Saturday, November 7, 2009

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian 1)


Ketika melangkahkan kaki keluar dari pesawat dan mendarat di Tan Son Nhat International Airport, langsung disambut pertanyaan dari petugas dalam Bahasa Vietnam. Dengan bengong karena belum mampu mengerti satu patah kata pun, saya hanya tersenyum dan berkata, “ What?” Dan disambut dengan senyuman pula oleh Si Mbak dan berkata, “ Stroller?”

Oh ternyata dia bertanya apa saya membawa ‘stroller’ (dorongan bayi) ketika melihat saya menggendong anak kami. Beginilah resiko hidup di Vietnam dengan dominasi wajah yang mirip di sekitar saya. Mirip karena mereka juga bagian dari Asia. Wajah mereka kebanyakan mirip ‘Chinese’ atau orang Indonesia.

Dan itu bukan hanya terjadi satu kali, melainkan berulang kali. Suami dan saya sering disangka orang Vietnam. Dan ketika diajak bicara dengan kecepatan tinggi yang sama sekali tidak kami mengerti, hasilnya kami hanya tersenyum. Suami saya bilang, lebih cepat kami menguasai bahasa di sini akan lebih baik. Jadi, tidak pinjam tampang saja, tapi betul-betul mampu berkomunikasi. Kami tengah mencari guru bahasa. Saya pun, dengan keterbatasan waktu, mencoba mencari guru privat yang bisa datang ke rumah. Untuk menghindari kemacetan di jalan, juga karena ingin menjemput anak tepat waktu, maka saya berusaha mencari seseorang yang bisa mengajar di rumah. Tetapi, harganya cukup mahal juga ternyata. Ada yang per jam USD 10 atau USD 8, saya tengah mencari-cari guru mana yang pas dengan kantong juga pas dengan hati karena saya mencari seseorang yang bisa mentransfer ilmu bahasanya kepada saya dan saya berharap guru bahasa saya perempuan. Masih dalam proses pencarian, nih! Tapi tak mengapa, biar pelan-pelan kami cari dan semoga Tuhan bukakan jalan. Saya percaya akan hal itu!

Cuaca di Ho Chi Minh City (yang untuk selanjutnya akan saya singkat menjadi HCMC) cukup terik. Suhu harian berkisar di angka 29 sampai 30 derajad Celcius. Hujan deras bisa dengan tiba-tiba mengguyur kota ini, namun segera berhenti. Sampai hari ini, enam hari sesudah saya tinggal di tempat ini, hujan masih belum turun dengan deras sekali. Pernah satu kali amat deras, tetapi langsung berhenti seketika.

Keinginan untuk menuliskan hal ini adalah untuk memenuhi permintaan beberapa teman untuk menuliskan pengalaman di HCMC sekaligus sebagai kenang-kenangan bagi saya sendiri di kemudian hari. Berusaha mencatat dalam setiap kesempatan yang memungkinkan bagi saya untuk mencatatnya dan membagikannya. Itu yang menjadi tujuan saya.

Selama seminggu di sini, inilah beberapa hal yang saya lihat dan saya pelajari. Selain melihat dan mengalami sendiri, saya pun membaca situs di internet yang berkenaan dengan HCMC, seperti ‘living in Vietnam’ atau ‘ expats in HCMC’ (salah satu grup di Facebook). Saya juga mendengar ada juga komunitas orang Indonesia di sini, namun belum berhasil saya temui. Inilah catatan saya selama seminggu pertama ini:

  1. Motor banyak sekali. Bejibun! Bukan hanya dari satu arah, namun dari berbagai penjuru, terkadang tidak peduli jalur. Sebagai orang yang pernah amat menikmati masa-masa naik ojek, saya sedikit ngeri sebetulnya melihat permotoran di sini pada awalnya. Maka, saya memilih untuk mencari sekolah yang mudah dijangkau sehingga kami tidak harus kepusingan untuk mengantar Audrey.
  2. Orang Vietnam cukup ramah pada umumnya. Terbukti dengan senyum dan obrolan ringan, mereka berusaha baik pada anak kami. Yang jelas saja kami tanggapi dengan senyuman saja karena kami tidak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi itu tidak mengurangi keramahan mereka pada umumnya.
  3. Orang asing di sini tidak direkomendasikan untuk naik kendaraan umum seperti bus sebaiknya naik taksi atau kalau ada mobil sewaan. Taksi yang seperti Bluebird di Indonesia di sini dikenal dengan merek Mailinh. Atau bila tidak, Vinasun atau Vina Taksi dari Comfort del Gro masih boleh jadi pilihan. Sementara, taksi lain yang mirip-mirip tulisannya tetapi bukan taksi yang saya sebutkan di atas, bisa menggetok harga bagi penumpangnya dengan jalan memutar-mutar penumpang jalan jauh. Tentunya, tidak semua taksi lain melakukan hal ini, namun kami berjaga-jaga sebagai orang asing di sini, memilih yang aman terlebih dahulu.
  4. No Carrefour, no Giant. Welcome to CO.OP Mart! Ini adalah jaringan supermarket terbesar di sini yang saya lihat selalu ramai. Di tiga tempat yang saya kunjungi, di Distrik 1, Distrik 3, dan Distrik Bin Thanh, kesemuaannya ramai sekali dan mayoritas orang Vietnam. Bagi para ekspatriat yang ingin berbelanja lebih leluasa, teman baru saya menyarankan untuk ke Metro Supermarket namun membutuhkan kartu keanggotaan untuk masuk ke sana. Saya belum sempat mengunjungi tempat ini.
  5. Pasar tradisional malah jadi andalan. Pasar terbesar sekaligus pusat perdagangan adalah Ben Thahn Market. Saya belum mengunjungi tempat ini di siang hari, namun saya dengar tawar-menawar dilakukan bak Mangga Dua sana. Saya hanya melihat keramaian Ben Thahn di waktu malam yang ternyata dipenuhi penjual ‘seafood’ segar yang ramai dikunjungi turis mancanegara. Bagi yang tidak bisa berbahasa Vietnam seperti saya, kata seorang teman, siap-siap dengan kalkulator atau kertas dan bolpen untuk bertransaksi. Harga tinggal tulis di kertas atau tunjukkan di kalkulator saja.
  6. Distrik di HCMC total ada 19. Distrik 1-12, ditambah distrik lain semacam Bin Thanh, Thu Duc, Tan Phu, dan sebagainya. Ini menurut Wikipedia, karena saya belum sempat mengunjungi seluruhnya. Yang dibuat daerah turis adalah distrik 1 dan 3, karena kedua distrik ini berdekatan. Kafe-kafe di sepanjang jalan memenuhi tempat-tempat ini. Diselingi penjual souvenir khas Vietnam seperti lukisan, perahu, atau pernak-pernik seperti tatakan gelas, nampan, piring, dan lain-lain.
  7. Mata uang Vietnam adalah Dong. Dan 1 Dong = Rp.0,529. Jadi punya uang satu juta dong sama kira-kira dengan Rp. 529.000. Membiasakan diri kembali dengan angka berjuta-juta setelah sebelumnya terbiasa dengan pecahan yang lebih kecil di Singapura, memang tidak mudah. Untungnya Rupiah dan Dong tidak terlalu berbeda jauh, jutaan sudah biasa. Coba kalau jutaan dollar Singapura? Pusing, karena jumlahnya banyak! US Dollar atau Dollar Amerika Serikat juga menjadi mata uang yang berlaku resmi di sini. Daripada mata uang negara lain, USD menjadi primadona. Di banyak tempat di distrik utama, menggunakan mata uang dollar juga dalam harga-harga barang yang dijual termasuk makanan. Begitu pula dengan jasa semacam gunting dan cuci rambut, sampai ke manicure/pedicure.
  8. Bagi saya pribadi, negara ini mirip Palembang, terutama dari segi pasar tradisional dan kebiasaan masyarakatnya untuk duduk santai di pinggir jalan sambil makan di restoran sederhana yang banyak memenuhi Palembang. Namun, bila berjalan ke distrik 1 dan 3, dapat ditemui tempat bernuansa kafe yang mengingatkan saya pada kota Bandung. Sementara keunikan HCMC sendiri konon ada di beberapa peninggalan Perancis seperti arsitekturnya. Semacam gereja di Notre Dame dan juga beberapa bangunan bersejarah lainnya.
  9. Di Tax Center (Thuong Xa Tax atau Saigon Tax Trade Center), terdapat banyak souvenir, karena di sini adalah salah satu pusatnya. Tapi memang secara harga, harus berani tawar. Lebih dari setengah. Atau kalau tidak harus melihat semuanya dulu, baru memutuskan beli yang mana setelah membandingkan harga di beberapa kios.
  10. Barang-barang bermerek dan impor di sini amat mahal. Harganya jutaan dong. Dan sejujurnya dari negara yang barang impornya relatif murah atau bersaing seperti di Singapura, hati ini agak malas untuk melihat harga jutaan bahkan puluhan juta dong. Malas melihat harga Converse, Giordano, Esprit yang luar biasa mahalnya. Apalagi butik semacam Louis Vuitton atau Gucci, pastilah amat mahal. Jadi, lebih baik berusaha memilih produk lokal yang baik itu yang saya terapkan…
  11. Gerai kopi Coffee Bean masih sedang dalam proses penyelesaian. Yang lainnya ada Gloria Jeans Coffee. Sedangkan kafe lokal bertebaran di bawah bendera Trung Nguyen Coffee (yang juga ada di Liang Court di Singapura), dan Highlands Coffee. Dua gerai ini memiliki banyak cabang di HCMC. Dan tempat minum kopi lokal juga banyak dengan desain yang unik dan lucu.
  12. KFC, Pizzahut, Lotteria (menjual burger). Hanya itu fast food yang ada di sini. Jadi tidak ada Burger King, Carls Jr., Mos Burger, ataupun Mc Donalds. Tetapi, restoran unik dan lucu dari yang murah sampai yang mahal memenuhi kota ini.

Dalam taksi menuju Nguyen Thi Minh Kai untuk menyelesaikan satu urusan, lalu melanjutkan dengan satu taksi berikutnya ke CO.OP Mart yang berlokasi di Cong Quynh Str, Nguyen Cu Trinh Ward, yang masih berada di Distrik 1, saya hanya berpikir memang hidup itu terkadang seperti mimpi. Masih teringat ketika saya dengan fasih naik ojek dari kos ke kantor, dari dekat kos ke tempat kursus kitab suci. Dengan jalur Karet-Mall Ambasador/ITC Kuningan-Tebet dan Sudirman. Masih terbayang pula ketika saya naik bus dan MRT di jalur East West Line di Singapura atau melintasi daerah Orchard, Clementi, Bukit Batok, dan Vivocity. Memang, hidup tak pernah kita ketahui akan membawa kita ke arah mana atau ke tempat semacam apa. Saya cubit tangan saya sendiri. Ah, saya tidak bermimpi! Saya berterima kasih untuk kesempatan melihat bagian dunia yang lain yang mungkin sangat berbeda dengan negara kita. Hanya semata-mata karena kebaikan Tuhan, saya dimampukan untuk menikmati ini semua.

Mungkin itu dulu laporan saya dari HCMC. Catatan anak kampung yang fasih dengan ojek, busway, dan bus kota di Jakarta. Fasih dengan oplet dan bus kota di Palembang. Memang saya hanya anak kampung. Anak dari orang tua yang berasal dari Bogor dan hijrah ke Palembang, tempat kelahiran saya. Anak kampung yang juga selalu rindu kampung halaman, Indonesia. Sekian dulu, anak kampung undur diri! Sampai ketemu di serial berikutnya…

HCMC, 7 November 2009

-fon-



No comments:

Post a Comment