Saturday, October 3, 2009

Ibu Rumah Tangga Berkualifikasi Tinggi


Tulisan ini juga sudah ada di kepalaku dalam bentuk ide, kurang lebih dua minggu yang lalu. Ketika temanku di Singapura ini menceritakan latar belakangnya di tengah-tengah obrolan kami. Dan sepertinya agak senada namun dengan sisi yang sedikit berbeda dengan tulisan-tulisan rekan-rekan Nulisers di Yuk Nulis beberapa waktu yang lalu. Setelah sebelumnya ada tulisan Lini yang berjudul “Dari Ibu Rumah Tangga Jadi Pembantudan tulisan Femi dengan judul “Pernyataan : Menjadi Babu Sejenak, tulisan ini mungkin bisa dimasukkan dalam seri Ibu Rumah Tangga sebagai bentuk pilihan:)

Awalnya, hendak kuberi judul over-qualified housewives, biar agak saingan dikit sama desperate housewives hehehe… Tapi akhirnya kuputuskan untuk menuliskan judul seperti di atas, dalam bahasa Indonesia tercinta.

Langsung saja ke pokok permasalahannya. Dari obrolan dengan seorang teman, tepatnya mama dari salah satu teman sekolah Audrey di playgroup, aku baru tahu kalau latar belakangnya cukup cemerlang.

Waktu pindah ke Singapura tak lama sesudah kerusuhan tahun 1998, temanku ini, sebut saja Shella (bukan nama sebenarnya), sempat mengenyam pendidikan S2. Jadi, gelar yang diperolehnya adalah dari National University of Singapore (NUS) dan gelarnya adalah Master of Science (M.Sc). Katanya sih waktu itu dia bingung untuk memilih apa harus kursus bahasa atau kuliah lagi. Karena biayanya lebih mahal untuk kursus bahasa, dia memutuskan untuk kuliah lagi. Dan dia menyelesaikan program Master-nya itu. Dan lulus di tahun 2000, dengan kondisi perekonomian yang lebih parah dari sekarang ini, dia tidak mendapatkan satu pekerjaan pun. Alasannya klise, boss tidak mau menerima tamatan S2 karena berpikir si lulusan S2 ini akan minta gaji tinggi. Kalau dibayar seharga S1 apa dia mau?

Juga, kondisi perekonomian Singapura dan dunia yang tidak menunjang, ‘timing’ yang tidak pas ketika dia mencari kerja, membuatnya jadi pengangguran.

Tahun demi tahun berlalu. Tiga anak sudah lahir dari hasil perkawinannya. Dan akhirnya, dia tak pernah lagi melamar satu pekerjaan pun. Lalu, memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga sepenuhnya. Ada yang bilang istilahnya Full Time Housewife atau Full time Mom. Ada juga yang bilang Stay at Home Mom.

Dan dia yang sehari-hari saya lihat, amat sederhana. Jemput anak sekolah, antar anak les, mencoba resep masakan dan melakukan kegiatan-kegiatan ibu rumah tangga pada umumnya. Tidak ada bedanya, kecuali memang dia bergelar Master dan memilih untuk mendedikasikan hidupnya bagi anak-anaknya.

Mungkin juga karena dia tinggal di Singapura yang tidak memungkinkan dia bekerja. Dalam arti, dengan kondisi 3 anak, sulit punya pembantu 3 orang atau baby sitter 3 orang seperti di Indonesia. Satu orang saja, harganya sudah 700 dollar untuk pembantu (Rp. 4.900.000) dan 1500 dollar untuk baby sitter (Rp. 10.500.000). Mana sanggup kalau harus punya 3, kecuali memang mampu betul kali yaaa :). Selain itu, hal tersebut adalah pilihan dirinya, karena sang suami pun mendukung dirinya untuk berkarya penuh di rumah tangga mereka. Karena memikirkan nasib 3 anak yang sudah dititipkan Tuhan padanya.

Saya yakin, pengalaman Shella bukanlah satu-satunya. Masih banyak Shella-Shella lain yang saya jumpai dan masih banyak pula Shella-Shella lain dengan kondisi yang sama tetapi tidak saya kenal. Di Facebook-pun ada beberapa teman yang tinggal di Australia, Jepang, dan Amerika Serikat yang kemudian memilih menjadi full time housewife dengan berbagai alasan. Dan saya tahu kualifikasi mereka bukan main-main. Lulusan luar negeri, minimal S1 dan ada yang S2. Ada yang bahkan karirnya sudah mencapai salah satu posisi puncak.

Di Indonesia sendiri, saya pun menjumpai banyak teman yang juga memilih menjadi full time mom dengan kondisi pendidikan yang sama, lulusan luar negeri, lulusan lokal pun ada. S1, S2, bertebaran …

Ada yang juga menikmati karir yang menanjak, hampir sampai puncak, namun memutuskan untuk berhenti. Padahal saya tahu, gaji dia mendekati angka Rp. 50 juta per bulan atau bahkan lebih.

Pada akhirnya, berkaca pada pengalaman teman-teman saya dan juga melihat pengalaman diri saya sendiri, saya betul-betul memahami kalau menjadi ibu rumah tangga penuh waktu adalah pilihan. Pilihan yang memang tidak mudah. Pilihan yang terkadang terasa sulit, karena harus mengorbankan banyak hal. Seolah uang sekolah dan ketekunan bertahun-tahun harus habis, lenyap begitu saja. Memang itulah yang terjadi, ketika kita hanya berpikir bahwa uang adalah yang terutama dan harus dicari terus tanpa henti. Sayang, ada kesempatan untuk meraih uang lebih lewat pengalaman dan kualifikasi yang begitu tinggi koq tidak dimanfaatkan. Adanya opportunity cost yang hilang akibat tidak bekerjanya si Ibu.

Namun, di balik itu semua… Nasib anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka juga dipertaruhkan. Memang, tidak ada jaminan bahwa orang yang merawat anaknya sendiri, anak-anaknya pasti lebih pintar, lebih baik, atau lebih sukses dibanding yang dirawat oleh pembantu atau nanny. Yang ingin saya tekankan hanyalah, hidup adalah pilihan. Ketika seorang wanita memilih untuk menyerahkan segala masa depannya : karirnya, pendidikannya, dan kemungkinan untuk ikut menyumbang secara finansial bagi keluarga, dia melihat kemungkinan lain yaitu mendidikasikan diri bagi anak-anaknya. Melayani mereka secara purna waktu.

Memang, ada pula yang tidak bisa berhenti bekerja dikarenakan faktor ekonomi. Misalnya gaji suami tidak cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari keluarga, sehingga sang istri harus turun tangan.

Namun, ketika gaji suami mencukupi untuk istri tinggal di rumah, banyak pula istri yang rela menerima kenyataan yang walaupun over-qualified, tetapi memilih ‘karir’ sebagai Ibu Rumah Tangga demi keluarga. Dengan konsekuensi kehilangan teman dari lingkup kerja, kehilangan kesempatan untuk tampil cantik dan keren untuk ke kantor (karena kalau di rumah, tidak mungkin juga pakai jas kan ya? J), kehilangan opportunity cost untuk mendapatkan uang dari gaji, bonus, tunjangan, dsb.

Namun, bila itu adalah pilihan hatinya, sungguh mulia dan tentunya patut diberi dukungan!

Shella mengajarkan saya kesederhanaan dalam hidup yang bersahaja. Apa adanya. Tidak neko-neko. Tidak sok, sombong, ataupun arogan. Kata-kata itu jauhhh sekali dari gambaran dirinya.

Over-qualified housewives ada di mana-mana. Di sekitar kita. Mungkin juga diri kita termasuk di dalamnya. Jadi, si S2, si Master of Science itu tadi dengan fasih menyapu-mengepel-memasak-mengurus anak-mengurus rumah-membantu suami-pusing ikut memikirkan PR anak- dan seterusnya…

Ini mungkin amat berbeda dengan pandangan yang ada di masyarakat umum yang menyatakan ketika mengerjakan sedikit pekerjaan rumah tangga sama dengan pembabuan diri. Karena menganggap diri lebih tinggi, diri lebih hebat dari maaf…seorang babu, seorang pembantu…

Pembantu juga manusia yang tidak sepantasnya direndahkan. Dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan penuh dedikasi dan cinta, serta melupakan kebesaran milik dirinya di masa lalu (kesarjanaannnya, gelar Master-nya, direktris ataupun manager-nya), membuat ibu rumah tangga semacam ini layak menerima bintang yang disematkan di dadanya. Karena mereka layak dapat bintang. Bintang kesetiaan, bintang kerendah-hatian, dan bintang penerimaan/keikhlasan.

Dan dengan over-qualified housewives yang mengajar dan mendampingi anak-anaknya, aku pun menaruh harapan besar, semoga anak-anaknya menjadi anak-anak yang baik dan cerdas.

Akhir kata, tulisan ini tidak pernah dimaksudkan untuk menyinggung para wanita karir yang juga adalah seorang Ibu, para Ibu yang bekerja. Anda pun punya beban yang tidak mudah untuk membagi tugas antara keluarga dan pekerjaan. Belum lagi diri sendiri yang juga membutuhkan waktu pribadi. Namun, saya kira, tak perlu juga bersombong diri dengan menganggap bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga dan memelihara anak sendiri adalah pekerjaan hina, pekerjaan kelas dua atau bahkan kelas sepuluh mungkin? Karena dianggap terlalu rendah. Bukan pula pekerjaan pembantu atau baby sitter semata. Karena ketika seorang wanita berpendidikan memilih mengerjakan itu semua, dia sadari semua konsekuensinya. Yang walaupun tidak mudah, melelahkan, bahkan lebih letih dari kerja kantoran…Namun, itulah bukti cintanya bagi keluarganya.

My full support for high quality housewives out there! Jangan berhenti untuk mendedikasikan diri bagi keluarga. Saat ini mungkin kondisi terasa sulit, lelah, letih, semua bercampur menjadi satu. Kalau status FB teman-teman bilang hari ini jadi Oshin, minggu ini jadi Oshin, tapi bagi ibu RT purna waktu….forever Oshin donk? Kasihan? Nggak juga… Biasa saja, tuh…

Karena aku tetap yakin, pada suatu saat nanti, hasil jerih payah ini akan terlihat pula. Semoga.

Singapore, 3 Oktober 2009

-fon-

* mulai ditulis sekitar 1 Oktober, finishing touch di hari ini.

Sumber gambar: http://cu1turesponge.files.wordpress.com/2009/08/feminist-housewife.jpg

2 comments:

  1. ^.^d i like this....very very like it!!!

    aku seorang wanita karir tp menjadi ibu rumah tangga adlh hal yg sgt aku idamkan,...sebagai seorang wanita ingin rasanya saya dedikasikan seluruh waktu saya untuk melayani suami dan anak2....semakin mereka membutuhkan saya semakin saya tau betapa berharganya saya untuk mereka....dan itu adalah sebuah bayaran yg jauh lebuh mahal drpd saya bekerja di perusahaan manapun...

    ReplyDelete
  2. @ Resi: trima kasih buat komentarnya dan kesediaannya mampir di blog ini:) Baguslah kalau ada kesadaran seperti itu. Walaupun harus diakui, melayani di rumah: anak-anak dan suami itu, bukan pula pekerjaan mudah. Karena terkadang tanpa istirahat, gak bisa cuti, bahkan gak ada gaji dan bonus... Bagi mereka yang pernah bekerja, pasti merasakannya juga... Tetapi, memang itu sesuatu yang mulia. Dan tentunya pilihan setiap orang karena kondisi tiap orang berbeda dan tidak bisa digeneralisasi. Semoga suatu saat impianmu bisa terwujud nyata. Salam:)

    ReplyDelete