Setelah tinggal di negara yang membebaskan masyarakatnya berteknologi seluas-luasnya di Singapura, saya merasakan hal yang kurang mengenakkan di Saigon. Dibatasi. Terutama dari sisi teknologi dan situs jejaring sosial ‘Facebook’. Karena pemerintah sudah melarang dan konon kabarnya masih ada beberapa ‘internet provider’ yang masih membolehkan pelanggannya untuk main fesbuk. Kecuali dua internet provider yang sudah menuruti aturan ini, termasuk penyedia jasa internet di rumah kami, Viettel.
Dengan tidak bermaksud untuk mengeluh, hanya untuk mencurahkan isi hati, saya hanya berpikir bahwa hidup dalam keterbatasan memang tidak pernah enak. Tetapi, hidup di mana pun, pasti ada keterbatasan. Pasti ada hal yang menjadi ‘restriction’ itu tadi.
Contoh di Singapura, negara yang membebaskan masyarakatnya untuk berinternet, untuk mengejar ekonomi seluas-luasnya, untuk berbelanja dengan mudah karena segala ada. Dan barang bermerek termasuk cukup lumayan, terutama kalau merek Singapura atau Hongkong seperti Samuel & Kevin, Giordano, Esprit, G2000, dan banyak lagi lainnya. Sampai merek mewah semisal Gucci, Prada, Louis Vuitton, Burberry, dan banyak merek antik yang mungkin belum pernah didengar namun memenuhi mall semisal ION Orchard. Singapura memang surga bagi para ‘shopaholic’. Yang menyediakan segala sesuatunya. Namun, di Singapura batasan itu ada pada peraturan yang ketat. Denda yang tinggi. Misalnya dilarang membawa durian jika naik MRT atau bus, karena dendanya SGD 1000 (kalikan dengan Rp. 7000, banyak kan? Dan konyol kalau karena durian harus bayar seperti itu). Belum lagi tidak boleh buang sampah sembarangan. ‘Singapore is litter free’. Konon saya dengar, dulu tetangga saya di Singapura punya pembantu orang Indonesia dan minum minuman dari ‘fast food’. Membuang sembarangan. Hasilnya, kena dengan SGD 300. Lumayan banyak juga. Di atas dua juta untuk buang gelas plastik…
Keterbatasan dan peraturan itu membuat Singapura memang bersih dan rapi. Belum lagi larangan bejibun lainnya misalnya tidak boleh membawa barang bajakan, semacam DVD, VCD. Kalau ketahuan, bisa berabe. Dan harus memakai software aseli lho… Selama di Singapura, kami selalu memperbaharui Norton Antivirus di komputer kami setiap tahun dengan membeli resmi. Dan bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan bajak-membajak, tentu saja ini merupakan siksan tersendiri. Contoh lain, tidak adanya permen karet di Singapura memang membuat Singapura bersih-rapi, tetapi anak-anak yang dari lahir sampai besar di Singapura, tidak berkesempatan untuk tahu bahwa ada kenikmatan tersendiri ketika membuat balon-balon dari permen karet bak serial ‘Lupus’ beberapa tahun yang lalu. Tinggal di negara dengan peraturan bejibun seperti itu, mau tidak mau membuat banyak orang berhati-hati. Kalau tidak, kena masalah sendiri.
Keterbatasan itu berubah bentuk di Vietnam. Kebebasan beragama boleh. Gereja Katolik banyak. Satu distrik bisa ada 2-3, bahkan 4 menurut teman saya yang Vietnam asli (namun saya belum tahu juga kebenarannya). Minimal satu distrik ada satu gereja. Siang ini, saya juga berkesempatan melihat sebuah mesjid. Setelah sebelumnya sempat melihat vihara di sini. Namun, untuk kegiatan rohani, misalnya kumpul untuk doa bersama di lingkungan. Jangan harap ada di sini. Kalau di Singapura hal itu tidak terlaksana karena individualistis dan kesibukan para penghuni negaranya. Karena pulang kerja sudah terlanjur malam, di atas jam 7, dan tidak jarang kalau tidak ada pembantu para ayah dan ibu harus mati-matian menjaga anak pula, maka dengan keletihan semacam itu jarang ada orang yang mau pergi berorganisasi lagi. Walaupun gereja tetap padat, kegiatan juga banyak, namun diisi oleh mereka yang berbau ibu rumah tangga, yang sudah ada umur, dan sebagainya. Keterbatasan itu di Vietnam, ditakutkan oleh pemerintah, kalau kumpul-kumpul merencanakan sesuatu yang membahayakan. Sebagaimana fesbuk di-‘banned’ dengan alasan adanya pernyataan atau foto yang mendiskreditkan pemerintah (ini info dari seorang teman yang juga belum saya cek kebenarannya sampai di mana). Keterbatasan selalu ada di mana-mana, dalam bentuk yang berbeda. Barang impor di Vietnam mahalnya luar biasa. Jadi malas, ketika melihat angka jutaan untuk satu tas atau sepatu. Selain memang uang yang terbatas, lagian juga pola hidup yang cukupan yang hendak diterapkan di sini. Saya memang tidak mampu membeli barang-barang yang terlalu mewah karena merasa sayang juga membelanjakan uang untuk hal-hal berbau gengsi. Belum lagi merasa tidak enak hati dengan mereka yang tidak sanggup makan tiga kali sehari, sedangkan tas yang saya pakai harganya puluhan juta rupiah misalnya. Rasanya malu sekali. Jadi, sampai sekarang saya belum beli selain juga pengangguran koq beli tas mewah? :D hahaha… Uangnya dari mana???
Di Indonesia, sebetulnya tidak banyak keterbatasan yang saya alami. Bebas berorganisasi, bebas membawa apa pun ke dalam bus. Jangankan duren, petai dan jengkol pun boleh, ‘tul gak? Hehehe. Namun, keterbatasan di Indonesia berbentuk lain. Mungkin masalah banjir yang harus dihadapi kota Jakarta, belum lagi kemacetan yang selalu jadi sumber masalah. (Dan itu pun dihadapi Saigon di sore hari sekitar pukul 17.00-19.00.) Memang kita tidak bisa memiliki semuanya. Selalu ada yang enak dan ada yang tidak. Selalu ada peraturan yang berbeda di tiap negara. Terkadang, selama hidup di Indonesia, saya sering mendengar keluhan dari beberapa teman terutama mereka yang pernah mengecap kesempatan untuk hidup di luar Indonesia sebelumnya. Banyak hal yang bisa dikeluhkan, mulai dari polusi, korupsi, ketidakadilan hukum yang berlaku, banjir, bencana alam lainnya, macet, pengaturan negara yang kurang sesuai (bahkan dulu banyak yang bilang kurang becus). Tapi sebetulnya, dengan tidak bermaksud pro pada siapa pun, mengatur Indonesia yang sebegitu luas dan besar wilayahnya dengan berbagai suku dan budaya, dengan berbagai adat dan kebiasaan, tentunya sulit. Sulit jika dibandingkan dengan Singapura yang jumlah penduduknya tidak lebih banyak dari kota Jakarta. Cuma setengahnya saja kira-kira.
Keluhan itu berganti menjadi keluhan yang lainnya di Singapura, di Vietnam, atau di negara lain. Sebut saja Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Hongkong, dan sebagainya. Sejujurnya, di tiap negara selalu ada enak dan tidaknya. Selalu ada plus-minusnya. Di tengah kondisi fasilitas dan praktisi kesehatan yang prima seperti Singapura, memang gampang mengeluhkan dokter-dokter Indonesia yang dirasakan kurang oleh banyak orang yang mampu berobat ke luar negeri. Sehingga sedikit-sedikit periksa ke Singapurrr… Memang standar yang berbeda itu harus diakui. Namun, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada banyak dokter (termasuk beberapa yang saya kenal) yang berdedikasi tinggi dan betul-betul mencurahkan perhatian penuh kepada para pasiennya. Indonesia masih menyisakan banyak dokter yang baik, tidak mata duitan, dan berhati mulia. Serta cukup jago.
Memang jumlah yang berkualitas seperti itu menjadi banyak di Singapura karena rata-rata dengan status Profesor, ‘Senior Consultant’, atau minimal ‘Consultant’ rata-rata sudah Ok betul.
Kalau mau dibandingkan, jujurnya gak akan ada habisnya. Setelah menikmati kemudahan medis di Singapura dengan kualitas prima, di Vietnam saya harus menghadapi kenyataan bahwa dokter-dokter umum maupun spesialis yang bisa berbahasa Inggris di sini adalah dokter dari Rusia, Israel, dan Filipina. Juga negara-negara yang kurang favorit lainya. Begitulah kenyataan yang memang tak bisa dipungkiri. Saya tidak mau menghakimi kemampuan mereka, namun karena keterbatasan pilihan, saya juga hanya berjalan berdasarkan rekomendasi teman. Karena yang pasti kami tak mungkin ke dokter lokal karena kendala bahasa. Berbeda di Singapura, justru kalau sakit yang ringan seperti pilek, batuk ataupun sedikit demam, dokter lokallah yang kami cari terlebih dahulu.
Keterbatasan dalam suatu negara yang sudah menjadi jatah kita, hendaknya kita bisa terima. Jatah berarti yang kita pilih ataupun dipilihkan kepada kita. Itu bisa berarti tanah air tercinta Indonesia. Atau Singapura, Australia, negara-negara di Eropa, Asia, bahkan negara-negara di Afrika. Di mana pun kita ditempatkan, baiknya berusaha menerima apa adanya sambil membuat perubahan-perubahan kecil yang berarti. Syukur-syukur bisa terlibat dalam melakukan perubahan besar. Namun, sebagai seseorang yang hidup di rantau, saya lebih memahami keterbatasan. Karena ini bukan negara saya, jadi saya memang harus lebih berhati-hati dan lebih banyak larangan bagi saya yang orang asing di negara ini untuk melakukan ini dan itu. Banyak hak kewarganegaraan yang tidak saya dapatkan. Sementara negara tercinta jauh di seberang sana. Nikmati saja, jalani saja, hadapi saja bahwa memang keterbatasan itu akan selalu ada. Sekaligus berusaha menerima dengan tidak melulu mengeluh. Karena di mana pun saya berada, akan mudah untuk melihat cacat celah suatu negara, suatu kota, suatu kampung. Namun, itu juga tantangannya untuk melihat hal-hal yang baik dari satu negara, satu desa, satu kota, satu kampung.
Keterbatasan akan membatasi kalau pikiran kita pun melakukan ‘blocking’ atas semua kesempatan yang mungkin tercipta. Sementara dari perspektif yang berseberangan, keterbatasan bisa membawa orang-orangnya bermimpi tentang sesuatu hal yang membebaskan, memerdekakan, setidaknya untuk menjadi apa yang diinginkan. Menjadi seseorang yang sudah diimpikan sejak dulu. Menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.
HCMC, 23 November 2009
-fon-
* kesan pribadi saya saat mengalami perpindahan tempat tinggal dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
sumber gambar:
http://www.hollerinrock.com/wp-content/uploads/2009/01/sb10069371c-002.jpg
No comments:
Post a Comment