Friday, January 8, 2010

Lima Ribu Sebulan



Mungkinkah ini keluhan Anda?

Gue udah lama gak makan di restoran nih, makannya di pinggir jalan melulu. Ayo, kita makan di restoran!”

Atau yang ini?

“ Aduh, bingung deh, rambut gue mau diapain ya? Bonding? Udah. Cat udah. Highlight udah. Mungkin keriting Jepang aja kali ya. ‘Japan Perm’ geto…”

Atau yang lain lagi:

“ Wah, ada handphone jenis terbaru nih yang keluar. Tidak bisa tidak, aku harus beli!”

Well, tidak ada yang salah dengan keinginan-keinginan tersebut. Namanya manusia, wajar pasti punya keinginan. Dan bila mampu memenuhinya? Mengapa tidak? Tentunya penghasilan sendiri, dinikmati sendiri, gak ada salahnya juga. Mungkin juga, penghasilan orang tua yang dihibahkan kepada Sang Anak biar leluasa dipakai, juga tidak ada salahnya.

Hanya saja, satu surat elektronik di satu milis yang saya ikuti, tiba-tiba mengusik nurani saya. Ada info tentang 40 anak yang berkekurangan di satu sekolah di Kutoarjo dari satu milis yang menyediakan informasi anak asuh. Dari 40 anak itu, rata-rata orangtuanya bila bukan buruh, kerja sebagai petani, atau wiraswasta, ada juga yang pengangguran. Dan sebulan mereka minta sumbangan sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) sampai Rp.15.000,- (lima belas ribu rupiah).

Sedangkan kita? Mungkin lima ribu rupiah sekarang masih bisa dapat nasi dan telor di warteg. Saya sudah tidak mengikuti perkembangan harga-harga di Indonesia. Tapi yang pasti, tidak banyak yang bisa didapat ketika berbelanja di supermarket dengan uang Rp.5.000. Mungkin masih bisa dapet sebungkus biskuit, sebungkus permen, atau shampoo/ sabun kecil. Itu saja. Karena saya dengar dari saudara dan teman di Jakarta, bahkan uang Rp. 100.000,- saja sudah dengan mudahnya terserap ketika berbelanja di supermarket tanpa bawa pulang terlalu banyak belanjaan. Habis begitu saja.

Memikirkan masa depan anak-anak di suatu TK yang saya sebut di atas. Lima ribu rupiah bagi mereka berarti. Lima ribu sampai lima belas ribu rupiah itu adalah jaminan atas masa depan mereka. Kalau mereka tidak bersekolah, sudah jelas, mereka akan tentunya kerja secepat yang mereka bisa untuk membantu ekonomi keluarga. Kalau beruntung dan punya modal, mungkin akan usaha sendiri. Kalau tidak punya modal, kerja jujur dan cekatan, mungkin dipandang layak untuk naik pangkat sama bos-nya. Mungkin juga mereka takkan ke mana-mana, hanya penerus pekerjaan orang tua mereka. Tetapi, tetap saja, pendidikan memberikan mereka satu kunci ke gerbang masa depan mereka. Tidak ada jaminan, tapi rasanya kalau gak sekolah, SD pun tak selesai, kasihan sekali ya…

Kondisi TK di atas juga bukanlah kondisi satu-satunya. Ia adalah sebagian kecil dari kondisi kemiskinan yang amat melebar di negara kita dan di banyak negara lainnya. Termasuk di negara tempat saya tinggal saat ini, Vietnam. Kemiskinan seolah sudah jadi lagu wajib, dengan mudah terlihat kesenjangan sosial itu. Gedung apartemen mewah dikelilingi gang-gang sempit berisi rumah-rumah berdempet. Mobil dikelilingi dengan motor dan sepeda plus orang yang naik bus. Kemiskinan memang amat nyata.

Membaca cerita anak-anak itu, memikirkan kesenjangan sosial di sana-sini, membuat saya berpikir:

Terlalu sering saya menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu.

Yang saya mau, tetapi tidak perlu.

Terlalu sering saya memikirkan ‘ perut’ saya seperti mau makan di restoran mana, penampilan saya, dan gaya saya dengan ‘gadget’ canggih, tanpa memikirkan apakah di sekitar saya ada yang tidak makan tiga kali sehari hari ini?

Terlalu sering saya mengeluhkan hal-hal yang tak seharusnya saya keluhkan, menjadi cepat be te karenanya, tanpa memikirkan bahwa keluhan yang remeh itu sebetulnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka yang menjerit lapar, menangis karena tak bisa sekolah, kebingungan karena tak cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit orang tercinta yang harus dirawat, bangkrut habis-habisan, sakit tanpa bisa tersembuhkan, dan sebagainya

Saya sering. Saya tak tahu Anda. Mudah-mudahan Anda tidak seperti saya. Saya malu hati. Malu sekali. Hari ini, saya mau lebih bersyukur lagi. Saya mau membantu beberapa dari mereka (mudah-mudahan bisa, sesuai kemampuan saya). Saya malu karena keluhan saya hanyalah keluhan sekunder atau tersier, sementara keluhan mereka adalah keluhan terhadap kebutuhan primer.

Dalam piramida kebutuhan Maslow, keluhan saya hanyalah keluhan di tingkat-tingkat di atas tingkat pertama. Sedangkan mereka tak mampu memenuhi kebutuhan fisiologis mereka. Entah, saya koq jadi tiba-tiba malu sekali dengan semua kemudahan dan ‘kemewahan’ yang saya nikmati. Kemewahan yang bukan seperti yang dinikmati konglomerat. Tetapi bagi mereka yang tak bisa bayar uang sekolah Rp. 5.000,- sebulan, sungguh hidup saya sudah terlalu mewah dan enak.

Mudah-mudahan besok-besok saya bisa lebih teliti sebelum membeli. Lebih berpikir sebelum mengeluarkan uang dari kocek saya terutama untuk barang-barang yang saya inginkan dan bukan yang saya butuhkan. Dan mudah-mudahan saya punya hati yang mau membantu mereka yang membutuhkan karena rupanya kebutuhan uang sekolah mereka selama setahun, hanya sedikit lebih mahal ketimbang segelas frapuccino ‘ice-blended’ di gerai kopi ternama. Ironis memang. Kenyataan memang pahit. Tetapi, jika kita bisa menaburkan sedikit gula di atasnya, mudah-mudahan kopi kemiskinan tak lagi sepahit yang kita lihat, karena kita setidaknya ambil bagian untuk mempermanis kopi tersebut dan dengan demikian menjadikan hidup kita juga semakin manis. Mudah-mudahan. Amin.

HCMC, 08 Januari 2010,

-fon-

sumber gambar:

http://freeartisticphotos.com/artistic-free-pictures-of-flowers/free-artistic-photo-flower-yellow-pops/

No comments:

Post a Comment