Wednesday, December 9, 2009

Untuk Terakhir Kalinya…



Pernahkah kau mengalami kesakitan yang amat sangat. Terlukai yang amat dalam. Dan kau pikir kau takkan pernah sanggup berhadapan dengan orang yang begitu melukai hatimu?

Hmmm, aku pernah. Memikirkannya saja sudah membuat diriku ketakutan. Bahkan tak pernah sanggup kubayangkan untuk bertemu kembali dengannya dalam waktu dan tempat yang berbeda. Membayangkannya saja tak sanggup, apalagi menjalaninya. Tetapi alur hidup membawaku menemuinya untuk terakhir kali. Untuk mendamaikan kegalauan di hatiku. Untuk menyembuhkan luka yang berdarah dan menganga itu. Luka itu terlalu lebar, terlalu dalam untuk betul-betul disembuhkan. Namun, waktu jualah yang menyembuhkan diriku dan menguatkanku sekali lagi ketika aku berjumpa dengannya. Seperti yang sudah kukatakan tadi, untuk terakhir kalinya.

Siapa yang bisa menyangka, kalau perjumpaan itu adalah perjumpaan terakhir kami. Karena sesudahnya dia harus pergi untuk selamanya. Yah, dia menghadap Sang Pencipta. Oh, kondisi tubuhnya tak lagi prima. Tak lagi sama ketika dia memaki-maki aku di hadapan banyak orang. Mempermalukan aku setiap kali. Tak peduli di hadapan siapa saja. Di setiap kesempatan. Mengatur segala yang harus kulakukan. Dan berpikir dengan status sebagai seorang ‘PACAR’ dia layak lakukan semua hal kepadaku. Padahal suami saja belum. Baru pacar, kan?

Ketika akhirnya dia bukan lagi hanya menguasaiku secara mental dan menerorku dengan cara-cara yang hampir tak masuk akal hanya karena dia posesif. Hanya karena dia pencemburu. Dan kecemburuan yang dimilikinya itu bertipe cemburu buta. Tak peduli kapan saja, di mana saja, dia seakan menempatkan borgol pada kedua belah tanganku. Di pergelangan tanganku itu, dia letakkan borgol kekuasaannya atasku. Dan bila aku protes, kekuasaan itu akan membuatnya merasa perlu menamparku. Menyisakan goresan biru di sekitar mataku, di pipiku, di pinggangku. Tapi menorehkan warna merah menyala di hatiku. Dan merobekkan setiap dinding hatiku yang lembut yang terlukai secara mendalam.

Akhirnya, kuputuskan untuk minggat. Minggat darinya, minggat dari kotaku, minggat dari segala macam kegiatan hidupku, aku menjalaninya dalam diam. Diam-diam kusiapkan tas ranselku. Aku tokh cuma anak kos di tempat ini. Aku tak punya keluarga dekat. Dan dia yang sudah kuanggap sebagai keluarga, malah melakukan hal-hal yang jauh dari ‘kekeluargaan’. Diam-diam naik bus antarkota di suatu malam saat dia katakan tak bisa menemuiku. Dan aku memutuskan untuk pulang ke rumah nenekku. Bukan kembali ke kotaku. Tapi, ke tempat nenekku. Kuganti nomor telepon genggamku. Dan hanya kukabari keluargaku plus nenekku. Teman-temanku? Ah, rasanya tak perlu. Lagian, setelah delapan tahun berpacaran dengannya aku otomatis hampir tak punya teman. Habis sudah semua temanku. Jangankan teman pria yang pasti sudah dikomentari secara miring olehnya, teman wanita juga tak diizinkannya mendekatiku.

Aku minggat. Minggat untuk selama-lamanya. Tanpa ingin bertemu kembali dengan dirinya. Orang yang amat kucintai di awal perjumpaan kami. Boleh kukatakan dia adalah cinta pertamaku. Tetapi dia amat menyakiti diriku. Mempermalukan aku. Dan menyisakan kesedihan tak berujung di hidupku.

Aku harus menguatkan diriku, ketika kudengar keluarganya menghubungi keluargaku. Dan berkata bahwa sejak malam kepergianku, dia menjadi seperti orang yang linglung. Setengah gila, terganggu kewarasannya. Dan dalam kondisi seperti itu, dia yang tengah naik motor di malam hari itu menjadi lengah. Tak lagi memperhatikan jalannya. Dan dia terjatuh dari motornya. Dan dia dilindas sebuah truk pengangkut barang yang berisi semen berkarung-karung. Berat sekali truk itu dan itu membuatnya koma. Tidak meninggal seketika. Tetapi koma. Berbulan-bulan lamanya. Minggu demi minggu dia lewati di rumah sakit, sampai suatu hari dia terjaga dan bilang kepada keluarganya untuk mati-matian mencariku. Keluarganya mengusahakannya dan inilah yang terjadi. Aku ada di hadapannya.

“ Sis, aku minta maaf,” suaranya terdengar amat pelan. Tak lagi garang seperti biasa. Tak lagi sinis seperti beberapa waktu sebelumnya.

“ Iya, “ jawabku pelan. Aku tak tahu jawaban iya itu hanyalah basa-basi ataukah tulus? Tak lagi penting bagiku. Namun, melihatnya dalam kondisi lemah tak berdaya seperti itu membuatku berpikir bahwa hidup memang tak bisa pernah ditebak akan membawamu ke mana. Hidup bisa membawamu penuh kuasa, dan dalam waktu yang tak berapa lama, bisa menjatuhkanmu tanpa daya. Seperti dia yang ada di hadapanku. Dia yang dulu hebat dan senantiasa menancapkan kuku-kuku kekuasaannya atasku, kini terbaring lesu.

Infus masih melingkari tubuhnya. Nafasnya masih satu-satu. Tersengal ketika berbicara kepadaku. Padahal bicaranya singkat betul. Dan setelah mendengar jawabanku, dia pergi. Pergi untuk selamanya. Menutup matanya dengan tenang. Dia hanya ingin menjumpaiku untuk terakhir kalinya dan memohon maaf.

Hatiku masih gamang. Hampir mati rasa. Atau merasa lega? Entahlah… Lagi-lagi aku tak tahu pasti. Semua bercampur menjadi satu. Namun, tiba-tiba aku merasa kasihan padanya. Kasihan sekali. Bahwa dia harus mati dengan cara seperti ini. Apakah menyatakan cinta harus dengan menggunakan jeruji besi? Haruskah aku dikurung dalam sangkar yang dia ciptakan bagi diriku seperti itu? Tanpa bisa jadi diriku sendiri?

Sementara masih sibuk dengan perasaanku, aku pun sudah memutuskan sesuatu…

Selamat jalan, Steve… Aku memaafkanmu.

HCMC, 10 Desember 2009

-fon-

sumber gambar:

http://otherwhirled.files.wordpress.com/2007/09/goodbye.jpg


5 comments:

  1. ceritanya keren plus mengiris hati :). psti bnyk d luar sana yg mngalami.. ya, mencintai bukan berarti memborgol kaki dan tangan kita, pikiran juga hati! mencintai bukan seperti itu. salam kenal mba...

    ReplyDelete
  2. Denisa,
    Salam kenal kembali. Iya, aku juga dari denger2 crita temen2 dan baca2 jadi menuliskannya. Trims dah komen dan baca ya...:)

    ReplyDelete
  3. Asyik... mulai makek blog sebagai sarana komunikasi neh hehehe...
    Keren ci...

    ReplyDelete
  4. Femmiii...gmn Jakarta? Cepet euy, udah langsung OL aja hehehe...
    Ato dari HP?
    Ma kasih ye, Fem... msh belajar neh urusan blog... kayaknya mau gak mau deh, krn gak bs bergantung ama FB lagi hehehe...blessing in disguised suruh belajar blogging dan msh harus banyak belajar lagi... Ma kasih ye, Fem:)

    ReplyDelete
  5. iyo cepet online lagi soalnya udah telp provider dari surabaya hehehe... jadi pas dateng ke sini langsung dipasang :D
    happy blogging dehhh

    ReplyDelete