Sunday, November 15, 2009

Keangkuhan


Introduction…


Perkenalkan, saya adalah satu unit apartemen di Jakarta.

Yang maaf-maaf saja, isinya ekspat semua. Itu lho, para bule, orang Jepang, orang Korea, orang mana saja yang asalnya bukan dari Indonesia. Ada pula sedikit orang Indonesia yang kaya raya dan mampu membeli unit di sini. Isinya kalau bukan selebritis, ya pengusaha…


Kebetulan juga fasilitas saya serupa dengan hotel berbintang lima. Dari kolam renang yang mewah -yang memilki kolam untuk anak-anak juga, sampai kolam dewasa berukuran standar olimpiade- pusat kebugaran yang tidak kalah dengan yang ada di mal terkemuka di Jakarta, ruang-ruang pijat dan relaksasi yang mewah yang terdapat di bagian spa di apartemen ini, restoran mewah, mini market tempat semua barang impor berada. Maaf-maaf saja, kalau saya terkesan sombong. Tapi betulan, itu semua milik apartemen ini yang bisa saya banggakan. Dan bukan kebetulan saya adalah anggotanya. Bangga sekali, dong…


Konflik…


Saya berada di lantai lima apartemen ini. Dan di sekitar saya, sebetulnya saya agak risih. Karena isinya hanyalah rumah-rumah bedeng yang amat tidak pantas disandingkan dengan kemewahan saya. Dari jendela unit saya, saya bisa melihat betapa tidak layak dan tidak pantasnya kondisi tetangga-tetangga saya. Yang gang rumahnya hanya bisa dimasuki satu sampai dua motor saja. Yang anjingnya bertebaran di mana-mana. Yang orang-orangnya nongkrong di luaran. Di warung mie instan plus telor yang terkadang ditambahi pula dengan kornet, warung kopi, warteg yang menjual nasi dengan berbagai lauk murahan, bakso yang saya kira kalau dimakan oleh ekspat di apartemen ini pastinya bikin perut melilit dan diare. Belum lagi, anak-anak kecil yang duduk di pinggir jalan. Terkadang bermain dan bikin gaduh. Bikin pusing kepala para penghuni apartemen ini. Dan satu lagi, kotoran-kotoran anjing yang memenuhi gang tersebut membuat saya merasa jijik. Dan berpikir, betapa kontrasnya diri saya yang indah-bersih-harum-wangi-dan keren ini, ketika harus berhadapan dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial semacam yang ditampilkan oleh tetangga-tetangga saya. Sungguh tidak pantas! Harusnya saya berada di lingkungan yang bersih, aman, rapi, dan teratur. Bukan di lingkungan yang rawan kejahatan seperti ini. Belum lagi, kemungkinan mereka yang tinggal di gubuk derita di bawah sana menghalalkan segala cara buat mencari uang. Salah satunya dengan (mungkin saja) mencuri dan mendobrak sistem keamanan kami yang sebetulnya tertata rapi. Dengan adanya pos satpam dan satpam yang jaga 24 jam sehari. Ditambah kunci kombinasi di tiap pintu apartemen yang hanya bisa diketahui oleh pemiliknya, sebetulnya keamanan kami sudah cukup. Tetapi, yang namanya rasa was-was itu selalu ada dan menghampiri. Apalagi berhadapan langsung dengan kemiskinan yang parah semacam itu dan ‘jomplang’-nya kemiskinan itu ketika disandingkan dengan keindahan, kemolekan, dan kemewahan diri saya.


Dan benar saja! Ketika suatu saat, ada seorang pria tak dikenal mencoba mencongkel teras depan di tempatku, aku mulai was-was. Memang, tak tahu diuntung tuh orang-orang kampung! Sudah diberi banyak penghasilan dan kemakmuran akibat cipratan dari apartemen ini, masih juga tak tahu diri. Bukankah seharusnya mereka sadar diri? Siapa yang memberikan banyak pekerjaan bagi penduduk sekitar? Mulai dari pembantu paruh waktu yang kerjanya ringan hanya cuci baju dan setrika plus bersih-bersih rumah seminggu tiga kali. Sopir, satpam, ‘nanny’ alias baby-sitter kalau mereka bernasib baik dan bisa bercakap-cakap sedikit saja dalam Bahasa Inggris. Belum lagi warung makan yang juga meraup keuntungan dari peningkatan penjualan makanannya karena dikonsumsi oleh para pekerja yang membludak di apartemen ini. Kenapa juga masih tak tahu diri? Ugh, hatiku kesal setengah mati. Memang tak tahu diuntung! Belum lagi dia merusakkan salah satu pintu mahalku yang berukiran kayu asli dari Bali. Belum tahu dia kalau ini ‘limited edition’? Karena Sang Pengukirnya sudah pergi untuk selama-lamanya?


Dan Si Maling kurang ajar itu yang tentu saja bukan seperti Robin Hood yang agak lumayan mulia itu mulai pasang aksi. Dan mereka menggondol ‘safe deposit box’ tuanku. Warga Amerika Serikat yang menikah dengan seorang wanita asal Hongkong dan bekerja di sebuah perusahaan finansial terkemuka di Jakarta. Isinya? Ribuan US dollar melayang, belum lagi perhiasan Madam-ku yang nilainya mencapai lima ratus juta rupiah. Mereka panik dan langsung lapor polisi. Biar tahu rasa! Mereka mau membayar berapa pun, untuk menangkap maling yang bersangkutan. Karena mereka sudah keburu benci setengah mati dan mereka juga tak mau kejadian ini terulang kembali. Kepada mereka dan kepada orang lain yang tinggal di situ juga. Bukankah hal ini menodai kemolekan dan nama baik apartemen Ekstramewah ini? Ya, nama apartemenku Ekstramewah. Aku juga tidak sabar menunggu tertangkapnya Si Pelaku. Biar dia habis sekalian! Huh!


Ending..


Akhirnya, tertangkap juga Si Penjahat tak tahu diri itu. Ternyata, dia bukan dari kampung sebelah. Dia adalah teman dari seseorang di kampung sebelah itu. Aku merasa tenang, sekaligus agak malu. Telah berhari-hari aku menuduh mereka dengan tega. Menganggap kemiskinan selalu sama dengan tindakan kriminal. Selalu merasa bahwa kemelaratan akan mendatangkan pikiran-pikiran jahat ketika melihat orang yang lebih mampu lewat di depan mata dan menjadi pemandangan sehari-hari merka. Tiba-tiba aku sadar, bahwa segala kualitas baik yang ada pada apartemen ini menjadikanku bertingkah laku penuh arogansi. Keangkuhan menyelimuti diriku. Daguku yang runcing kuangkat dengan sombongnya. Ini lho, aku! Apartemen mewah tanpa saingan di ibukota. Masih yang terbaik sampai detik ini.


Tahun demi tahun berlalu, kondisi apartemenku mengalami penurunan. Kami bukanlah yang terbaik, bukanlah yang termahal lagi. Kami pun tidak masuk ke peringkat sepuluh besar. Kami mungkin ada di peringkat sepuluh besar dari bawah. Keadaan sudah berbalik. Arogansi yang tadinya begitu kental nampak di setiap sikapku mulai tersingkir. Kebanggaan itu sirna. Ekstramewah tak lagi seindah namanya.


Malahan, aku malu menyandang nama itu. Ingin kuganti saja dengan Tidakmewah. Atau Tidakmewahsamasekali. Malu-maluin!


Sementara di sekitarku, kampung yang melarat itu sudah berubah menjadi gedung-gedung tinggi pula. Sesuai dengan keinginanku dulu. Disandingkan dengan kelayakan kapasitas keindahanku. Mal, perkantoran, dan hotel mewah. Tidak kulihat lagi senyum ramah Pak Amat, pemilik warung mie instan. Warung Mas Slamet dengan wangi kopi tubruknya yang khas. Tak lagi kudengar celotehan Mbak Siti, pemilik warteg yang juga sudah kembali ke kampung asalnya di Jawa Tengah sana. Tak lagi kudengar keributan ketika anak-anak bermain petak umpet di gang yang sempit itu. Tak lagi kulihat gerombolan ojek di depan gang itu. Tiada lagi…


Pelan-pelan kurasakan kerinduan akan masa lalu yang selalu kumaki dan kumarahi. Aku ingin seperti dulu lagi. Bukan dengan arogansi yang dulu. Bukan dengan keangkuhan di masa silam. Namun, dengan kehangatan yang menyadari bahwa kesenjangan memang tak pernah mampu dihindari. Tapi, ketika aku berada di puncak dan berdampingan dengan kaum miskin papa, mampukah aku berbagi rasa? Sedikittt sajaaa…


Andai aku punya mesin waktu bak ‘Quantum Leap’ yang bisa membawaku kembali…Ke limabelas tahun yang lalu... Aku mauuu….Mau mengulangi kembali semuanya itu dengan sikap yang berbeda. Adakah kesempatan kedua bagiku?


Dinding di apartemenku mulai dirobohkan pemiliknya. Karena kalah bersaing, pemilik yang baru membeliku setelah pemilik lama jatuh pailit akan mengubah bentukku. Mungkin bukan apartemen lagi? Mungkin sebuah Mal? Aku masih tak tahu. Tapi kurasakan kesakitan yang amat sangat ketika mesin-mesin itu mulai memotong bagian-bagianku dan merobohkannya satu per satu…


Dan tiba-tiba saja…keangkuhan itu makin sirna… Hilang entah ke mana… Nyaris tak bersisa.


HCMC, 16 November 2009

-fon-


sumber gambar:

http://datingwithmedia.files.wordpress.com/2009/02/apartment.jpg

No comments:

Post a Comment