Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-2)
***Catatan minggu ke-2 di Saigon…
Ojek Cantik.
Teman pertama yang saya temui, Cindy. Dia begitu ramah dan mengajak ngobrol ketika kami bertemu di KFC. Dan dia juga yang mengajak saya ke gereja lokal. Dengan tidak menguasai Bahasa Vietnam, sulit sebetulnya bagi saya untuk ke gereja lokal. Tapi, akhirnya saya setuju juga. Buat lihat-lihat dan menambah pengalaman kan tidak salah, ya? Lalu ketika Minggu tiba, Cindy membunyikan bel apartemen saya. Cindy memang tetangga saya. Dan menyerahkan helm yang harus saya pakai. Saya tadinya berpikir akan naik mobil, karena Cindy biasanya mengantar anak bersekolah dengan mobil. Tidak disangka juga saya naik motor tepat saat seminggu di Vietnam. Dan, saya Ok saja. Dulu di Jakarta juga langganan naik ojek, koq… Jadi, apa salahnya naik ojek di Vietnam? Dan ojeknya cantik pula…Oopps, maaf ya Cindy…Ini pujian buat kebaikan dan keramahan kamu koq…(untung si Cindy kagak ngerti, kalo gak kasihan juga dia dibilang ojek hehehe).
Kami ke gereja bertiga dengan anak Cindy yang pertama karena Si Anak tengah belajar agama. Singkat cerita, Cindy amat ramah, berusaha menjelaskan segala sesuatunya kepada saya yang masih belum genap seminggu tinggal di sana. Setelah misa selesai, kami langsung cabut untuk makan ‘bun bo hue’ (ini semacam pho juga atau istilahnya Cindy, ‘noodle’ dengan cara masak ala Hue, Hue adalah ibukota lama dari Vietnam ). Untuk jelasnya saya tambahkan sedikit info dari wikipedia:
Bún bò Huế originated in the old imperial capital of Central Vietnam, Huế. The broth is prepared by cooking beef bones for a long period of time, as well as a large variety of different spices including lemon grass and chili. Shrimp paste is also a very important ingredient.
Bún bò Huế usually includes thin slices of marinated beef shank, chunks of well-cooked oxtail, and pig's knuckles or pork. It can also include cubes of congealed pig blood, which has a color between dark brown and maroon, and a texture resembling gelatin.
Bún bò Huế is commonly served with mung bean sprouts, lime wedges, cilantro sprigs, raw onions, and thinly sliced banana blossom. Thinly sliced purple cabbage or iceberg lettuce are common substitutes when banana blossom is not available. Purple cabbage most resembles banana blossom in texture, though not in taste. It is also common for a diner to add a small dollop of shrimp paste directly into the soup.
Ketika dimakan sih intinya sama saja dengan Pho biasa. Mie-nya sama, kuahnya yang berbeda karena cukup pedas. Dan teman-temannya juga sama: tauge, jeruk limau, dan tambahan jantung pisang ya kalo gak salah. Dia mengajak saya makan di satu resto yang katanya sudah berdiri selama 24 tahun. Kuahnya memang manis dan sedap, tanpa tambahan apa pun sudah nikmat. Trims, Cindy untuk traktirannya :)
Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke pasar tradisional yang tak jauh dari tempat tinggal kami. Bisa jalan kaki. Tapi, memang untuk pejalan kaki di Vietnam, agak sulit bersaing dengan sepeda motor dan taksi yang juga kadang-kadang naik ke trotoar. Sebel juga ya, tapi mo bilang apa juga, wong budayanya udah kayak gitu… Beda betul memang dengan Singapura yang merupakan surga bagi pejalan kaki. Untuk hal ini memang dua negara ini berbeda drastis. Tetapi, untuk banyak hal seperti makanan yang lebih enak rasanya plus murah meriah dibandingkan Singapura yang kalau ke restoran harus siap setidaknya SGD 50 bahkan ratusan dollar, di sini cukup 100 ribu dong, bisa makan di restoran yang lumayan bagus. Bahkan seperti makanan Jepang yang terkenal cukup berkualitas dan harganya tidak murah, bisa didapatkan di bawah 100 ribu Dong. Jelas saja, ada tempat-tempat lainnya yang mematok harga ‘wah’ dengan USD-nya. Tapi, jelas, tempat-tempat seperti ini, kurang cocok buat anak kampung seperti saya. Yang mengutip kata adik saya, biarpun anak kampung yang penting tidak kampungan…Wakakak…(moga-moga).
Di pasar yang juga amat berbeda dengan pasar tradisional yang rapi di Singapura, saya membeli mangga, nanas, dan apel buat anak saya. Dan nanasnya murah ya, satu butir setelah kupas, hanya delapan ribu Dong. Mangga agak mahal, satu kilo 32r ribu Dong. Tapi memang kualitasnya bagus dan kulitnya tebal. Setelah itu Cindy mengantar saya pulang. Thanks once more buat Cindy, ojek cantik yang ramah dan baik hati…
Pengalaman pertama naik motor di Saigon, seram juga. Karena pada nekad…Lebih kacau dari Jakarta rasanya tuh motor-motor sekalian… Kalau tidak pernah kan masih ada yang kurang, jadi bagus juga pengalaman naik motor ini…
Diamond Plaza…
Karena mudah disebutkan oleh lidah saya, saya jadi sering ke sini. Tujuannya adalah ke Trung Nguyen Café yang terletak di belakang Diamond Plaza. Semacam Starbucks ala Vietnam. Dan di Singapura juga sudah ada satu gerainya di Liang Court dekat Clarke Quay. Harganya cukup lumayan bila dibandingkan Starbucks. Sesekali kami ke sana, karena memang anak kami suka makan es krim dan suka suasana yang nyaman di tempat itu.
Ngo Tat To…
Kemarin setelah mencari di internet tempat makan ‘baguette’ Vietnam yang lumayan dekat dengan tempat kami, keluarlah nama jalan Ngo Tat To.. Jalan yang buat sebagian orang asing di Vietnam kurang familiar mungkin. Karena isinya betul-betul mirip 15 Ilir di Palembang dan semuanya berbahasa Vietnam. Mungkin tukang taksinya juga bingung, buat apa ini orang ke sana, tidak bisa ngomong lagi. Kami mencari ‘baguette’ atau yang disebut ‘bahn mi’ dalam bahasa Vietnam. Roti Perancis yang keras itu dipadukan dengan sayuran dan daging, tergantung pesanan. Saya memilih ‘roasted chicken’ yang enak, karena ternyata rotinya pun dipanggang sebentar sehingga masih hangat dan empuk. Dan minumnya kami memilih ‘tapioca milk tea’ yang seperti teh campur susu seperti biasa, namun yang ini dikasih pudding tiga warna. Ada pula teh susu mutiara atau ‘bubble milk tea’ dan berbagai rasa lainnya. Kafenya di udara terbuka, sehingga bisa menikmati pemandangan di malam hari, dengan hiasan lampion di sekelilingnya. Tempat orang Vietnam makan makanan ringan, minum, dan ‘browsing’ internet karena ada fasilitas Wi-Fi juga.
Pulangnya kami pikir kami akan kebingungan mencari taksi, karena tempatnya memang terpencil dan jarang kami lihat taksi yang mengantri seperti di jalan yang lebih besar. Namun, tiba-tiba ketika kami menunggu dua taksi lewat, dan salah satunya adalah Mai Linh (‘bluebird’-nya sini). Dengan lega kami melanjutkan perjalanan kami…Ngo Tat To, mungkin masih ada lain kali…Menikmati kehidupan orang Vietnam dan membaur bersama mereka. Kisah lucu, ketika pertama kali kami naik taksi, si pengemudi ada kali sebanyak 5 kali menyebutkan Ngo Tat To, Ngo Tat To, Ngo Tat To… Saya dan suami hanya tertawa geli karena mungkin dia bingung, mungkin juga karena jarak yang dekat, mungkin dia tak tahu alamatnya sehingga terus ngedumel… Eniwei, semua selesai, dengan selama sentosa :)
Ben Thahn Market…
Setelah minggu lalu mencoba datang di malam hari dan pasarnya sudah tutup, kecuali penjual ‘sea food’ yang baru memasang tendanya pukul enam sore. Kali ini kami datang sedikit lebih awal, sekitar pukul lima sore. Karena siang di sini panas betul, mencapai 32 derajad Celcius. Maka kami putuskan untuk pergi di sore hari. Dan pasar walaupun sudah mau tutup masih ramai. Banyak bule, Jepang, orang lokal dan orang Indonesia juga seperti kami. Saya sempat mendengar ada pasangan yang bercakap dalam Bahasa Jawa. Dan segerombolan ibu-ibu yang menjawab dengan “Matur nuwun,” sehabis belanja. Mungkin juga karena penerbangan dari Indonesia ke HCMC dipermudah dan adanya Air Asia yang murah meriah, HCMC mulai dilirik untuk menjadi tujuan wisata.
Di Ben Thahn segala ada. Ini pasar yang terbilang terlengkap di Vietnam rasanya. Saya memang belum menjelajah semuanya, tetapi di sini semua ada. Dari baju, souvenir kayu, makanan, sepatu, tas-tas aspal alias asli palsu semacam manggu dua, seprai, sarung bantal, kopi, cemilan, dst. Dari Louis Vuitton sampai Gucci. Kipling juga tak ketinggalan. Banyak sekali macamnya memang. Perjalanan kami di Ben Thahn hanya singkat memang karena kami tidak hendak berbelanja, hanya melihat suasana yang ada. Di lain waktu, mungkin saya akan mampir sendirian ketika anak sekolah. Karena tawar-menawar di sini perlu kegigihan dan ketahanan mental yang sebetulnya juga bukan bagian dari kepiawaian saya tapi nampaknya perlu dipelajari ketika berbelanja di sini. Kalau tidak bisa kena ketok, wuih rugi berat… Tetapi ada koq toko-toko yang mematok harga pas (‘fixed price’), saya kira mending berbelanja di tempat seperti ini. Paling mahal sedikit, tapi ya sudah jelas. Daripada tarik-ulur sampai keringatan…Tapi, buat yang suka, mungkin itu seninya? Menawar sampai dapat barang yang bersangkutan? :)
Fahasa…
Satu nusa, satu bangsa, satu fahasa? Ooo, salah itu! Fahasa adalah toko buku di Vietnam yang jaringannya boleh saya bandingkan dengan Gramedia. Itu yang saya lihat sampai sekarang. Dan malam ini pula saya kembali ke Fahasa guna membeli beberapa keperluan. Fahasa menyediakan buku, alat tulis, CD-DVD-CD Rom, dan mainan anak. Yang saya kunjungi di Nguyen Hue Street. Sedangkan di tempat lain juga ada, karena sebelum ini kami pernah ke gerai Fahasa yang lain.
Pho 2000 dan Pho 24
Jaringan Pho yang banyak di sini adalah Pho 2000 dan Pho 24. Tapi sepertinya Pho 24 lebih banyak deh. Di satu webite ‘expat in Vietnam’ saya pernah membaca, katanya dari sisi kualitar Pho 2000 lebih baik, karena menyajikan bahan-bahan yang lebih segar. Setelah mencoba keduanya, memang kalau dari sisi kuahnya, saya lebih suka Pho 2000. Dan Pho 24, broken rice-nya cukup enak. Nasi yang di atasnya ada daging yang dipanggang. Nasinya sendiri agak pecah-pecah begitu, mungkin karena itu disebut sebagai ‘broken rice’ karena nasinya tidak utuh.
Sekian laporan minggu ke-2 di HCMC. So, I’ll be back after these breaks…( satu minggu lagi yaaa…)
HCMC, 15 November 2009
-fon-
* nantikan petualangan saya di HCMC Minggu depan. Yang pasti akan ada pengalaman ke pasar tradisional sendirian berbekal kalkulator dan/atau kertas dan bolpen seandainya saya tak mampu tawar-menawar dengan baik. Dan pengalaman pertama belajar Bahasa Vietnam karena saya sudah mendapatkan seorang guru…:)
No comments:
Post a Comment