Thursday, February 11, 2010

Elegi Menjelang Pagi



Pagi yang tak cerah. Tak seperti biasanya. Kudapati wajahnya suram, muram, dan kelam. Mungkin itu juga pantulan wajahku yang tak sempat kupandangi di cermin pagi ini. Sama-sama, kami telah saling melukai. Sama-sama, kami telah saling menyakiti. Dan kini, ketika dia berkata cukup sampai di sini, mengapa hatiku berdarah dan tertusuk duri?

Ketika kami putuskan menikah atas nama cinta…Bukan begini kenyataan yang ada di kepala. Harusnya kami bahagia sekaligus gembira, mendapatkan apa yang selama ini kami damba. Namun, nyatanya? Setelah berpacaran lima tahun, bertunangan, dan dilanjutkan dengan jenjang pernikahan. Malah cinta kami semakin memudar.

Hari-hari awal perkawinan, masih biasa saja. Tak ada gejolak berarti, seolah ini rutinitas belaka. Hari-hari selanjutnya penuh dengan argumentasi, pertentangan, kemarahan. Dan terkadang kekerasan memasuki teritori cinta kami. Ke mana cinta kami yang dulu mekar berseri? Ke mana cinta yang telah kami pupuk dan kami bina setengah mati? Hilang? Lenyap? Raib?

Dan hari ini, ketika dia kembali mengucapkan kata-kata itu, hatiku terluka parah.

Cukup sampai di sini? Kaupikir masalah kita bisa selesai dengan berpisah?

Tapi, tak lagi kucari jawab itu di matanya. Karena aku pun sudah menyerah. Aku kehilangan dirinya. Kehilangan kelembutan dan senyum manisnya. Yang tiba-tiba berubah menjadi monster yang menakutkan. Yang seringnya berubah menjadi binatang buas yang siap menerkam. Tak lagi kurasakan perhatiannya, tak lagi kurasakan kenyamanan ketika bersamanya. Kalau perkawinan hanya jadi pertarungan ego tak terselesaikan macam ini, kurasa aku menyerah.

Dengan malu, aku harus menerima. Bahwa semua masa pacaran-tunangan-sampai menikah yang mencapai enam tahun itu, ternyata harus berakhir ketika perkawinan ini belum sampai setahun. Dengan lirih, kutanya hati, “ Apa gerangan yang terjadi?”

Hatiku senyap. Diam. Dalam linangan air mata kesedihan dia berkata, “ Elegi tak berkesudahan telah dimulai di pagi ini.”

Apa masih ada kesempatan bagi kami berdua? Aku tak berani berharap. Karena sesudah dia berkata begitu, dia tak lagi menatapku. Dia telah mempersiapkan kopernya dan pergi dari rumah kami. Pergi dari hatiku. Pergi bersama cinta kami yang pernah bersemi. Dan (tampaknya) takkan kembali.

Dia telah pergi. Dari hidupku. Dari hatiku. Aku tak rela, tapi aku tahu mungkin ini yang terbaik bagi kami berdua.

Elegi itu masih mengalun. Pedih, perih, bercampur alunan penuh nestapa.

Lalu, kubawa pergi. Berharap suatu hari nanti akan kudapati cinta yang mampu membuatku tergugah dan kembali membuka hati.

Sampai kapan kuharus menanti? Aku tak pernah tahu pasti…
Aku hanya berjalan, merayapi dinding kehidupan yang kelam saat ini.

Sambil berharap suatu saat nanti, cinta sejati hadir kembali.

HCMC, 12 Februari 2010

-fon-

* Elegi menurut kamus Bahasa Indonesia ‘online’:

ele·gi /élégi/ n syair atau nyanyian yg mengandung ratapan dan ungkapan dukacita.


sumber gambar:

2 comments:

  1. WAW! aku merinding bacanya..
    bagus...

    ReplyDelete
  2. @ Maria Ulfa: Terima kasih buat apresiasinya:) That means a lot to me. Tengkyu juga sudah mampir di blog-ku ini:) Salam:)

    ReplyDelete