Thursday, October 22, 2009

Tentang Hidup dan Kehidupan


Satu minggu yang lalu…

Satu hari yang penuh kebosanan dan rutinitas berlalu. Sepertinya tidak ada yang spektakuler yang dialami di hari ini. Semuanya sama. Cenderung monoton. Seolah kehilangan percikan kejutan yang membahagiakan.

Melakukan hal yang sama: aktivitas yang sama, pekerjaan yang sama, naik bus yang sama, naik kereta yang sama, bertemu dengan orang-orang yang lagi-lagi sama. Katanya hidup itu menyenangkan… Katanya hidup itu indah. Tapi, koq hanya sebatas ini saja?

Mana keindahan yang pernah menyentuhku dan diam berlama-lama di hatiku? Aku rindu kedatanganmu, aku rindukan hadirmu. Karena saat ini aku tak mampu menatap kemolekanmu… Ayo, tunjukkan paras cantikmu padaku hari ini, esok, atau beberapa waktu ke depan! Aku tetap mengingingkan sapaanmu yang ramah. Senyuman yang semringah. Indahnya hidup yang pernah kurasa. Nyaris tak bersisa.

Tiga hari yang lalu…

Hari yang tidak terlalu membosankan, walaupun berjalan pelan. Hari yang cukup membahagiakan. Tak ada keluhan berarti, semua lancar dan baik-baik saja. Sampai di sore hari, kudengar kabar yang tidak mengenakkan. Seorang kerabat menderita sakit parah.
Lagi-lagi hidup menyapaku dengan salam yang kurang ramah. Dan terpikir, bukankah beberapa hari yang lalu kuinginkan kejutan itu? Bukankah aku yang menanti-nantikan adanya satu keindahan dalam bentuk kabar yang membahagiakan? Akhirnya, hidup memberikanku kejutan. Bukan kejutan manis seperti yang kuinginkan. Bukan kado terindah diiringi senyuman. Namun, berita yang membuatku berdiam diri, bersembunyi sekali lagi di balik perisai yang masih tersisa. Perisai diri menghadapi gejolak tak menentu dari Sang Hidup dan kehidupan itu sendiri.

Hidup memang tak pernah mudah. Tak pernah mulus. Kalau hidup itu mulus dan hanya penuh keceriaan, malahan hidup akan jadi monoton dan tak lagi menyisakan seni kehidupan itu sendiri. Karena dia tak tertebak, tak bisa dikira-kira akan berjalan ke arah mana, membuat hidup itu menjadi dinamis, lincah, dan berbeda. Berbeda dari skenario yang ada di kepala dan penuh tantangan dan kejutan pula di tiap episodenya.

Mungkin, hidup harus dihadapi dengan sikap hidup yang berbeda?

Hari ini…

Life is difficult. This is the great truth, one of the greatest truths—it is a great truth because once we see this truth, we transcend it. Once we truly know that life is difficult – once we truly understand and accept it – then life is no longer difficult. Because once it is accepted, the fact that life is difficult no longer matters. (Sumber 1 : The Road Less Travelled – M. Scott Peck).

Kata Scott Peck, hanya dengan menyadari bahwa hidup itu sulit, maka saat itulah hidup takkan jadi sulit lagi. Karena dengan menerima kenyataan yang ada, tidak lagi mengingkarinya, hidup jadi tidak terlalu sulit. Hidup memang sudah sulit, koq :)

Masalahnya manusia terlalu sering berharap banyak pada hidup. Berharap bahwa bakal ada kegembiraan senantiasa. Jangan berakhir. Jangan berubah. Jangan pernah ada duka, kecewa, dan putus asa. Dan itu yang membuat orang menjadi tambah frustrasi. Karena hidup tak lagi ramah, tak lagi penuh senyuman, namun berisi satu problem ke problem lainnya.

Agama Buddha memiliki pandangan yang tepat dengan mengatakan hidup adalah dukkha. Sekumpulan permasalahan yang berisi ketidaksesuaian kenyataan dengan angan-angan. Itu berarti berpisah dengan orang yang dikasihi, bertemu senantiasa dengan orang yang dibenci, adalah bagian dari dukkha itu sendiri.

Sedangkan bagi pemeluk Kristiani, kitalah yang membuat hidup itu sulit. Sulit bagi kita dan sesama. Yesus membuka rahasia kerajaan-Nya bagi anak-anak kecil yang diyakini tidak mempersulit hidup mereka sendiri, malahan mereka begitu senang dan suka cita di tiap hari mereka. Walaupun mereka bisa menangis, bermusuhan, namun itu tak berlangsung lama karena mereka bisa berbaikan kembali dengan cepat. (Sumber 2)

Hidup itu penuh kesulitan. Jadi, kesulitan hidup bukan suatu hal yang mengerikan. Itu adalah kenyataan yang tak pernah dapat dipungkiri. Sekaligus tidak juga menjadikannya penuh ketakutan. Mentang-mentang penuh kesulitan, apa kita harus menghadapi hidup dalam debaran jantung yang takut senantiasa?

Tidak juga… Karena kita tahu, kita punya tempat bergantung di saat kita tak mampu melakukan apa pun. Di saat doa sudah tak mampu mengeluarkan kata-kata indah. Dan yang ada hanyalah tetesan air mata.

Di saat seluruh teman terdekat tak ada di sisi, di saat seluruh anggota keluarga memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Di saat hidup seolah tak bersahabat sama sekali.

Di saat itu rasanya aku sungguh sendirian. Dan di saat itu pulalah, dalam kesendirianku, kucari Dia. Kutemukan kembali wajah-Nya yang ramah. Senyumnya yang ceria. Senyum yang menguatkanku dan membangkitkanku kembali.

Hidup tidak menjadi ceria. Hidup masih sama dengan segala permasalahannya yang kadang tak pernah bisa terpikir oleh keterbatasan otak manusia.

Namun, ada kekuatan baru dalam diri untuk menghadapi hidup hari ini dan seterusnya. Karena tak lagi merasa sendirian. Karena ada satu figur yang memampukan kita semua untuk bertahan, berjalan dalam suka cita meskipun dalam topan badai sekalipun.

Bukan hal yang mudah untuk tetap tersenyum dalam segala tumpukan permasalahan yang selalu membuat sesak dada ini. Namun, bersama Sang Empunya hidup itu sendiri yang sedang berjalan bersama-sama kita, apakah kita perlu takut? Bersama genggaman tangan-Nya dan senyum damai-Nya, aku tak lagi merasa sendirian.
Indahnya hidup kurasakan bukan karena keindahan yang tak pernah pergi, tak pernah sirna, tak pernah berakhir.

Namun, ketika keindahan itu pergi, aku masih bersama Si Pemilik Keindahan Sejati yang menciptakan semuanya ini. Dia menemaniku. Saat ini dan selamanya.

Singapura, 23 Oktober 2009,

-fon-

* Sumber

1. buku Scott Peck, The Road Less Travelled

2. Website : http://livinghour.org/blog/daily_motivationals/life-is-not-difficult/


Sumber gambar :

http://chrisaltrock.com/wp-content/uploads/2009/08/side.jpg

No comments:

Post a Comment