Monday, August 17, 2009

Zee

Source: http://community.thenewstribune.com/node/33557

“Zee!”

Dia menoleh ke arahku ketika kupanggil namanya. Sungguh wajahnya tidak ganteng bagiku. Agak aneh. Sedikit lucu malah. Dan pertemanan antar lawan jenis yang kami lakoni sekian tahun lamanya tidak juga berkembang ke arah cinta seperti kata orang. Friends turn to lovers? Ah, itu tidak terjadi bagi kami. Bagiku, dia tetap sahabat baik. Teramat baik malah!
Aku mendapatkan banyak masukan, pencerahan, nasihat, yang semuanya sangat sesuai di hatiku. Banyak kali aku mendapati orang yang menasihati sesuai maunya sendiri. Apa yang menurut mereka terbaik. Tapi, apa yang mereka kira terbaik dari mata mereka, bukan selalu yang terbaik bagi yang mengalaminya, bukan?
Lagi-lagi, itu tak pernah terjadi pada Zee-ku! Aku puas curhat dengan dia, dua tiga jam sehari. Sampai malam telah pelan-pelan merangkak menjelang dini hari, menyongsong fajar, menyambut pagi.
Pernah, saking lupa waktunya kami, itu percakapan terlama kami, 4 jam. Nonstop.

Zee dan aku tak menyadari bahwa kami perlu meningkatkan relasi kami ke arah yang lebih jauh, ke jenjang yang lebih serius. Kalau nantinya malah jadi saling mengikat dan melukai, buat apa? Mending seperti sekarang, sama-sama senang, tidak ada ikatan, tidak juga ada pacar. Hanya sebatas sahabat.
Mungkin istilah yang tepat Teman Tapi Mesra atawa TTM? Bisa juga…

Sampai suatu ketika…
Aku membuka pekarangan rumah Zee. Rumah yang sederhana, tidak besar, namun apik. Selalu membawaku ingin terus main ke sana. Aku yang sebatang kara di ibukota merasakan kehangatan hanya berada di rumah Zee.
Saat itu Zee hanya seorang diri di rumahnya. Ayah ibunya tengah keluar kota menjenguk saudara yang sakit. Dan pembantunya tengah ke pasar membeli beberapa keperluan dapur.

Aku dan Zee langsung ngobrol dengan riangnya. Tanpa kami sadari, karena saking serunya dia mau memperlihatkan koleksi buku terbaru yang tengah dia baca, kami ada di kamar Zee, berdua saja.
Dan ketika aku membuka-buka buku Zee, tiba-tiba tangannya mengelus rambutku. Aku terkejut! Ini bukan Zee…! Koq, Zee jadi begini???
Dan kulihat pandangan matanya berubah lembut. Dan sebentar lagi, berubah seperti ingin menerkamku… Tiba-tiba, rasa ketakutan begitu menguasaiku.
Aku lari, bergegas meninggalkan rumah Zee, dengan seribu tanya di hati.
Kurang ajar, kamu…Aku tidak terima, Zee!

Malam itu di kamarku…
Aku merenungkan kejadian siang itu. Ada rasa lembut yang mulai masuk di kedalaman hatiku. Dan pelan-pelan mulai menjalari seluruh otakku. Yah, kenapa tidak? Mungkin Zee betul-betul suka padaku. Mungkin Zee mencintaiku. Dan kenyamanan ini? Kenyamanan yang kurasakan saat bersamanya tak bisa tergantikan oleh siapa pun. Kapan pun. Jadi, untuk apa aku bersusah payah mencari si Dia yang lain?
Kalau memang Zee mencintaiku dan kuyakini hal itu… Akan kuterima dirinya dengan sepenuh hati.
Memang, wajahnya biasa. Cenderung jelek malah. Tapi, aku juga tidak cantik-cantik amat. Aku bukan Tamara Blezinsky, Luna Maya, atau Charlize Theron. Aku cuma wanita biasa dan sederhana.
Kuputuskan untuk mengundang Zee ke rumahku di malam minggu nanti. Sambil memimpikan Zee akan jadi kekasihku. Kekasih yang sempurna bagiku.
Pasti hubungan kami akan sangat indah, karena kami memiliki minat yang sama. Dan bisa ngobrol berjam-jam lamanya.
Ah, Zee… kenapa tiba-tiba aku kangen kamu???

Sabtunya…
Zee datang ke rumahku. Seperti keinginanku.
Zee juga menghampiriku dan bercakap-cakap ramah denganku. Sama seperti dalam anganku.
Zee mulai menjelaskan mengapa dia melakukan hal itu. Kejadian memalukan di kamarnya beberapa waktu silam.

“ Begini, dik… Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa membelai rambutmu dan sepertinya ingin sekali memelukmu. Aku pikir tadinya aku jatuh cinta padamu. Setelah ngobrol intensif kita setiap hari, beberapa jam, aku berpikir mungkin pesonamu sudah memasuki kepala dan hatiku. Tetapi, setelah kudalami lagi, ternyata itu bukan cinta. Itu hanya Chemistry… bla bla bla bla….”

Sudah tidak jelas lagi, apa yang dikatakan Zee. Dia menolakku! Keterlaluan…Aku marah, setelah apa yang dilakukannya padaku. Terpikir juga, untung aku masih dilindungi. Coba kalau aku terlanjur menyerah kepadanya di saat itu…?
Hiiii, ngeriiii…
Aku bergidik memikirkan kemungkinan yang tak pernah terjadi itu.
Dan kimia, chemistry, atau apa lah namanya itu…!
Aku tidak peduli. Aku juga tak pernah suka fisika, biologi atau kimia. Enak saja bagi Zee menyalahkan chemistry. Tapi itu bagiku dia tak mampu mengontrol dirinya.
Tiba-tiba rasa kagumku pada Zee sirna. Semudah itu saja! Setelah pertemanan kami bertahun-tahun. Setelah kukira this friendship could turn to lover.
Setelah tragedi kamar Zee. Setelah percakapan sore ini.
Aku memutuskan untuk mempersilakan Zee pergi. Dari kamarku, dari rumahku, dari hidupku.
Bye-bye, Zee… Bagian yang akan terus kuingat adalah kedekatan kita dulu. Tapi sekarang? Itu sudah bagian masa lalu.

“Bangunlah dari mimpimu, sayangku!”

Aku memotivasi diriku. Aku tengah low-bat. Zee menyerap begitu banyak energiku. Aku sedih, tapi mungkin ini yang terbaik bagiku. Hatiku terlalu sakit untuk penolakan ini. Dan sebetulnya aku tak pernah mencintainya. Hanya mengaguminya dan senang berbicara dengannya. Atau… inikah yang namanya witing tresno jalaran soko kulino? Cinta datang karena kebiasaan, karena sering bersama?
Entah…!
Aku masih belum sanggup mendefinisikan hal itu. Cinta ataukah rasa kagum?
Hmmm, tidak jelas…
Yang pasti, aku mulai resah mendekati malam tiba, karena aku harus mencari alternatif aktifitas lain. Sendiri. Tanpa Zee.

Singapore, 17 August 2009
-fon-
* in the spirit of freedom because of the independence day, let’s free your soul to be more creative, to be more adventurous in this life.

No comments:

Post a Comment