Sunday, November 22, 2009

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-3)



***Catatan minggu ke-3 di Saigon

Pasar Tradisional dekat rumah…

Akhirnya jadi juga saya pergi ke pasar tradisional dekat rumah. Di hari minggu, pukul enam tiga puluh, saya mengenakan pakaian kebangsaan ke pasar (belum ada sih sebelumnya, baru mau diadakan). Kaos agak belel dengan celana sebatas lutut. Sandal pun dipilih yang nyaman, siapa tahu harus berlari dari kejaran sepeda motor ( ‘ge er mode on’, sapa juga yang mo ngejer? Hehehe). Berbekal kantong belanja berbahan kain yang ‘environmentally friendly’, kalkulator Cas*o, buku notes kecil dan bolpen. Saya berangkat. Oh, tentunya bawa uang. Kalau nggak, berabe lagi. Sudah gak bisa ngomong, mau ngutang lagi? Tinta mungkin lah yaw :P

Perjalanan ke pasar singkat. Kurang dari sepuluh menit. Saya mulai menelusuri barang apa saja yang bisa dibeli dan mau dibeli. Saya memilih buah-buahan dan sayuran, serta sedikit daging. Pertama di ‘counter’ daging. Ambil secumplek daging (secumplek, apa lagi tuh? Istilah sendiri. Yang penting saya ngerti, Anda ngerti, cukup sudah…hehe), langsung tanya, “ How much?” sambil ngeluarin kalkulator. Dia memberikan angka 28 ribu dong (sekitar 15 ribu rupiah). Oklah, masih murah meriah. Ambil lagi cumplekan kedua daging. Tambah 10 ribu dong katanya. Ok, bungkusss!

Beli mangga juga sama. Tapi kalkulator kurang terpakai, karena pake bahasa isyarat ternyata lebih afdol. Tidak salah dulu kita diajar berhitung dengan jari, karena terasa betul manfaatnya di sini. Untung saya tidak pernah membolos pelajaran berhitung (kayak susah aja ya pelajarannya hihi), jadi saya fasih menggunakan jari-jari saya. Dan itu ternyata amat bermanfaat di sini. Tak pernah saya kira ck ck ck…(lebay neh critanya:)).

Setelah menggondol sayuran, buah dan daging plus cuci mata sepanjang pasar melihat kemolekan ‘dragon fruit’, nanas, ikan, daging, ayam dan teman-temannya, saya pulang dengan tidak sukses. Karena nyasar! Udah nyasar, bawaan agak berat lagi. Akhirnya saya pulang juga, sampai dengan selamat. Oh iya, saya juga membeli bahn mi (semacam roti tradisional Vietnam dari roti baguette Perancis dengan isi daging, sayuran dan acar). Masih dalam bahasa isyarat juga. Sukseslah pengalaman pertama ini! Dengan kurang dari 150 ribu dong, saya berhasil mendapatkan cukup banyak barang. Saya puas. Karena kalau ke mini market, pasti harga yang saya bayarkan lebih mahal. Konsekuensinya saya dianggap orang asing dan di-‘charge’ ekstra juga tak mengapa. Apa boleh buat, resiko masih belum bisa bicara banyak dalam bahasa lokal.

Dan karena sukses, saya pun mengulang kembali di hari Kamis lalu. Jadi dalam seminggu, ada dua kali saya ke pasar. Dan sukses, Saudara-Saudara! (Ke pasar aja, bangga…Please, deh…Ya iyalah, secara pengalaman pertama. Bukannya congkak, bukannya sombong neh…).

Hari pertama kursus Bahasa Vietnam

Bahasa Vietnam tidak sesulit Bahasa Mandarin/’Chinese’ dari segi tulisan. Karena mempelajari tulisan Bahasa Mandarin perlu tahunan. Untuk membaca koran dan majalah, perlu waktu lama untuk mempelajarinya. Namun, ‘tone’ suara atau intonasi per suku kata di bahasa Mandarin ada 4. Misalnya kata “ma”. Dilafalkan dengan 4 nada berbeda memiliki arti berbeda pula. Bahasa Vietnam, hurufnya hanya alfabet biasa dengan tambahan topi di atas huruf ‘e’ misalnya. Dan huruf ‘A’ memiliki 3 bunyi. Hari pertama belajar bahasanya sudah langsung ada soundtrack ‘Killing me softly’ di telinga saya. Ternyata ribet, bow!

Strumming my pain with his fingers (one time)
Singing my life with his words (two times)
Killing me softly with his song
Killing me softly with his song
Telling my whole life with his words
Killing me softly, with his song

‘Killing me softly with those tones’, bunyinya 6 macam lho. Jadi satu kata misalnya ‘ma’ itu tadi bisa dilafalkan dengan enam cara dan memiliki enam arti berbeda. Belum lagi karena belum pernah mendengar bahasa itu sebelumnya, jadi betul-betul saya seperti makhluk planet yang mencoba belajar bahasa bumi. Anggaplah saya yang dari Planet Venus kepengin belajar bahasa bumi. Ah, sulitnya! Pengin rasanya mengakhiri seketika kursus itu dan tidak mau belajar lagi….Mending nyanyi aja ah…*Killing me softly with his song…killing me softly…*

Hari kedua belajar bahasa ini, ternyata sudah mulai tidak begitu ‘killing me softly’ lagi. Saya mulai agak merasa nyaman. Apalagi saya juga bertanya bagaimana melafalkan nama jalan yang sering saya kunjungi sehingga memudahkan saya berkomunikasi dengan sopir taksi. Lumayan menarik juga…

Dan hari ini, hari ketiga saya belajar, semakin saya senang. Hanya memang perlu waktu untuk menguasai lebih banyak. Kan pelan-pelan..Kan bahasa asing… Jadi, ya…enjoy aja, sambil menikmati pakai bahasa isyarat plus ‘English’.

Teacher, udah gak ‘killing me softly’ lagi neh. ‘Soundtrack-nya’ ganti ‘I will survive’ ya :)

Keamanan di Vietnam…

Di Singapura, ada seorang teman asal Cina yang lama tinggal di Amerika Serikat mengatakan kepada saya kalau keamanan di Vietnam kurang baik. Karena banyak copet dan sebagainya. Dan seorang teman di Vietnam yang mengajak saya ke pasar, masih ingat Cindy si ojek cantik? Juga berpesan hal yang sama. Saya tidak boleh membawa dompet kalau ke pasar katanya. Masukkan di saku kiri, kanan, depan, belakang. Dan kalau ada yang menyenggol, harus hati-hati, karena mungkin kena copet. ‘So far so good’, saya rasa keamanan di sini secara keseluruhan masih lebih baik daripada Jakarta. Terbukti, di taksi, tidak mengunci pintu mobil pun tak mengapa. Di lampu merah aman, tanpa ada yang maksa bersihin jendela dan mengancam mukul kaca pakai batu kalau tidak dikasih uang. Dan juga tidak ada gerombolan yang terkenal suka mengambil handphone dengan memecahkan kaca jendela mobil di tengah kemacetan. Vietnam Ok koq… Hati-hati tetap perlu ya, tapi secara keseluruhan masih lebih aman daripada Indonesia, ini pendapat saya pribadi yang baru sekitar 3 minggu di sini lho… Kalau salah ya, maaf deh :)

Menyeberang Jalan

Karena orang Vietnam luar biasa tertibnya dalam berlalu lintas…(tertib? Mungkin saya salah kasih istilah… yang benar luar biasa tidak tertib), makanya kalau menyeberang harus lihat depan belakang, kanan-kiri. Secara saya yang tidak jago menyeberang di Indonesia tapi jago di Singapura (ya iyalah, wong ada lampu merah buat penyeberang jalan wakakak…), di sini saya kesulitan. Mulai dari hampir ditabrak, sampai digandeng suami dan diarahkan untuk menyeberang. Karena di sini motor bisa datang dari segala penjuru tanpa peduli, tanpa kendali…Dan melawan arah? Itu hal yang biasa di sini. Sayangnya saya yang tak terbiasa…Dan mungkin harus ekstra hati-hati ketika menyeberang jalan…*Sigh*… Positifnya harus banyak latihan sport jantung dan cuek…Karena berhadapan dengan pengendara motor tercuek yang pernah saya lihat…Trotoar pejalan kaki pun milik mereka dan bukan itu saja, mobil pun naik trotoar…Tobat…tobat :P wkwkwk….

Ok, sekian dulu info di minggu ini. Kunjungan ke Saigon Notre Dame atau ‘Duc Ba’ dalam bahasa lokal, akan saya bahas di minggu depan…

Anak kampung yang (berusaha) tidak kampungan undur diri. Kalau masih agak kampungan? Ya, maklumlah…Namanya juga anak kampung hahaha…

HCMC, 23 November 2009

-fon-

* menikmati minggu-minggu pertama di HCMC, sekaligus melihat seperti apa sih hidup di negeri orang?

sumber gambar:

http://blog.tiffanywan.com/__oneclick_uploads/2008/05/ho-chi-minh-city_dsc_0199.jpg

No comments:

Post a Comment