Sunday, August 16, 2009

Tangisan Bawang

*** cerpen

“ Tolol,” begitu kata hatiku.

Tidak biasanya aku memaki diriku sendiri. Tapi saat ini, lagi-lagi mataku pedas dengan diiringi derai air mata yang mengucur deras, hanya karena mengupas dan memotong bawang. Tak terelakkan ketika bawang merah dan bawang Bombay itu kupotong-potong untuk keperluan memasak.
Menangis bukan hal yang sering kulakukan. Aku terlanjur membekukan hatiku. Mungkin karena aku sudah terluka parah, jadi perasaan-perasaan semacam ini kuanggap sepi saja. Tanpa arti.
Kuambil tissue, kuseka lagi kedua mataku dan sebagian wilayah pipiku, sambil hatiku menertawai ketololanku, karena sekian lama memasak, masih belum fasih juga memotong bawang tanpa menangis.

“ Tolol, “ begitu lagi kata hatiku.

Sejak Mas Pramono yang menikahiku 10 tahun lalu pergi beberapa hari yang lalu, aku juga tidak menangis. Yang aku lakukan hanya melongo, melamun, dan melakukan napak tilas perjalanan hidupku selama 10 tahun terakhir ini bersamanya. Hanya karena aku dianggap tidak mampu memberikan keturunan kepadanya, sikapnya mulai berubah. Dari sangat manis dan romantis, terutama di awal pernikahan kami, sampai ke tindakan yang mulai cuek, sampai tidak memedulikan diriku sama sekali. Rumah dianggap tempat kost, dengan seenak hati dia datang dan pergi, tanpa kabar berita. Itu belum cukup, terakhir, yah…tepatnya tiga tahun terakhir ini, dia melakukan kekerasan padaku. Tidak cukup badanku yang lebam biru menahan pukulannya, namun yang terakhir dia menghantam wajahku, sehingga tidak mampu lagi kusembunyikan kenyataan itu. Yah, wajahku hancur, biru berantakan. Tak lain karena suamiku. Dia jadi makin gila, semenjak dia di-PHK perusahaan tempatnya bekerja. Dia melihatku sebagai pembawa sial dalam hidupnya, karena katanya semenjak menikah, dia tak pernah mengalami masa-masa jaya lagi, yang ada hanya kubangan kemelaratan yang menghinggapi diri kami.

“ Tolol! “ Lagi-lagi hatiku bergumam sendu.

Teringat masa-masa dulu, ketika tubuhku jadi sasaran tinju. Bukan lagi sasaran dan curahan kasih sayang, tapi aku tak lebih diperlakukan sebagai sparring partner bertinjunya? Atau stunt man ketika perkelahian di film-film laga terjadi. Aku sudah kenyang menangis semasa dulu, kenyang juga menertawakan kebodohan diriku, kenapa aku bisa sampai terbius cintanya dulu. Seolah aku tertipu, padahal ini bukan kawin paksa, juga bukan kawin ala Siti Nurbaya. Kami nikah atas dasar suka sama suka, dan tak hanya itu saja, kami juga pacaran, lima tahun lamanya.

“ Tolol!” Tak berhenti kuungkapkan hal itu…

Karena banyak kali aku menangis tak perlu. Ya, seperti menangis karena memotong bawang. Tapi itu terjadi juga. Seperti perkawinanku dengan Mas Pram. Sudah seharusnya aku mengetahui dan mengerti sikapnya selama berpacaran yang terlihat di mataku, dia memang kasar, suka menggunakan tindakan kekerasan terhadap orang di sekitarnya. Juga terhadap adik-adiknya. Tetapi, dengan kenaifanku, aku pikir dia bakal berubah. Apalagi, dia amat baik dan lembut padaku, tak pernah sekalipun dia melakukan kekerasan padaku. Belakangan baru kutahu, kalau dia kesal di rumah atau kesal kepadaku, dia melampiaskannya di rumahnya, kembali kepada adik-adiknya yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa.

Anggaplah ketololanku terbesar adalah karena kenaifanku. Anggaplah ketololanku karena cinta.
Cinta??? Ah, itu klise… Semua orang juga bilang cinta itu buta.
Atau cinta itu tidak buta? Hanya manusia yang mau dibutakan cinta?

Sekarang aku tak mau menangis lagi, sama seperti aku tak mau mengenangnya lagi. Biarkan dia pergi, biarkan dia jadi ketololanku di masa lalu.

“ Mas Prammm, kamu memang tolollll! Kamu tidak pernah mengerti isi hatiku dan betapa besar cintaku kepadamu.”

Dan ketika tanpa sengaja kumasuk ke kamar tidur kami, kulihat di laci ada hasil test lab yang menyatakan Mas Pram mandul dan tak mungkin mempunyai anak, aku tersenyum lebar, menyadari semua ketololan kami hanya karena hal ini.
Anak bukan segalanya bagiku, walaupun aku amat ingin menimang darah dagingku sendiri, buah cinta kami, tapi kalau hanya karena ini dia meninggalkanku, artinya dia belum cukup mengerti diriku.

“ Mas Prammm, kamu memang tolollll! Aku juga tolol. Kita sama-sama ditololkan keadaan dan dibutakan cinta.”

Kukupas bawang lagi, tanpa maksud apa-apa, cuma ingin menangis tanpa alasan. Biar aku bisa lepas dari beban hidupku sejenak karena hatiku sudah buta. Buta rasa, buta cinta. Kubutakan itu semua dan kutunggu Mas Pram dalam ketololanku. Tolol sekalipun, aku tetap cinta kamuuuu…


Singapore, 16 August 2009
-fon-
* tercipta di saat memasak dan mengupas bawang :P

No comments:

Post a Comment