Friday, November 6, 2009

Internet


Sebelum pindah ke Saigon

Dalam satu kali kunjungan ke Saigon sebelum saya pindah secara permanen, saya pernah mencoba ‘browsing’ beberapa situs internet lewat ‘connection’ di kantor suami. Dan hasilnya, saya merasa agak kecewa karena rasanya koq pelan betul dibandingkan apa yang saya dapatkan di Singapura. Mungkin saya juga agak terpengaruh dengan istilah Singapura sebagai ‘the most wired nation’ yang pengguna internetnya terbanyak dalam persentase, sekitar 99% waktu itu menurut harian The Straits Times (walaupun saya sadar, penduduk Singapura hanya sekitar empat juta orang termasuk ‘foreigner’ alias orang asingnya, jadi mudah saja untuk menaikkan persentase. Bandingkan dengan banyaknya penduduk Indonesia dan luasnya negara kita. Membayangkan orang di kampung pedalaman yang tak terjangkau internet, rasanya masih wajar-wajar saja di Indonesia). Memang kemudahan itu saya rasakan secara langsung, karena seluruh hal di Singapura bisa dicek di ‘website’ . Dari restoran, sekolah, sampai tempat gunting rambut. Bahkan Salon Kimage dan Toni & Guy, memuat di website mereka, berapa harga potong rambutnya dengan penata rambut pemula, senior, ataupun istilahnya ‘director’. Semua jelas dan amat transparan. Jadi, sebelum pergi ke satu salon, cocokkan dulu dengan isi kantong. Memang, untuk salon-salon di pasar yang berada di lingkup perumnas di sana (HDB = Housing Development Board), tentunya tidak memiliki website. Namun, bagi salon yang lumayan besar dan terkemuka, hal itu biasa dan harus malah!

Belum lagi kalau mau makan dan berada di daerah mana, semua ada di internet tinggal ‘surfing’ alias berselancar saja di dunia maya. Situs semacam ‘hungry go where’ memberikan informasi yang jelas plus penilaian dalam bentuk ‘rating’ dari para pengunjung restoran sampai ‘food court’ di pasar. Berbekal kemudahan semacam itu, jujur saja, hati ini agak ragu ketika harus pindah ke negara yang tidak semaju Singapura. Seperti Vietnam. Walaupun saya sempat merasakan tinggal di Indonesia dan mengerti pula bahwa kecepatan internet di sana juga tak sebanding dengan apa yang saya miliki di Singapura, namun rasa tidak rela kehilangan kenyamanan berinternet masih terasa di dada.

Sebelum pindah, saya juga mewanti-wanti suami, kalau bisa tidak terlalu lama setelah pindah kami sudah memiliki sambungan internet. Karena saya sadar, betapa saya menjadi amat tergantung pada teknologi yang bernama internet. Dimulai dari kepindahan saya ke Singapura 3 tahun lalu, saya mulai mengandalkan internet dan blog sebagai tempat curahan perasaan saya. Belum lagi hubungan dengan teman-teman di Indonesia, masih tetap terjalin melalu e-mail dan obrolan lewat situs ‘chatting’. Ya, saya rasa agaknya saya mulai ketergantungan pada internet. Suami tidak bisa menjanjikan apa pun, kecuali akan bicara kepada pemilik rumah yang kami tempati untuk segera memasangkan internet bagi kami. Ya sudah, saya pasrah, sambil membayangkan bagaimana kehidupan saya tanpa internet walaupun cuma beberapa hari saja?

Sesampainya di Saigon…

Masih dengan hati yang agak ragu dengan teknologi di sini, saya tidak berharap banyak. Paling sambungan internetnya seperti Jakarta, pikir hati saya. Dan pemilik rumah sudah mengaktifkan kembali sambungan internetnya yang selama ini dihentikan karena tempat tinggal kami ini kosong, tidak ada yang menempati. Dan karena masih bermasalah, saya menelpon orang dari Viettel, sebagai ‘internet provider’ yang kami pakai. Setelah Mas dari Viettel datang, saya menanyakan kepadanya, apa sambungan ini kecepatannya normal atau bagus? Dengan Bahasa Inggris yang tidak terlalu saya mengerti, dia menjawab normal. Ya sudah, pikir saya. Baguslah, minimal masih ada. Dan setelah 4 hari di Vietnam, barulah saya mendapatkan sambungan internet. Kalau sebelumnya saya berpikir, bagaimana hidup saya tanpa internet walaupun hanya 4 hari saja? Ternyata, bisa dijalani baik-baik saja tuh! Tidak terlalu sulit seperti yang saya pikirkan. Karena saya pun sibuk berbenah, sibuk adaptasi, dan sibuk mengurus sekolah anak kami yang baru. Jadi, waktu tanpa terasa berlalu begitu saja. Belum lagi, malamnya kami masih harus berbelanja untuk mengisi rumah. Seperti piring, gelas, gantungan baju dan sebagainya. Lagi-lagi waktu berlari tanpa terasa.

Dan akhirnya, dengan selamat sentosa saya melewati 4 hari itu dengan baik. Thank God!

Dan setelah sambungannya saya cek… ternyata oh ternyata, bahkan lebih cepat dari apa yang saya miliki di Singapura. Atau setidaknya bersaing. Dengan kecepatan 100 Mbps, ini lebih dari apa yang saya harapkan!
Satu sisi, agak malu hati, karena sedikit sombong di awalnya. Agak ‘underestimate’ kecepatan internet di sini. Dan ternyata, kata suami saya, 100 Mbps di sini sudah dianggap biasa oleh Mas Viettel (entah karena salah pengertian, entah memang sudah dianggap biasa hehe…
Eniwei, tak mengapa juga… Saya sangat senang!). Akhirnya, saya onlen..onlen… Cihuy!

7 November pukul 12 dini hari, ketika sepanjang hari Facebook saya tak bisa diakses…

Dari pagi saya mencoba masuk ke FB. Dan selalu saja peringatan ini yang muncul:

Oops! This link appears to be broken.

Dari senang, saya menjadi agak senewen. Karena banyak komentar teman terutama sehubungan dengan posting tulisan saya di FB tidak bisa saya balas. Belum lagi saya melihat dari ‘notification’ atau pemberitahuan via yahoo mail saya, di Indonesia dan Singapura, tempat tinggal teman-teman saya yang berkomentar tokh masih bisa meng-akses. Ada apa gerangan?

Saya merasa agak gusar. Tapi mau bilang apa lagi. Dan saya sadari bahwa ketergantungan semacam ini, tidak baik juga. Karena ketergantungan terhadap apa pun, tidak pernah baik. Dan saya sadar pula bahwa seringkali, di tengah menunggu bus di Singapura, dalam MRT, saya sering ‘browsing’ FB saya dan cengar-cengir sendiri membaca komentar teman-teman yang lucu serta menghibur. Rasanya memang FB dan facebook mobile bikin hidup lebih hidup, walaupun memang banyak juga kasus yang bertengkar karena komentar-komentar di FB. Yah, pintar-pintarnya kita saja untuk men-disclose (mengungkapkan) hal-hal yang boleh atau tidak di FB.

Sampai malam ini, semua situs OK, kecuali FB. Saya juga cek di google, apa komputer saya yang bermasalah? Setelah merubah konfigurasi IP, setelah pula melakukan penghapusan data ‘historical’ apa yang sudah saya akses sebelumnya, saya menyerah. Saya memilih untuk menuliskan saja hal ini. Sembari pasrah. Moga-moga besok atau lusa, si FB di Vietnam ini sudah kembali seperti semula. Dan memang, saya sadari juga, banyak yang seperti saya. Entah di meeting, entah di gereja, entah bersama pacar, entah bersama anak dan keluarga, masih sibuk dengan BB dan FB. Memang BB dan FB sudah jadi kebutuhan banyak orang. Termasuk saya. Sebagai upaya untuk tetap eksis dalam pergaulan, sebagai upaya untuk tetap ‘gaul’, sebagai upaya untuk berteman atau bersilturahmi. Teknologi memang mempermudah itu semua, sekaligus juga menyisakan konsekuensi lainnya. Suami-istri duduk bersebelahan, tapi sibuk dengan BB dan FB masing-masing. Anak-anak pun tak mau kalah, juga sibuk dengan komputernya. Di gereja atau tempat ibadah lain, orang tak mampu berkonsentrasi karena terlanjur cinta mati pada BB dan FB. Walaupun hanya satu jam atau satu setengah jam, orang tak mau ambil resiko untuk mematikan handphone mereka. Nanti dikira tidak gaul. Nanti dikira sombong. Padahal, ya Tuhan… Teknologi itu fungsinya untuk hal-hal yang baik pula. Bukan hal-hal yang menjatuhkan hubungan satu dengan yang lain, termasuk dengan keluarga dekat, juga dengan Yang Kuasa.

Hari ini, saya merasa disentil dengan pengalaman sepanjang hari yang saya alami. Tanpa fesbuk, aku tak perlu sibuk. Urus sana sini, seolah aku setengah mati. Tanpa internet, dulu kita juga hidup, kan? Tanpa FB, BB, atau iPhone, dulu kita juga hidup kan? Jadi, ketika segala sesuatunya kembali ke hal yang sederhana. Tanpa sambungan internet karena ada di tempat terpencil sampai mati lampu dan handphone yang habis baterai, ya sudah, pasrah dan menerima. Mungkin ada hal yang lain yang bisa dikerjakan. Semisal berdoa. Atau bercengkerama dengan anak-istri/suami. Atau, melakukan hal-hal yang jarang dilakukan bersama keluarga, makan malam tanpa gangguan BB, FB atau mobile phone misalnya.

Oops! This link appears to be broken…

Tulisan itu masih mendominasi layar komputer saya ketika saya mulai mengetikkan www.facebook.com. Saya masih belum berhasil meng-akses situs ini. Dan, hati saya sudah tidak resah apalagi gelisah. Masih ada hari esok. Kalau sampai tiga hari atau seminggu masih belum bisa, baru saya panggil Si Mas dari Viettel lagi. Apa ada yang salah dengan komputer saya. Atau kalau ada teman yang bisa ‘share’ apa yang salah, tolong informasikan juga. Saya juga bukan orang yang terlalu canggih untuk urusan komputer. Biasa-biasa saja. Dan akhirnya, saya mau duduk diam, berdoa kepada Tuhan, ah! Sudah lama tidak saya lakukan hal itu. Sambil nanti sesudah itu, saya ingin memandangi wajah suami dan anak saya yang tengah tidur lelap.

No fesbuk, no internet, bukanlah akhir dunia. Masih banyak yang bisa dilakukan, masih ada hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki diri. Ketergantungan akan internet dan fesbuk serta alat komunikasi canggih lainnya moga-moga bisa saya kurangi. Bagi Anda yang bisa mengontrol, saya ucapkan selamat! Bagi yang belum, yuk mareee…sama-sama berjuang :)

Saya koq yakin, Tuhan di sana tersenyum ketika kita mau mengurangi jam-jam onlen kita dan melakukan hal bagi keluarga, sesama, dan Dia.

*sotoy mode on* tapi moga-moga Tuhan tidak marah karena saya yang sesekali sok tahu ini :)

HCMC (Saigon), 7 November 2009

-fon-

* mau bobok cepetan dan melakukan hal lain yang lebih positif : berdoa atau membaca buku, atau apa saja lah, di luar onlen… onlen…*gaya Saykoji* hehehe…


sumber gambar:

No comments:

Post a Comment