Monday, January 18, 2010

Obese



Matamu sering menatap perempuan lain ketika kita bersama.

Itu sudah kuketahui sejak dulu. Ketika kita masih berpacaran. Kupikir suatu saat kau akan berubah. Namun, nyatanya setelah menikah, sama saja. Jelalatan tak tentu arah. Terutama mereka yang berbodi langsing, berwajah cantik dan segar, serta masih muda. Terkadang mereka yang berpakaian mengundang atau dengan dandanan mutakhir. Sejujurnya kau anggap aku apa? Apa kau pernah memikirkan atau setidaknya mempertimbangkan perasaanku walau sedikit saja?

Setiap kali kutanya kau selalu bilang, “ Aku ‘kan punya mata? Masa’ sih gak boleh liat yang cantik dan segar? Kalau memang gak suka, ya butakan saja mataku,” begitu selalu jawabmu. Dengan hati kesal, aku hanya bisa diam. Diam yang menyimpan perih. Karena pada dasarnya kau memang flamboyan, apa mau dikata? Salahku juga terlanjur cinta…

Aku memang tak cantik, dari dulu kau tahu itu. Mungkin yang kumiliki hanya wajah agak manis dengan berat badan sama seperti berat badanmu, di atas 80 kg. Malu aku menyebutkan secara persis berat badanku. Maklum, aku ‘kan perempuan…

Bedanya kita terpaut 15 cm. Bedanya lagi, aku perempuan dan kau laki-laki.

Aku istrimu dan kau suamiku. Aku memang gemuk, berat badanku jauh di atas berat badan perempuan normal. Dan itu rasanya sudah amat mengganguku. Kau tahu itu, sedari dulu. Tapi entah kenapa, akhirnya kita menikah juga. Mungkin aku yang terlalu mencintaimu dan terus mengejarmu, sementara dirimu tak peduli sebetulnya akan diriku. Sampai akhirnya dalam kondisi sakit parah, tak ada seorang pun yang menemanimu. Hanya aku. Karena aku memang selalu merindukan bayangmu.

Kupikir dengan memilikimu, aku akan bahagia. Namun nyatanya, aku berkutat dan berjuang dengan masalah harga diriku. Dengan minderku. Dengan ‘image’-ku. Dengan gambar diriku. Dengan keyakinan bahwa sebetulnya aku kurang berharga, aku tak layak dapatkan semua keindahan hidup ini. Dan dengan memilikimu yang indah itu, aku sudah harus mensyukurinya. Dalam diam, sakit itu terasa memilukan. Dia meronta-ronta sekuat tenaga dalam hatiku dan kutepis dia, kusuruh dia diam. Sama seperti pilihanku untuk diam. Tapi, dia tetap protes dan berontak, tak bisa menerima perlakuan ini. Haruskah aku meninggalkanmu? Haruskah aku mengakhiri seluruh impianku? Tapi nyatanya memang kau tak pernah mencintaiku, apalagi menghormatiku. Yang kaulakukan hanyalah menikmati uang hasil dari usahaku. Karena memang gajiku lebih tinggi darimu. Karena engkau tak pernah serius sekolah dan bekerja. Kau selalu menganggap wajahmu yang tampan, serta kemampuanmu untuk ‘networking’ dengan mengandalkan senyuman bisa menghasilkan uang jutaan bahkan puluhan juta sebulan. Namun, nyatanya? Kau tak mampu! Yang terus kau lakukan adalah memancing amarah dan kecemburuanku ketika para wanita itu memandangimu dan mengagumimu. Sebetulnya bukan itu yang membuatku marah, mereka memandangi saja itu masih tak mengapa. Masalahnya, sering kali kau terlibat dengan percakapan akrab dengan mereka, sambil membelai rambut mereka mesra. Kau anggap apa diriku? Aku juga manusia.

Setelah kupikirkan masak-masak, inilah saatnya aku harus pergi. Dalam perih, dalam kesakitan luar biasa, aku memilih memerdekakan hidupku dari pengaruh buruk orang sepertimu. Aku yang sudah minder dan putus asa, tak perlu mendapatkan perlakuan semacam itu darimu. Aku yang sudah merasa tak berharga, merasa percuma mengharapkan penghargaan yang tak pernah kudapatkan dari orang sepertimu.

Tubuhku yang gemuk ini memang karena penyakit yang kuderita. Aku takkan bisa kurus. Sekeras apa pun olahraga yang kulakukan. Sehebat apa pun diet yang kupilih, aku takkan pernah bisa kurus, sayangku. Yang aku minta sebetulnya hanya kau terima aku. Apa adanya. Aku ingin dicinta dengan cara itu oleh suamiku sendiri. Apa salah jika aku berharap begitu?

Dengan helaan nafas putus asa, kulihat kembali kau mulai menebar senyum flamboyanmu kepada anak-anak kuliahan ketika kita duduk di satu restoran cepat saji tak jauh dari sebuah kampus. Anak-anak dara itu tersenyum malu, tersipu, dan langsung berbisik di antara mereka. Dalam kesedihan, aku berlalu. Menyingkir dari hidupmu. Berharap suatu saat kau bisa berlabuh pada seseorang yang bisa kau hargai. Bukan seseorang sepertiku.

Selamat tinggal, cintaku! Aku pergi untuk mencari kedamaian diri. Apa gunanya jika hidup bersama orang yang kucintai tetapi memperlakukan aku sebagai orang yang tak pernah diperhitungkan eksistensinya di hadapanmu? Kuharap kau bahagia, sebagaimana akan kucari bahagiaku. Sendiri mengarungi lautan kehidupanku.

Tanpa kamu.

HCMC, 18 Januari 2010

-fon-

* cerminan perasaan seseorang yang obesitas karena penyakit. Salahkah mereka terlahir ‘obese’? Apa mereka tak layak mengecap indahnya cinta dan indahnya dunia hanya karena fisik yang berbeda? Mereka juga manusia biasa yang butuh kasih dan cinta…. Hal yang terakhir yang mereka butuhkan adalah penghakiman atas penampilan dan fisik mereka. Yang mereka butuhkan adalah penerimaan sekitarnya.


sumber gambar:
http://www.kosmo.com.my/kosmo/pix/2009/1221/Kosmo/Dunia/du_06.1.jpg

No comments:

Post a Comment