Oktober 2008
Hari itu panti asuhan kami menerima anak mungil ini. Gadis kecil berusia sekitar
“ Tolonglah, Pastor, terimalah dia. Kasihan anak ini. Tak lama lagi, aku pun harus mati dan tak lagi bisa mengurusnya.” Kata-kata memelas bernada putus asa itu sudah biasa kami dengar. Tapi hari itu, kembali saya mendapati keseriusan Sang Ibu. Dia kira-kira berumur dua puluh tahun lebih sedikit. Saya pikir, dia masih di bawah dua puluh
“ Baiklah, “ Begitu saja ucapan yang keluar dari mulut saya. Saya tak mampu berkata-kata lebih di saat itu, tetapi saya menerima anak mungil itu. Sebagai tambahan berkat bagi panti asuhan di selatan
Desember 2009
Setahun lebih telah berlalu dari sejak anak gadis mungil itu menempati Panti kami. Tak lama setelah menyerahkannya, Mama Si Mungil betul-betul pergi menghadap yang kuasa. Dan anak ini ketika ditanya apa keinginannya, jawabnya hanya satu : “ Ingin bertemu Mama.”
Mana sanggup kami memberitahukannya. Anak sekecil itu dengan kondisi penyakit yang dikatakan dunia ini amat parah dan belum ditemukan obatnya. Getir memang. Namun, kenyataannya Si Mungil yang kecil ini terkena penyakit AIDS juga. Dari ibunya.
Di bulan-bulan terakhir di tahun 2009, November dan Desember, kesehatan Si Mungil makin parah. Si Mungil semakin kurus. Semakin parah daya tahannya. Semakin kuyu tatapan matanya. Dan tiap kali ditanya, apa yang diinginkannya, selalu jawabannya
“ Mama. Aku mau Mama!”
Hal yang tak pernah bisa kami penuhi. Kami menangis dalam hati. Saya menggigit bibir dan menguatkan hati untuk menjawab, “ Mintalah yang lain, Mungil!”
Dia tak menjawab lagi. Tetapi, setiap kali kami tawarkan sesuatu karena kami ingin membahagiakan dia di saat-saat terakhir hidupnya, dia hanya minta segala sesuatunya dua. Dua potong ayam goreng, dua butir permen, dua potong kue, dan dua buah dari setiap makanan yang kami tawarkan kepadanya. Segala sesuatunya selalu dua. Kami tak berpikir terlalu jauh, hanya memenuhi permintaan-permintaan terakhir Si Mungil. Semampu kami.
Dan menjelang hari-hari terakhirnya. Ketika dia tergeletak tanpa daya di tempat tidurnya. Kami melihat tempat tidurnya dipenuhi semut. Semua makanan itu tak pernah dia makan. Dia tidak serakah. Dia hanya makan satu saja. Sisanya? Dia simpan. Dia bilang, “ Itu untuk Mama.”
Air mata kami menetes di kala itu. Kami tak menyangka bahwa kerinduannya akan ibunya, membuatnya rela mengumpulkan segala sesuatunya bagi Sang Ibu. Membuatnya rela tidur bersama semut-semut yang jumlahnya banyak itu. Karena yang penting baginya, dia bisa memberikan sesuatu ketika bertemu ibunya nanti.
Si Mungil telah pergi. Dengan makanan yang mulai membusuk di sekitar tempat tidurnya yang masih dikelilingi semut-semut. Kuseka air mataku pelan. Sekarang Si Mungil bisa bertemu ibunya.
Selamat jalan, Mungil. Kesetiaanmu dan cintamu akan ibumu, menjadi catatan tersendiri yang tak terlupakan di hati kami.
HCMC,
-fon-
*** Based on true story. Plus sedikit imajinasi. Kisah Nyata dari Khotbah Seorang Pastor di akhir misa Hari Minggu kemarin, 3 Januari 2010, di Saigon Notre Dame Cathedral Basilica,
sumber gambar:
No comments:
Post a Comment