Mungkinkah ini keluhan Anda?
“ Gue udah lama gak makan di restoran nih, makannya di pinggir jalan melulu. Ayo, kita makan di restoran!”
Atau yang ini?
“ Aduh, bingung deh, rambut gue mau diapain ya? Bonding? Udah. Cat udah. Highlight udah. Mungkin keriting Jepang aja kali ya. ‘Japan Perm’ geto…”
Atau yang lain lagi:
“ Wah, ada handphone jenis terbaru nih yang keluar. Tidak bisa tidak, aku harus beli!”
Well, tidak ada yang salah dengan keinginan-keinginan tersebut. Namanya manusia, wajar pasti punya keinginan. Dan bila mampu memenuhinya? Mengapa tidak? Tentunya penghasilan sendiri, dinikmati sendiri, gak ada salahnya juga. Mungkin juga, penghasilan orang tua yang dihibahkan kepada Sang Anak biar leluasa dipakai, juga tidak ada salahnya.
Hanya saja, satu
Sedangkan kita? Mungkin
Memikirkan masa depan anak-anak di suatu TK yang saya sebut di atas.
Membaca cerita anak-anak itu, memikirkan kesenjangan sosial di sana-sini, membuat saya berpikir:
Terlalu sering saya menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu.
Yang saya mau, tetapi tidak perlu.
Terlalu sering saya memikirkan ‘ perut’ saya seperti mau makan di restoran mana, penampilan saya, dan gaya saya dengan ‘gadget’ canggih, tanpa memikirkan apakah di sekitar saya ada yang tidak makan tiga kali sehari hari ini?
Terlalu sering saya mengeluhkan hal-hal yang tak seharusnya saya keluhkan, menjadi cepat be te karenanya, tanpa memikirkan bahwa keluhan yang remeh itu sebetulnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka yang menjerit lapar, menangis karena tak bisa sekolah, kebingungan karena tak cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit orang tercinta yang harus dirawat, bangkrut habis-habisan, sakit tanpa bisa tersembuhkan, dan sebagainya
Saya sering. Saya tak tahu Anda. Mudah-mudahan Anda tidak seperti saya. Saya malu hati. Malu sekali. Hari ini, saya mau lebih bersyukur lagi. Saya mau membantu beberapa dari mereka (mudah-mudahan bisa, sesuai kemampuan saya). Saya malu karena keluhan saya hanyalah keluhan sekunder atau tersier, sementara keluhan mereka adalah keluhan terhadap kebutuhan primer.
Dalam piramida kebutuhan Maslow, keluhan saya hanyalah keluhan di tingkat-tingkat di atas tingkat pertama. Sedangkan mereka tak mampu memenuhi kebutuhan fisiologis mereka. Entah, saya koq jadi tiba-tiba malu sekali dengan semua kemudahan dan ‘kemewahan’ yang saya nikmati. Kemewahan yang bukan seperti yang dinikmati konglomerat. Tetapi bagi mereka yang tak bisa bayar uang sekolah Rp. 5.000,- sebulan, sungguh hidup saya sudah terlalu mewah dan enak.
Mudah-mudahan besok-besok saya bisa lebih teliti sebelum membeli. Lebih berpikir sebelum mengeluarkan uang dari kocek saya terutama untuk barang-barang yang saya inginkan dan bukan yang saya butuhkan. Dan mudah-mudahan saya punya hati yang mau membantu mereka yang membutuhkan karena rupanya kebutuhan uang sekolah mereka selama setahun, hanya sedikit lebih mahal ketimbang segelas frapuccino ‘ice-blended’ di gerai kopi ternama. Ironis memang. Kenyataan memang pahit. Tetapi, jika kita bisa menaburkan sedikit gula di atasnya, mudah-mudahan kopi kemiskinan tak lagi sepahit yang kita lihat, karena kita setidaknya ambil bagian untuk mempermanis kopi tersebut dan dengan demikian menjadikan hidup kita juga semakin manis. Mudah-mudahan. Amin.
HCMC, 08 Januari 2010,
-fon-
sumber gambar:
No comments:
Post a Comment