penjahat sekalipun, mungkin adalah orang baik bagi keluarganya. Pencuri itulah yang memberi makan anak-istrinya. Jadi, apa yang baik dan kurang baik menurut seseorang, mungkin berbeda dengan apa yang dianggap tidak baik oleh orang lain. Satu lagi neh, untuk Tuhan? Emangnya Tuhan bakal melihat hasil karya kamu? Jadi, balaslah sesekali kalau diperlakukan tidak adil. Ngapain kamu nrimo kayak gitu? Gak seharusnya, tauuu…”
Perang dalam diri terus berlanjut. Memang untuk berbuat baik, tidak selalu mudah, tidak selalu mungkin. Setelah dijahati sekian ratus kali, atau ribuan kali, dan dihadapkan pada pilihan untuk berbuat baik atau tidak, tentunya orang akan mengalami kesulitan.
Ketika melihat contoh yang kurang baik dari orang yang diteladani dan di’tua’kan, cenderung yang lebih muda yang belum begitu mengerti, akan meniru dan mengira itulah yang terbaik.
Padahal? Mereka belum tentu benar.
Definisi baik dan tidak baik dalam diri dan kaca mata seseorang mungkin berbeda. Namun, apabila dia keluar dari tempurungnya, akan didapati bahwa ada kebenaran universal tentang kebaikan yang tak tergoyahkan. Ada sebuah benang merah yang selalu didapati dari mengamati suatu kebaikan. Ada ketulusan, keikhlasan, penerimaan, pengampunan, kasih, dan kekuatan untuk melangkah di masa yang akan datang dengan senyuman. Hanya karena memilih melakukan kebaikan.
Pernah, seorang teman bercerita, seorang sopir taksi menolong korban kecelakaan, dan akhirnya perbuatan baiknya tidak dihargai, malahan dikira si sopir taksi lah yang menabrak sang korban. Pada kondisi demikian, dilema terjadi. Bila dihadapkan pada orang yang memerlukan pertolongan, masih haruskah kita memberikan bantuan? Atau mendingan cari amannya saja? Daripada nanti dikira kita adalah tersangka?
‘Play safe’ memang aman. Namun, bila hati bicara jujur dalam kebenaran dan kebaikan, akankah dia menolak melakukan kebaikan?
Kebaikan yang universal juga ada dalam faham yang benar tentang Sang Pencipta. Bahwa Dia dengan kebaikannya, tidak pernah tidak adil. Dia memberikan hal yang sama bagi orang yang baik ataupun yang jahat. Nafas kehidupan, angin, sinar matahari, dan segala fenomena alam. Ketika terasa dunia tidak memperlakukan kita dengan adil, tidak memperlakukan kita dengan baik, mungkin ini saatnya merefleksikan dalam diri kita sendiri, ada apa yang salah dengan diriku? Ada apa yang tidak beres denganku sehingga selalu merasa tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya.
Apakah itu luka di masa lalu? Atau kepahitan yang begitu membekas seolah takkan bisa lagi mengecap manisnya dunia? Perasaan tertolak, perasaan seolah diri adalah korban kehidupan yang lahir dari sebuah kesalahan.
Ataukah derita tak kunjung usai yang rasanya melebihi kekuatan sehingga membuat diri hampir gila, frustrasi, dan stress setengah mati?
Tuhan itu baik. Hidup itu baik. Saya terlahir baik adanya.
Kalaupun kelahiranmu adalah ‘kesalahan’ di masa lalu, ini saatnya mempercayakan kepada-Nya, bahwa dalam kesalahan sekalipun, ada kebaikan juga. Bahwa dirimu yang lahir ke dunia ini, tidak pernah tidak diharapkan-Nya. Dia menuliskan segala sesuatunya dalam buku kehidupanmu.
Tuhan itu baik. Hidup itu baik. Saya percaya hidup saya penuh kebaikan dan saya akan mempraktekkan lebih banyak kebaikan bagi sekitar saya. Bagi dunia.
Dunia ini sakit, dunia perlu banyak kebaikan dari orang-orang yang memilih untuk menyadarinya, keluar dari kesakitannya dan tetap memilih berbuat baik.
Berbuat baik adalah pilihan.
Di antara baik dan jahat, ketika harus memilih…
Pilihlah yang baik.
“Baiklah… Kalau memang berbuat baik itu yang terbaik, maka aku memilih berbuat baik.”
Nah, gitu dong… Dalam kesakitan, dalam kepedihan, jangan berhenti berbuat baik.
Biarpun dilukai oleh orang yang dicintai sekalipun, jangan berhenti melakukan kebaikan.
Mungkin saat ini kebaikanmu tampaknya sia-sia, tak ada guna. Namun, suatu saat nanti, kau bisa melihat bahwa memang tidak pernah ada ruginya berbuat baik.
Well, well, well…Kebaikan bukan masalah untung rugi. Kayak bisnis aja… Ini masalah hati, masalah pilihan, masalah suara hati yang melangkah jujur untuk tetap bersih dari noda kejahatan.
“ Manusia kan kadang bisa berbuat jahat juga, kan gak bisa 100% baik terus.”
Betul, memang manusia tak sempurna. Tak mampu berbuat baik terus 100%. Tetapi ketika kau tak pernah berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kebaikan, kapan kebaikan itu sendiri akan tercapai?
Apa yang kita pikir terbaik, belum tentu di mata orang lain juga yang terbaik. Tapi, so what geto lho? Yang penting kita sudah lakukan yang terbaik yang kita bisa.
I’ve done my best, let God do the rest…
Singapore, 14 August 2009
-fon-
* yang sedang dalam kondisi hati yang kurang baik, namun tetap memutuskan untuk berbuat baik. Yipiieee! Sekarang mood-ku udah baik lagi…:)
Wednesday, August 12, 2009
R-E-S-T
source: http://images.paraorkut.com/img/pics/glitters/s/sleepy-8992.jpg
You have to sleep… That’s what my heart said…
But how? Another side of my heart was asking how to do it…
Just close your eyes.
It’s as simple as that…
When we should’ve taken a rest, we think
When we should’ve taken a rest, we play games
When we should’ve taken a rest, we browse internet
When we should’ve taken a rest, we watch TV
We don’t do what we should
Until one day …
We feel so tired.
We feel fatigue
No strength at all
To carry on with our activities
To work, to study, or even to play.
We’re too exhausted
Take a rest, while we should
Take a nap, if you could
Take an early sleep if you could
Even in God, we need to take a good rest in Him
We need to feel relax with Him
And then feel His presence
Then slowly feel the comfort of being loved by Him.
We need a break, we need a rest.
Even the busiest professional needs a break, a holiday…
Then only, he will have enough strength to perform better.
If you’re so tired today.
Take a rest.
If your soul feels so tired as well.
Find Him and rest your soul in Him.
Then you’ll find peace…
The unthinkable but yet wonderful serenity
Will come to you.
We all need a rest.
In order to get fresh
In welcoming a new day.
Singapore, August 13, 2009
-fon-
* zzzzzzzzzzzzzzzzz…….ngantukkk…..bobok yukkk……
You have to sleep… That’s what my heart said…
But how? Another side of my heart was asking how to do it…
Just close your eyes.
It’s as simple as that…
When we should’ve taken a rest, we think
When we should’ve taken a rest, we play games
When we should’ve taken a rest, we browse internet
When we should’ve taken a rest, we watch TV
We don’t do what we should
Until one day …
We feel so tired.
We feel fatigue
No strength at all
To carry on with our activities
To work, to study, or even to play.
We’re too exhausted
Take a rest, while we should
Take a nap, if you could
Take an early sleep if you could
Even in God, we need to take a good rest in Him
We need to feel relax with Him
And then feel His presence
Then slowly feel the comfort of being loved by Him.
We need a break, we need a rest.
Even the busiest professional needs a break, a holiday…
Then only, he will have enough strength to perform better.
If you’re so tired today.
Take a rest.
If your soul feels so tired as well.
Find Him and rest your soul in Him.
Then you’ll find peace…
The unthinkable but yet wonderful serenity
Will come to you.
We all need a rest.
In order to get fresh
In welcoming a new day.
Singapore, August 13, 2009
-fon-
* zzzzzzzzzzzzzzzzz…….ngantukkk…..bobok yukkk……
Bajaj (Badai) Pasti Berlalu
Enggak ada hubungan langsung antara bajaj dan badai. Hanya karena rima-nya sama, ending kata di ujung sono, makanya aku suka mlesetin bajaj dan badai. Eniwei, pas balik Jakarta dan ngeliat bajaj, dan ngasih tau ke anakku, tiba-tiba inget aja nih istilah…
Aku inget, pas lagi ngadepin masa-masa yang gak mudah. Masa-masa di mana kayaknya badai gak henti dateng bertubi-tubi. Angin topan, tornado, badai, ampe typhoon Morokot bersatu padu menghadang dan menyerang hidupku. Bukan satu per satu, terkadang sekaligus. Aku gak bisa ngapa-ngapain. Kecuali berdoa. Ada waktunya juga pas aku berusaha keluar dari persembunyianku dan melakukan sesuatu. Tetapi, kayaknya gak pas deh momen-nya. Pas aku keluar rumah, tuh badai menerpa lagi. Aduhh…musti bagaimana ini?
Enggak tau juga gimana, akhirnya pelan-pelan tuh badai berlalu juga. Kadang cepat, kadang lambat. Kadang berasa tanpa akhir, tapi tanpa sadar tiba-tiba berakhir. Entahlah, yang pasti…di saat bajaj eh badai dateng, aku berusaha lakuin yang aku bisa. Usaha mah tetep atuh! Tapi kadang-kadang udah usaha sekuat tenaga, tuh badai masih aje menclok dengan betahnya di sana. Bingung? Bingung dahhh…
Kutunjukkan ke Audrey, “ Itu bajaj…”
Dan lagi-lagi kusadari, kalo bajaj itu juga muter-muter. Emang seh, ada saatnya tuh bajaj capekk ato tukangnya yang capek yah, dan butuh istirahat. Abis itu, cabut lagi deh tuh bajaj. Jadi prinsipnya gak jauh beda juga, tuh bajaj bakal berlalu hihihi…maksaaaa….:P
Akhirnya, seburuk apa pun badai kehidupan yang lagi melanda. Ada waktunya tuh badai bakal berlalu juga. Enggak sekarang, yah minggu depan. Enggak minggu depan, yah bulan depan. Enggak bulan depan, yah tahun depan. Sebetulnya, selama masih hidup dan masih dikasih kesempatan buat ngadepin tuh badai, actually…kita masih musti bersyukur, ya gak?
Badai or bajaj or busway, pasti berlalu… Nah, lebih gak nyambung lagi kan..? Hehe… Yang pasti… Sebesar apa pun badai, tsunami sekali pun, satu saat bakal reda. Gak bakalan hidup itu melulu yang ada badaiii aje… Kagak ada tenangnya… Dan gak mungkin juga, hidup itu melulu tenanggg terus, sesekali ada badai, letusan gunung, tanah longsor… Halah! Tambah ngaco…
Yah udah.. Lagi be te ama bajaj? Lagi be tea ma badai? Ntar juga berlalu…. So, tenang aja. Gak usah terlalu panik.. Yah, kalo dah terlanjur panik, apa boleh buat… masih ada waktu buat stay cool and peace mannn!
Singapore, 11 August 2009
-fon-
* yang bukan penggemar bajaj, tapi sempet menikmati masa-masa sering naik bajaj di Jakarta dulu…
Aku inget, pas lagi ngadepin masa-masa yang gak mudah. Masa-masa di mana kayaknya badai gak henti dateng bertubi-tubi. Angin topan, tornado, badai, ampe typhoon Morokot bersatu padu menghadang dan menyerang hidupku. Bukan satu per satu, terkadang sekaligus. Aku gak bisa ngapa-ngapain. Kecuali berdoa. Ada waktunya juga pas aku berusaha keluar dari persembunyianku dan melakukan sesuatu. Tetapi, kayaknya gak pas deh momen-nya. Pas aku keluar rumah, tuh badai menerpa lagi. Aduhh…musti bagaimana ini?
Enggak tau juga gimana, akhirnya pelan-pelan tuh badai berlalu juga. Kadang cepat, kadang lambat. Kadang berasa tanpa akhir, tapi tanpa sadar tiba-tiba berakhir. Entahlah, yang pasti…di saat bajaj eh badai dateng, aku berusaha lakuin yang aku bisa. Usaha mah tetep atuh! Tapi kadang-kadang udah usaha sekuat tenaga, tuh badai masih aje menclok dengan betahnya di sana. Bingung? Bingung dahhh…
Kutunjukkan ke Audrey, “ Itu bajaj…”
Dan lagi-lagi kusadari, kalo bajaj itu juga muter-muter. Emang seh, ada saatnya tuh bajaj capekk ato tukangnya yang capek yah, dan butuh istirahat. Abis itu, cabut lagi deh tuh bajaj. Jadi prinsipnya gak jauh beda juga, tuh bajaj bakal berlalu hihihi…maksaaaa….:P
Akhirnya, seburuk apa pun badai kehidupan yang lagi melanda. Ada waktunya tuh badai bakal berlalu juga. Enggak sekarang, yah minggu depan. Enggak minggu depan, yah bulan depan. Enggak bulan depan, yah tahun depan. Sebetulnya, selama masih hidup dan masih dikasih kesempatan buat ngadepin tuh badai, actually…kita masih musti bersyukur, ya gak?
Badai or bajaj or busway, pasti berlalu… Nah, lebih gak nyambung lagi kan..? Hehe… Yang pasti… Sebesar apa pun badai, tsunami sekali pun, satu saat bakal reda. Gak bakalan hidup itu melulu yang ada badaiii aje… Kagak ada tenangnya… Dan gak mungkin juga, hidup itu melulu tenanggg terus, sesekali ada badai, letusan gunung, tanah longsor… Halah! Tambah ngaco…
Yah udah.. Lagi be te ama bajaj? Lagi be tea ma badai? Ntar juga berlalu…. So, tenang aja. Gak usah terlalu panik.. Yah, kalo dah terlanjur panik, apa boleh buat… masih ada waktu buat stay cool and peace mannn!
Singapore, 11 August 2009
-fon-
* yang bukan penggemar bajaj, tapi sempet menikmati masa-masa sering naik bajaj di Jakarta dulu…
Monday, August 10, 2009
Dalam Perjalanan ke Raffles City
Malam ini aku menjumpai seorang temanku. Teman lama, teman akrab, saat berada di Jakarta. Dia tengah berada di Singapura untuk urusan pekerjaan. Dan kami berjumpa. Dalam ruang dan waktu yang berbeda, dalam peran dan situasi yang berbeda pula. Namun, kurasakan kasih dan kehangatan yang sama, yang lahir dari ketulusan sebuah persahabatan.
Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan kami di Raffles City. Mataku menangkap irama gempitanya Singapura yang baru merayakan hari kemerdekaan yang ke-44. Yes, the National Day parade baru saja berakhir semalam, ketika kusampai di negeri singa ini. Negeri yang menjadi tempatku bermukim selama 2.5 tahun terakhir.
Singapura memang indah. Kalau yang dilihat dari kualitas hidup dan kemegahan seluruh kota, yang ada hanya indah, rapi, bersih teratur. Seluruh sistem sudah tertata rapi. Memang tinggal di negara yang sudah rapi jail ini, amat mudah. MRT dan bus system yang luar biasa mudahnya. Belum lagi, internet connection yang canggih dengan segala info yang diperlukan, kuingat saat hendak memotong rambut, aku langsung saja search di internet, dan salon-salon plus harga potong dan hair stylist-nya bermunculan. Begitu pula dengan belanja groceries online, di sini bisa dengan mudah. Dan restaurant yang terbaik sampai hawker center, semua juga bisa didapatkan infonya. Segala ada. Tak heran Singapura dijuluki sebagai the most wired nation, dengan persentase pengguna internet sekitar 99%. Ini info yang didapat dari harian the Strait Times.
Singapura memang indah, rapi, teratur, berkualitas. Sekaligus sisi lain yang sering ditanyakan orang kepada saya: “ Apa gak bosen elo tinggal di Singapore?”
Sejujurnya, ada rasa kebosanan juga sih. Karena dalam segala keteraturan dan kerapian itu, juga ada irama monoton yang selalu sama ritmenya.
Belum lagi, beberapa kali mata saya menangkap ada rasa persaingan yang kuat di sini, segala sesuatu terburu-buru. Berjalan di tangga eskalator, meskipun eskalatornya tengah jalan, adalah hal biasa. Time is money, membuat para pengemudi taksi, karyawan food court, menjadi kurang ramah. Atau itu memang kebiasaannya? Entahlah.
Dalam pertemuan dengan sahabat saya tadi, dia mengisahkan kalau dia agak ‘dimaki-maki’ oleh seorang sopir taksi. Dan itu juga bukan pengalaman pertama yang saya dengar. Saya memang belum betul-betul mengalaminya, namun sering mendengar kalau salah informasi, atau salah sedikit saja, mereka terkadang bisa betul-betul jutek…
Hal yang agak disayangkan… Tapi mo’ apa lagi. Bukannya ini Singapura? Dengan banyak kelebihannya namun juga ada kekurangannya.
Mata saya pun menangkap banyak kesepian dan kesendirian di sini. Orang tua bekerja sampai cukup tua, mendekati 70 tahun, itu umur pensiunan di sini. Dan terkadang, saya dengar, saat tua, mereka terkadang tidak diperhatikan anak-anaknya lagi. Tetapi tentu saja, saya tak ingin meng-generalisasi, tentunya banyak juga anak-anak yang baik hati yang memperhatikan orang tuanya. Namun, rasa kesepian di tengah keramaian, tetap ada. Belum lagi, di MRT atau bus, orang sibuk sendiri dengan kegiatannya: denger IPOD, maen game, maenan HP, baca koran-majalah, dll. Sehingga kurang memperhatikan kebutuhan orang lain yang membutuhkan tempat duduk misalnya.
Ah, di tengah semua kemilaunya keindahan yang ditawarkan dunia, tentunya ada ketidaksempurnaan juga. Di Indonesia, banyak yang sering complain, khususnya bagi mereka yang tinggal di Jakarta: macet, banjir, tidak aman, polusi, rokok, dsb. Yang itu semua tidak saya jumpai di negara rapi teratur seperti Singapura. Namun, di balik kejelekan yang tampak di depan mata banyak orang, Jakarta tetap menawarkan persahabatan, kehangatan, dan keindahan (khususnya di daerah Thamrin-Sudirman yang semakin cantik dibenahi), dan keragaman kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan.
Dalam perjalanan ke Raffles City malam ini, saya bersyukur untuk hari-hari saya di Singapura. Sebagian bukan merupakan hari-hari yang mudah dengan segala adaptasinya. But, I will survive! Ini kan cuma Singapore, no big deal.. Ngomong bahasa Endonesa aja idup koq…:)
Bersyukur untuk sekedar mencicipi manisnya sekaligus pahitnya hidup di negeri orang. Yang sebentar lagi akan bergeser, ke Vietnam. Untuk petualangan dan perjalanan yang baru di sana.
I don’t know what His Plans are but a lot of people ask me: “ Why Vietnam?” (in amazed and sometimes shocking eyes…). But if it’s God’s plan for me, I would say: “Why not?”
Kenapa nggak? Di luar lautan motor yang melebihi Jakarta dan kendala bahasa, ada makanan yang asik punya, the beauty of its nature, dan belajar hidup di negara baru.
Jelas, adaptasi tak pernah mudah. Sebagai seseorang yang selalu merencanakan segala sesuatunya secara sempurna dulu, saya belajar untuk mempercayakan perencanaan hidup saya kepada Tuhan sekarang ini.
Sehingga, di mana pun saya ditempatkan, saya tidak lagi bertanya:” Why this country, God?”, tetapi: “ Why not? God will prepare something for me in this country.”
Proses pembelajaran yang baru di negeri yang baru pula.
Looking forward for another ‘amazing race’ (meminjam istilah keponakan saya untuk hidup yang pindah-pindah), in Vietnam.
Singapore, 11 August 2009
-fon-
* thanking God for what He has done in my life.
Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan kami di Raffles City. Mataku menangkap irama gempitanya Singapura yang baru merayakan hari kemerdekaan yang ke-44. Yes, the National Day parade baru saja berakhir semalam, ketika kusampai di negeri singa ini. Negeri yang menjadi tempatku bermukim selama 2.5 tahun terakhir.
Singapura memang indah. Kalau yang dilihat dari kualitas hidup dan kemegahan seluruh kota, yang ada hanya indah, rapi, bersih teratur. Seluruh sistem sudah tertata rapi. Memang tinggal di negara yang sudah rapi jail ini, amat mudah. MRT dan bus system yang luar biasa mudahnya. Belum lagi, internet connection yang canggih dengan segala info yang diperlukan, kuingat saat hendak memotong rambut, aku langsung saja search di internet, dan salon-salon plus harga potong dan hair stylist-nya bermunculan. Begitu pula dengan belanja groceries online, di sini bisa dengan mudah. Dan restaurant yang terbaik sampai hawker center, semua juga bisa didapatkan infonya. Segala ada. Tak heran Singapura dijuluki sebagai the most wired nation, dengan persentase pengguna internet sekitar 99%. Ini info yang didapat dari harian the Strait Times.
Singapura memang indah, rapi, teratur, berkualitas. Sekaligus sisi lain yang sering ditanyakan orang kepada saya: “ Apa gak bosen elo tinggal di Singapore?”
Sejujurnya, ada rasa kebosanan juga sih. Karena dalam segala keteraturan dan kerapian itu, juga ada irama monoton yang selalu sama ritmenya.
Belum lagi, beberapa kali mata saya menangkap ada rasa persaingan yang kuat di sini, segala sesuatu terburu-buru. Berjalan di tangga eskalator, meskipun eskalatornya tengah jalan, adalah hal biasa. Time is money, membuat para pengemudi taksi, karyawan food court, menjadi kurang ramah. Atau itu memang kebiasaannya? Entahlah.
Dalam pertemuan dengan sahabat saya tadi, dia mengisahkan kalau dia agak ‘dimaki-maki’ oleh seorang sopir taksi. Dan itu juga bukan pengalaman pertama yang saya dengar. Saya memang belum betul-betul mengalaminya, namun sering mendengar kalau salah informasi, atau salah sedikit saja, mereka terkadang bisa betul-betul jutek…
Hal yang agak disayangkan… Tapi mo’ apa lagi. Bukannya ini Singapura? Dengan banyak kelebihannya namun juga ada kekurangannya.
Mata saya pun menangkap banyak kesepian dan kesendirian di sini. Orang tua bekerja sampai cukup tua, mendekati 70 tahun, itu umur pensiunan di sini. Dan terkadang, saya dengar, saat tua, mereka terkadang tidak diperhatikan anak-anaknya lagi. Tetapi tentu saja, saya tak ingin meng-generalisasi, tentunya banyak juga anak-anak yang baik hati yang memperhatikan orang tuanya. Namun, rasa kesepian di tengah keramaian, tetap ada. Belum lagi, di MRT atau bus, orang sibuk sendiri dengan kegiatannya: denger IPOD, maen game, maenan HP, baca koran-majalah, dll. Sehingga kurang memperhatikan kebutuhan orang lain yang membutuhkan tempat duduk misalnya.
Ah, di tengah semua kemilaunya keindahan yang ditawarkan dunia, tentunya ada ketidaksempurnaan juga. Di Indonesia, banyak yang sering complain, khususnya bagi mereka yang tinggal di Jakarta: macet, banjir, tidak aman, polusi, rokok, dsb. Yang itu semua tidak saya jumpai di negara rapi teratur seperti Singapura. Namun, di balik kejelekan yang tampak di depan mata banyak orang, Jakarta tetap menawarkan persahabatan, kehangatan, dan keindahan (khususnya di daerah Thamrin-Sudirman yang semakin cantik dibenahi), dan keragaman kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan.
Dalam perjalanan ke Raffles City malam ini, saya bersyukur untuk hari-hari saya di Singapura. Sebagian bukan merupakan hari-hari yang mudah dengan segala adaptasinya. But, I will survive! Ini kan cuma Singapore, no big deal.. Ngomong bahasa Endonesa aja idup koq…:)
Bersyukur untuk sekedar mencicipi manisnya sekaligus pahitnya hidup di negeri orang. Yang sebentar lagi akan bergeser, ke Vietnam. Untuk petualangan dan perjalanan yang baru di sana.
I don’t know what His Plans are but a lot of people ask me: “ Why Vietnam?” (in amazed and sometimes shocking eyes…). But if it’s God’s plan for me, I would say: “Why not?”
Kenapa nggak? Di luar lautan motor yang melebihi Jakarta dan kendala bahasa, ada makanan yang asik punya, the beauty of its nature, dan belajar hidup di negara baru.
Jelas, adaptasi tak pernah mudah. Sebagai seseorang yang selalu merencanakan segala sesuatunya secara sempurna dulu, saya belajar untuk mempercayakan perencanaan hidup saya kepada Tuhan sekarang ini.
Sehingga, di mana pun saya ditempatkan, saya tidak lagi bertanya:” Why this country, God?”, tetapi: “ Why not? God will prepare something for me in this country.”
Proses pembelajaran yang baru di negeri yang baru pula.
Looking forward for another ‘amazing race’ (meminjam istilah keponakan saya untuk hidup yang pindah-pindah), in Vietnam.
Singapore, 11 August 2009
-fon-
* thanking God for what He has done in my life.
Subscribe to:
Posts (Atom)