Sabar
Kata orang, sabar itu kekasih Tuhan. Kata orang, sabar itu kesayangan Tuhan. Tentunya, secara logika dan perasaan, saya sadar sesadar-sadarnya, bahwa pernyataan itu adalah benar adanya. Tiada sesuatupun yang salah. Namun, ketika berhadapan dengan kenyataan di depan mata, kenyataan di hadapan dalam hidup sehari-hari, kata ‘sabar’ bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan. Diucapkan dengan indahnya? Mungkin bisa. Tetapi untuk diterapkan senantiasa, sungguh: butuh perjuangan!
Teringat hari-hari saya sebagai seorang ‘dealer’ saham. Kata sabar seolah jauh dari diri. Karena kata ‘sabar’ berarti lelet, kata ‘sabar’ berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan harga yang baik, walaupun tidak tertutup kemungkinan juga: kata sabar berarti keuntungan. Ketika orang lain sudah menjual secara ‘panic selling’, orang-orang yang sabar akan meraup keuntungan di kemudian hari ketika harga membumbung tinggi. Masalahnya, sering orang tidak sabar untuk melepas segera saham yang dipegangnya dan tengah naik atau tengah turun baru sekitar 10%, dengan pemikiran daripada rugi lagi. Tentu saja, akan ada penilaian atau analisa tersendiri. Adanya analisa teknikal terhadap pergerakan harga saham dengan memperhatikan grafik naik-turunnya harga, analisa fundamental dari laporan keuangan perusahaan yang diterbitkan setiap kurun waktu tertentu, ataupun ‘rumours’ lainnya. Karena ‘market’
Misalnya ketika suatu hari Jumat, di mana jam makan siang kami adalah pukul 11.30-14.00 sambil sekaligus memberi kesempatan pada mereka yang Sholat Jumat. Ketika makan di suatu restoran, makannya cukup terburu-buru karena setiap kali saat waktu menunjukkan pukul 13.15, kami sudah harus siap-siap kembali ke kantor, setidaknya minta ‘bill’ pada kasir restoran. Terkadang, dengan dalih mau ke airport (oleh salah seorang teman:)), kami berusaha biar diservis secara cepat. Dan itulah seringnya yang terjadi: buru-buru, tergesa-gesa, bahkan ke toilet pun dijatah. Saya ingat, saya ketika ingin ke toilet harus menjatah diri saya sebanyak tiga menit dan berlari-lari ke ‘dealing desk’ saya dan kembali memelototi ‘Bloomberg’, RTI Orientama, IQ Plus, sesekali ‘Reuters’ dan sistem yang ‘connect’ langsung dengan klien di belahan negara yang berbeda. Yang semua harus di-update terus secara reguler. Belum lagi, kejadian di market yang harus saya input di lembar ‘excel’ saya. ‘Rush hour’ semacam itu menjadi makanan harian kami ketika market sedang ramai dan ‘hectic’.
Kata sabar, juga menjadi sulit rasanya diterapkan ketika memiliki seorang anak kecil yang mulai beranjak besar.
Kata sabar menjadi kata yang sering diucapkan untuk menghibur, namun pada kenyataannya setelah menjalani hari-hari yang amat menguji kesabaran, saya sadar bahwa menjadi sabar itu adalah pilihan. Sebagaimana menjadi pemarah juga adalah pilihan. Tak pernah mudah untuk memilih sabar. Beberapa orang yang sabar dianggap bodoh oleh orang-orang yang tampaknya cerdik pandai. Beberapa orang yang mau bersabar di satu perusahaan tanpa kenaikan gaji berarti, akan dibodoh-bodohi oleh orang lain yang sudah pindah empat kali bak kutu loncat dan totalnya mendapatkan kenaikan lebih dari seratus persen. Sabar sering dikonotasikan dengan kurang efektif dan kurang efisien di dunia instan yang serba cepat ini. Kalau bisa cepat, ngapain sabar? Kalau bisa sekarang, ngapain nunggu nanti? Proses menunggu di-fast forward, seolah menunggu dan temannya Si Sabar itu menjadi hal yang bodoh di tengah zaman canggih seperti ini.
Padahal???
Menunggu dengan sabar, tidak selalu berarti bodoh. Ketika ada kendaraan lalu lalang, menyeberang dengan sabar merupakan bentuk untuk mencapai keselamatan. Buat apa kalau tergesa-gesa menyeberang, hasilnya tertabrak mobil atau motor? Apakah ada gunanya? Di luar itu memang bukan kuasa kita untuk menentukan apakah kita akan terkena musibah, tetapi tetap saja, bagian kita adalah berhati-hati dan lihat kiri-kanan sebelum menyeberang. Ketika itu sudah dilakukan, masih saja terkena, ya sudah. Apa boleh buat.Tetapi ketika grabak-grubuk menyeberang tanpa peduli kendaraan lain, lalu tertabrak, tentunya kita tak bisa bilang itu musibah secara murni karena ada faktor ketidakpedulian dari pihak kita…
Sabar. Menunggu dengan sabar. Menerima walaupun kelihatannya kesabaran itu seolah kebodohan bagi teman-teman kita yang lain. Sabar walaupun sudah menjalankan semua yang baik, sudah berusaha jadi diri sendiri yang terbaik, namun masih belum menampakkan hasil: entah dari usaha, entah dari pekerjaan, entah dari finansial. Kata ini, tak pernah basi. Kata ini tak pernah menjadikan seseorang itu kurang pandai, kata ini tak pernah membuat orang seolah tak ikut perkembangan zaman. Justru sebaliknya, kata sabar sangat up to date. Di tengah kondisi yang tidak enak, sabarlah! Di tengah kondisi sulit, sabar! Nanti juga akan ada jalan keluar.
Sabar itu subur. Sabar itu yaaa… sabar:)
Beruntunglah mereka yang punya nama Sabar, karena para orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang sabar dan menyadari arti sabar itu sendiri selama dia hidup. Dan bagi kita yang bukan bernama sabar? Semoga kita bisa menyelipkan kata itu di antara nama kita. Minnie ‘Sabar’ Mouse, Fonny ‘Sabar’ Jodikin, Shinta ‘Sabar’ Nilawati, Johan’Sabar’ Wartono, dsb. Untuk terus ingat bahwa untuk menunggu pemenuhan janji Tuhan dalam kehidupan kita, tak ada kata lain yang lebih ampuh selain sabar sepanjang hidup kita. Dengan kesadaran untuk sabar, semoga kita bisa melihat keindahan setiap janji-Nya yang tergenapi dalam hidup kita. Yes?
(-fon-)
HCMC, 24 Januari 2010
-fon-
Sumber gambar:
http://jameswoodward.files.wordpress.com/2009/03/patience.jpg
No comments:
Post a Comment