Thursday, December 31, 2009

Huyen



Perkenalkan, namaku Huyen (dibaca : Huin atau Huyin dalam Bahasa Indonesia). Asal Ho Chi Minh City, Vietnam.

Di usiaku yang ke-25 ini, aku masih menjomblo. Belum menikah. Sementara aku juga baru lulus kuliah jurusan perbankan di salah satu universitas di HCMC ini. Aku tak ingin memaksakan diri untuk menikah, seperti teman-temanku yang menikah di usia ke-20. Sehingga umur 25 sepertiku saat ini sudah dianggap perawan tua. Tapi apa mau dikata, memang pacar saja aku belum punya…

Selain itu, aku memang anak tunggal dari ayah dan ibuku. Ibuku berjualah pho, itu lho mie putih khas negaraku. Dia sudah berjualan selama 20 tahun sejak aku berumur 5 tahun.

Me, begitu aku menyebut ibuku, terlihat kuatir setiap kali dia bicara soal harusnya aku sudah menikah dan punya anak. Kujawab pelan, “ Bukan aku tak mau, Me! Tapi, aku mau mencari seseorang yang kucinta. Bukankah lebih baik aku menunda daripada terburu-buru menikah dengan siapa saja yang datang melamarku?”

Kalau aku menjawab seperti itu, ibuku hanya tersenyum kecut. Tak bisa membantah kebenaran ucapanku. Me, aku juga sedih kalau aku belum bisa membahagiakanmu dengan suami atau cucu penerus keturunanmu. Tapi, bukankah lebih baik aku membantumu saat ini? Daripada aku tak tentu arah menikah dengan siapa saja yang kau kenalkan kepadaku tanpa adanya cinta?

Me mulai memperhatikan penampilanku. Dibilangnya aku terlalu gemuk untuk ukuran orang Vietnam pada umumnya yang memang kecil mungil. Sehingga sebagai perempuan Vietnam, mungkin tubuhku terbilang raksasa. Walaupun bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di luar Vietnam semisal Amerika atau Australia, jelaslah ukuranku masih Medium size –nya mereka.

Aku sedih, Me. Aku juga ingin bantu-bantu Me dengan penghasilanku ketika aku bekerja nanti. Sementara ini yang kulakukan hanyalah memberikan les Bahasa Vietnam bagi muridku yang berasal dari negara lain. Untung Bahasa Inggrisku cukup baik, jika tidak? Mungkin penghasilan ini takkan kudapatkan juga.

Aku juga tak mau, Me… Seperti segelintir perempuan Vietnam lainnya yang membuat martabat perempuan Vietnam secara keseluruhan dipandang rendah. Karena kemiskinan, beberapa dari kami terpaksa setuju menikah dengan orang Singapura, Malaysia, Hongkong, Brunei, Taiwan, atau pria dari negara Asia lainnya. Di Singapura sendiri banyak agen yang mengurusi pernikahan dengan perempuan Vietnam seperti kami-kami ini. Nama keren kami ‘Vietnamese Bride’, dengan iming-iming ‘virginity’ kami. Keperawanan kami yang jadi daya tarik mereka. Tapi bukan itu tujuanku, Me… Aku tak mau karena aku kawin lalu aku dibayar. Walaupun ada di antara agen itu yang aku tahu, sampai mematok harga lima ribu dollar Singapura (SGD 5,000). Tapi aku tahu juga, hanya sebagian kecil yang masuk ke kantong keluarga kita kalau aku setuju menikah dengan mereka.

Aku tak tahu memang jodohku adalah orang mana. Apa Singapura, Amerika, Eropa, Jepang, atau Korea? Biarlah itu di tangan yang kuasa, Me. Tapi tidak dengan mengorbankan harga diriku, hanya untuk sekadar ‘laku’. Aku bukan barang dagangan, Me… Yang jelas, aku bukan souvenir Vietnam yang bisa dengan mudah dipindahtangankan. Aku masih punya harga diri!

Aku juga tak hendak menjajakan diri, Me. Banyak kulihat perempuan Vietnam memacari bule asalkan mendapat uang yang banyak. Bisa ke salon mahal, manicure-pedicure yang mewah dan pakai barang bermerek. Bagiku, biarlah bajuku hanya made in Vietnam. Beli di Saigon Square, toko-toko di Nguyen Trai atau di pasar tradisional semisal di China Town’ – Cho Lon (berarti: Pasar Besar). Aku tak peduli dengan merek mewah seharga puluhan juta Vietnam Dong, kalau itu hasilnya dari menjual kemolekan diri. Walaupun aku sadar, Me.. Mungkin ukuranku yang besar ini lebih cocok bagi mereka yang dari luar negeri ketimbang lelaki Vietnam yang kurus kecil. Aku lagi-lagi merasa bagaikan seorang raksasa di tengah-tengah negeri yang kecil mungil.

Yang penting, aku hidup benar, Me… Aku punya sikap tegas terhadap hidup… Dan mudah-mudahan, suatu saat…jodoh dan pekerjaan yang sesuai diberikan-Nya padaku. Aku tak mau merendahkan diriku sebegitu rupa, karena aku tak mau dihina, Me… Aku juga punya pendidikan. Aku juga bisa belajar hidup lebih baik lagi, tapi tidak dengan cara-cara yang tidak sesuai di hatiku….

Me, aku menangis menuliskan ini semua di catatan harianku… Aku ingin sekali berbagi beban ini denganmu, Me… Tapi, kukira semua itu tak mungkin kulakukan di saat ini… Aku hanya ingin jadi diri sendiri, Me… Dengan tenang menghabiskan setiap waktu di hidupku. Tak takut kalau sampai aku tak menikah… Yang mungkin akan mengecewakanmu, Me… Tapi aku tetap berpegang pada prinsipku, menunggu yang kucinta dan mencintaiku apa adanya… Bukan asal comot saja seperti beli baju di Pasar Ben Thanh. Beli baju pun harus memilih, bukan? Apalagi soal jodoh… Apalagi soal suami…

Tuhan, semoga ibuku mengerti. Bukan hari ini, tapi mungkin sebulan lagi. Tiga bulan lagi. Setahun lagi… Aku menunggu pengertian itu terjadi, sambil menunggu hadirnya suami yang mencintaiku…Sambil menunggu pekerjaan yang sesuai untukku. Dan banyak hal lainnya yang tetap kutunggu dari-Mu…

HCMC, 31 Desember 2009

-fon-

* Huyen bukan nama sebenarnya. Kisahnya adalah kisah nyata dari seseorang yang saya kenal di sini. Seseorang yang berprinsip. God bless you, friend! Walaupun saya yakin, kamu nggak ngerti tulisanku ini. But, I still can see your goodness inside.

sumber gambar:

http://media.photobucket.com/image/traditional%20vietnamese%20clothing/lethuypainter/Ao%20dai/ao-dai-1_9647.jpg

2 comments:

  1. @ Cecil: ma kasih, emang kisahnya menyentuh dan prinsipnya kuat, makanya kutuliskan:)

    ReplyDelete