Thursday, October 15, 2009

Insomnia



Tik tak tik tak…

Jam di kamarku berbunyi. Tiap detik, tiap waktu, kudengarkan bunyi itu. Lagi. Lagi dan lagi.

Kucoba memejamkan mataku. Mencoba menghitung ada berapa anak kambing yang kukumpulkan dalam imajinasiku. Anak kambing? Atau anak domba? Atau … anak sapi? Entahlah…Aku tak tahu pasti. Yang aku tahu bahwa aku hanya berusaha menghitung mundur kali ini. Dari seratus, sembilan puluh sembilan, sembilan puluh delapan, dan seterusnya. Menghinggapi angka tujuh puluh, aku sudah kehabisan kesabaran. Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Mataku terpejam, namun pikiranku mengembara. Pergi, melanglang buana, sesuka hatinya. Itu yang membuatku semakin tak bisa tidur.

Buat sebagian orang, apa susahnya tidur? Tinggal hanya menempelkan kepala di bantal, langsung lelap… Zzzz…

Kadang aku merasa iri dengan mereka, yang seolah tanpa beban. Atau mereka punya beban, namun mereka mampu mengatasinya sebelum tidur. Sehingga bisa tidur dengan damai. Tidak seperti diriku. Yang lagi-lagi dilanda badai sulit tidur. Dan badai ini harus kuhadapi tiap hati. Tiap detik ketika kuputuskan merebahkan badanku yang letih di tempat tidur ini. Kadang aku hanya ingin tidur lelap satu jam saja… Dua jam juga tak mengapa. Karena bagiku tidur satu jam dengan lelap itu sudah satu kebahagiaan yang sulit kucapai. Karena aku berpikir terlalu keras… Bahkan di saat menjelang tidurku…Dan sampai ketika tidur pun, kepalaku tak mau berhenti. Ah, penuh sekali rasanya…!

Kali ini bunyi-bunyian yang keluar dari mulut penghuni kamarku semakin dominan. Ada cicak, tokek, dan nyamuk berpesta pora. Tidak setiap malam mereka berkumpul. Namun, ada kalanya mereka melakukan konser bersama. Di tengah malam, kesyahduan suara koor mereka menggangguku. Membuatku semakin ingin pindah dari kamar ini. Pindah? Yakin kamu? Iya, yakin… !
Satu sisi hatiku berkata begitu. Namun, sisi hati yang lain meningatkan pula bahwa pindah tak menyelesaikan masalah. Bukan berarti di kamar yang mewah dengan toilet bersih bak di hotel bintang
lima aku bakal tidur nyenyak. Bukan berarti tinggal di rumah indah, cantik, berkolam renang bak vila di kawasan Seminyak-Bali bakal membuatku tidur lelap. Bukan!
Kalau bukan itu semua, lalu apa?

Mungkin pikiranku. Mungkin perasaanku. Mungkin pula hal-hal di bawah sadarku. Lukaku, ketakutanku, yang sering kukubur dalam-dalam. Di malam hari ini, mereka datang kembali, menyeretku dan bermain dalam pikiranku. Dalam benakku. Tak mau pergi. Sampai ketika pagi menjelang.

Kalau itu pikiranku… Pikiran soal apa?

Kalau itu perasaanku… Perasaan yang mana?
Kalau itu luka lamaku…Luka yang seperti apa?

Semakin berusaha mencari, semakin tak mampu aku menemukannya. Dalam diam, kupikir, mungkin doa adalah satu-satunya cara. Mulailah kubuka mulutku, berdoa. Dari doa yang sederhana: Doa Bapa Kami, Doa Salam Maria, sampai doa pribadi dengan kata-kata sederhana yang semacam curhat dengan Dia mulai kulakukan. Curhat dari yang lucu, ceria, sampai kepada hal-hal yang membuatku sedih di hari itu. Semakin lama, aku semakin terlarut. Terhanyut dalam kedekatan relasi. Terhanyut dalam intimasi. Intimasi yang dalam dengan-Nya.

Tetapi, herannya lagi, hari itu.. tidak juga membuatku tidur. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Sementara esok, tugas segunung sudah menanti. Kantorku pun masuk pukul 8 pagi. Tambah memikirkan hal ini, semakin aku tak mampu tidur lagi.. Aduhhh, bagaimana ini?

Tik tak tik tak…

Jam masih sibuk berdetak, berpacu dengan detakan jantungku yang kurang teratur. Gelisah.

Kucoba memejamkan mata sekali lagi. Mungkin hal itulah yang tidak selalu bisa kulakukan. Ingin tidur tapi tidak selalu memejamkan mata. Terkadang terpejam, terkadang terbuka kembali. Terkadang aku pun sibuk mengerjapkan kedua mataku. Karena ada ketakutan yang dalam. Ada kekuatiran bahwa ketika esok aku terbangun, mungkin keadaan ini tak akan pernah lagi sama. Aku takut mati! Aku takut meninggalkan hidup dan kehidupanku. Serta semua orang yang memenuhi hidupku, memberikan warna. Ada yang memberikan warna indah dan ceria. Ada pula yang memberikan warna kelabu, setengah abu-abu, ataupun kehitaman. Kelam. Membawaku ke arah kegelapan mendalam. Kesedihan tanpa batas.

Tapi, aku takut mati. Aku takut, ketika besok pagi kuterjaga, aku kehilangan itu semua.
Mungkin aku memegang erat hidupku terlalu kuat. Terlalu erat aku memiliki keterikatan atas hidup ini. Terlalu!

Aku sendiri tak mengerti. Padahal aku masih seorang diri. Menikah pun belum. Anak tak punya, pasangan hidup belum ada. Jadi, apa yang kupegang erat-erat?

Aku masih tak mengerti.
Namun, diam-diam kejujuran menguakkan hatiku sekali lagi. Dan membeberkannya sekali lagi ke otakku. Memenuhi seluruh kepalaku saat ini. Aku merasa letih, sendirian. Di saat aku memegang erat seluruh kebebasanku ini. Aku takut kehilangan kebebasanku. Itu yang membuatku tak juga mau berlabuh. Tak juga mau memiliki kekasih. Karena aku takut kehilangan. Bukankah kehilangan itu adalah menyakitkan. Memiliki seseorang yang dikasihi begitu dalam, kemudian hilang begitu saja, bukankah itu kesedihan tak berujung? Tak mampu kujelaskan dengan kata-kataku…

Aku hanya diam. Terpaku. Namun, kini aku sedikit mengerti.

Aku gila kebebasan. Sekaligus aku terikat padanya. Aku takut punya pasangan, takut punya anak, sekaligus aku begitu mengingingkan mereka sebetulnya untuk mengisi kekosongan hatiku. Untuk sekadar mampir dan memberikan sedikit kehangatan agar menyinari rongga dadaku yang sepi ini.

Aku mau hidup selamanya, bebas, sekaligus aku juga ingin satu waktu pulang dalam senyuman setelah menunaikan kewajibanku di dunia ini. Aku ingin pulang dalam diam. Dalam damai, dalam senyuman. Menyambut persatuan yang abadi dengan Sang Pencipta.

Aku… Aku… Aku bingung. Begitu banyak hal yang sepertinya bersifat paradoks. Saling bertentangan. Tanpa mampu kujelaskan satu per satu. Mengapa yang satu tak menunjang yang lain? Malahan yang satu berseberangan dengan yang lain?

Tik tak tik tak…

Jam masih berdetak. Hatiku sedikit tersentak. Nafasku tak lagi berontak. Semua mulai teratur… Semua mulai menampakkan jalurnya…

Aku ingin hidup. Sekaligus aku amat ingin mati. Karena hidup dan mati pun punya kebaikannya sendiri-sendiri. Dan kematian itu kunantikan, karena aku hanya inginkan kedamaian.

Damai yang sering terlewatkan dalam hidupku di dunia…

Misteri ini mulai sedikit terkuat dan terpecahkan. Aku ingin hidup, Tuhan! Aku ingin hidup dengan bahagia, sukacita, dalam damai sejahtera. Aku ingin menjalani hari-hariku dengan senang hati. Dalam apa pun kejadian yang kuhadapi.

Dan yang terutama, Tuhan. Aku ingin tidurrr… Tidur nyenyak hari ini dan selamanya. Selagi masih kau berikan aku nafas kehidupan. Izinkan aku mengecap pula pulasnya tidur. Lelapnya meletakkan kepalaku di atas bantal kepalaku sambil memeluk bantal gulingku.

Insomnia, enyahlah…!
Ganti oleh kekuatan baru yang menyusupi hatiku pelan-pelan. Keyakinan yang baru. Aku tak takut apa pun. Asal Tuhan besertaku.

Kusunggingkan senyuman… Dan, yes! Aku terlelap…

Tik tak tik tak…

Kupandangi jam di dinding kamarku. Yeiii! Aku bersorak girang. Aku berhasil tidur dari pukul tiga dan sekarang pukul tujuh pagi.

Sungguh suatu prestasi!

Kubuka lemari pakaianku. Kuambil baju dan celana panjangku untuk ke kantor di hari itu.

Aku tertawa. Aku tersenyum lebar.

Terima kasih, Tuhan! Insomnia… Cukup sudah bertahun-tahun aku menjadi sahabat karibmu. Mulai malam ini, kita putus hubungan…PHK…Putus Hubungan Keakraban.

‘Bye-bye!’

Singapura, 16 Oktober 2009

-fon-


sumber gambar:

http://www.medichere.com/wp-content/uploads/insomnia.jpg

No comments:

Post a Comment