Wednesday, October 28, 2009

Jejak Langkah


Hari ini hujan mengiringi perjalanan saya dan putri saya menuju ke sekolah. Mulai dari rumah, kami terpaksa harus membuka payung karena hujan gerimis mulai turun perlahan di negeri Singapura ini. Dan di atas bus yang membawa kami menuju ke sekolahnya ketika kami duduk, saya melihat jejak langkah sepatu-sepatu yang kotor terkena becek dan tanah basah. Dan ketika di perjalanan hujan semakin deras, semakin banyak pula jejak langkah kaki yang saya lihat memenuhi bus yang saya tumpangi.
Saya berpikir dalam hati, jejak langkah manusia akan tertinggal untuk beberapa saat lamanya. Ada saat di mana kita melakukan kesalahan dalam perjalanan hidup dan itu pun menjadi bekas yang memilukan. Ada kalanya di mana kesuksesan mengiringi langkah kita dan kita amat bahagia karenanya dan mencatat jejak langkah itu sebagai sesuatu yang membahagiakan.
Dan bukan itu saja, jejak langkah kita bermula ketika kita lahir di dunia ini. Mengecap indahnya sekaligus pahitnya hidup, dari bayi sampai suatu saat nanti ketika kita harus dipanggil oleh Yang Kuasa. Termasuk di dalamnya peristiwa pertama masuk sekolah, lulus SD sampai lulus kuliah (S1-S3). Cinta monyet, berpacaran, menikah, sampai kepada menimang cucu di suatu saat nanti. Hidup adalah sekumpulan jejak langkah yang tertinggal. Setiap langkah yang pernah kita buat merupakan bagian dari kehidupan kita seluruhnya.

Hidup memang hanya sekali. Karena itu rasanya sayang jika kita menyia-nyiakan kesempatan yang datang dalam hidup ini. Ada kalanya kita mengambil keputusan yang salah dan ada kalanya keputusan itu tepat. Dan kesemuanya itu menjadikan jejak-jejak langkah kita di bumi menjadi semakin bervariasi. Apa pun yang terjadi, kita tetap melangkah. Terkadang dengan pasti, terkadang diliputi keraguan yang besar. Tetapi kita tidak berhenti. Kita tetap melangkah.

Dalam setiap jejak langkah, setidaknya ada orang lain juga yang melangkah bersama kita. Entah itu seorang teman, seorang sahabat, salah satu anggota keluarga, atau mungkin seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya. Ada kalanya pula, kita merasa melangkah sendirian. Menjejakkan kaki di bumi yang semakin panas ini seorang diri. Tetapi sebetulnya ada satu sosok yang selalu setia berjalan bersama kita. Melangkah dalam hidup ini bersama-sama dan tak pernah berlalu dari kehidupan kita. Puisi berikut ini yang pertama kali ditulis di tahun 1934 oleh Mary Stevenson, rasanya mampu menjelaskan dengan baik siapa sosok itu sebenarnya.

Footprints in the Sand

One night I dreamed I was walking along the beach with the Lord.
Many scenes from my life flashed across the sky.
In each scene I noticed footprints in the sand.
Sometimes there were two sets of footprints,
other times there were one set of footprints.

This bothered me because I noticed
that during the low periods of my life,
when I was suffering from
anguish, sorrow or defeat,
I could see only one set of footprints.

So I said to the Lord,
"You promised me Lord,
that if I followed you,
you would walk with me always.
But I have noticed that during
the most trying periods of my life
there have only been one
set of footprints in the sand.
Why, when I needed you most,
you have not been there for me?"

The Lord replied,
"The times when you have
seen only one set of footprints in the sand,
is when I carried you."
(By Mary Stevenson)


Terima kasih, Tuhan karena Engkau selalu menjagai kami dan menopang kami. Ketika kami merasa sendirian, Engkau tengah menggendong kami. Sehingga hanya satu jejak langkah yang kelihatan di mata kami.

Mary Stevenson sendiri menciptakan karyanya di tahun 1934. Ibunya meninggal ketika dia berumur 6 tahun dan ayahnya membesarkan delapan anak sendirian. Tidak mudah. Dan Mary juga mengalami zaman ‘great depression’ di Amerika dan ingin membagikan hasil karyanya untuk memberkati banyak orang. Namun, banyak orang mulai menuliskannya lalu menempatkan di bawahnya ‘author unknown’ (pengarang tidak diketahui/tidak dikenal). Di umur 16 tahun, dia menikah dan melarikan diri akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Akhirnya dia menemukan cinta sejati di perkawinan keduanya. Namun, suaminya meninggal karena penyakit jantung. Dia hampir saja melupakan karyanya, namun dia menemukan kembali tulisan itu di kertas yang sudah cukup tua. Dan mulailah dia mengejar hak cipta bagi puisinya tersebut. Ketika Mary meninggal di tahun 1999, dunia sudah mengakui bahwa dialah pengarang puisi terkenal itu.

Pengalaman Mary yang dituangkan dalam bentuk puisi sungguh berharga. Bagi saya, apa yang telah dialaminya betul-betul dia tumpahkan dalam bentuk karya yang luar biasa. Dengan iman yang kuat, Mary merasakan hadirat Tuhan dalam setiap jejak langkahnya. Walaupun dalam kesendirian dan kesepiannya, dia tetap berkomunikasi dengan Tuhan. Dari situlah dia mendapatkan pengertian baru bahwa Tuhan selalu menggendongnya dalam setiap jejak langkahnya.

Saat ini, mungkin ada di antara kita yang merasa sendirian. Kesepian. Terasing. Seolah hidup di planet Mars saja, padahal kita ada di bumi ini. Namun, dalam setiap detik yang bergulir, waktu yang berjalan, langkah yang tercipta, Tuhan ada di sana. Tuhan ada dalam setiap momen hidup kita. Tuhan selalu menopang kita walaupun kita tidak merasakannya. Biarlah kita meninggalkan jejak langkah yang berharga di bumi ini. Dan ayunan langkah kaki kita akan semakin berarti, ketika kita merasa ada teman yang bukan saja setia tetapi betul-betul ada dalam setiap saat, setiap waktu, dalam hidup kita. Tuhan sendiri.

Singapura, 29 Oktober 2009
-fon-


sumber gambar: http://images2.layoutsparks.com/1/251300/footprints-in-the-sand.jpg

No comments:

Post a Comment