Fenomena pembantu, Si Mbak, Si Iyem-Inem-Tuty-sampe Theresia …
‘Ehm’…ada juga yang namanya keren lho, tidak semua namanya ala pembantu selalu jadi bahan perbicangan yang cukup seru. Ketiadaan mereka dalam hidup sehari-hari sering kali menjadi beban keluarga terutama para ibu. Dengan adanya mereka, pekerjaan rumah pastinya lebih terbantu. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan (karena ini seringkali terjadi) banyak kasus juga yang kurang mengenakkan.
Contohnya: pencurian barang, pemukulan anak, sampai pada selingkuh dengan orang di rumah (entah suami Sang Nyonya atau anak majikan dan sebagainya). Tanpa pembantu, status FB teman-teman di Jakarta selama masa mudik lebaran akan berbunyi: “ Jadi Oshin deh gw seminggu ini.” Atau: ngasih makan Alya ternyata susah ya, kapan baliknya nih Si Suster. Sus, cepetannn!”
Setelah menikah dan pindah ke luar Indonesia, saya tidak memiliki pembantu. Malah di Singapura, karena saya mengasuh anak sendiri, saya berteman dengan banyak pembantu Indonesia dan Filipina. Bahkan satu teman akrab saya adalah seorang ‘nanny Singaporean’ orang India. Mungkin dari dulu saya tidak pernah menganggap rendah pembantu. Biar bagaimanapun, bagi saya, mereka tetaplah manusia. Walaupun yang sudah melanglang buana ke negeri lain semisal Singapura dandanannya aduhai sampai ‘Aduh, Mak…’ hebohnya, tetap saja mereka adalah pribadi-pribadi juga. Di Singapura saya berkenalan dan berteman dengan banyak pembantu yang saya jumpai di ‘playground’ atau ketika mendorong ‘stroller’ di taman apartemen kami. Banyak kali, majikan mereka keduanya bekerja, sehingga pengasuhan anak diserahkan kepada pembantu. Plus ‘child care’ dari yang murah sampai yang mahal selama setengah hari atau lebih, sisanya kembali ke tangan para pembantu sampai orang tua pulang ke rumah.
Pembantu-pembantu Filipina umumnya berbahasa Inggris cukup baik walaupun dengan logat Filipino-nya. Itu sebabnya gaji mereka di atas gaji para pembantu Indonesia di sana. Herannya juga, banyak kasus yang dimuat di koran ‘The Straits Times’ menunjukkan banyaknya penganiayaan terhadap pembantu Indonesia oleh majikan di Singapura atau sebaliknya mereka yang melakukan tindak kriminal sampai diadili. Rata-rata dari Indonesia, sementara yang dari Filipina jarang terdengar bermasalah. Mungkin hanya gaya hidup yang berbeda saja, misalnya keberanian mereka berpakaian: pakai ‘tank top’ dan celana super pendek. Terkadang yang dari Indonesia sekian lama pun berani saja pakai begitu, tetapi yang Filipin lebih berani. Tiap Minggu mereka kumpul-kumpul di ‘Lucky Plaza’ di ‘Orchard Road’. Selain banyak restoran Indonesia di sana, juga banyak restoran Filipin, jadilah pusat perbelanjaan itu dipenuhi Si Mbak modis dan keren yang berpakaian Giordan*, Bal*no, Boss*ni, Hang T*n, bahkan Mang*.
Bergaul dengan mereka secara cukup intens di masa itu karena frekuensi pertemuan yang sering setiap hari, membuat saya berpikir banyak tentang mereka. Ada yang sering curhat sama saya. Mulai dari urusan cinta, sampai urusan keluarga. Ada satu pembantu Filipin, sebut saja namanya Rose, meninggalkan anaknya di usia 2 tahun untuk bekerja di Singapura. Ironisnya, dia malah mengasuh anak majikannya sementara anaknya dia tinggalkan bersama asuhan ibunya. Memang di Filipina sulit dapat kerja katanya. Dia sendiri sempat kuliah tetapi tidak selesai. Dia sempat menawarkan kakaknya pada saya. Yang ini malah lebih parah, lulus universitas di Filipina, namun karena kondisi perekonomian yang sulit mereka malah memilih kerja sebagai pembantu di Singapura. Gaji mereka sekitar SGD 350 sekitar Rp.2.275.000 per bulan (waktu saya di sana, entah sekarang apa naik lagi?). Dan akan bertambah sesuai berjalannya waktu dan pengalaman kerja mereka. Diberi off sebulan sekali kalau beruntung, ada yang kerja dengan bule diberi libur setiap minggu (tiap keluarga beda-beda peraturannya). Mimpi mereka kerja dengan bule. Gaji tinggi, libur banyak, kerja tak terlalu berat. Sedangkan bila kerja dengan keluarga lokal biasanya kerja rodi semua dilakukan sendiri. Itu pun masih ditambah kena marah. Lucunya Si Rose sering curhat sama saya, sementara bosnya juga curhat ke saya (bos ini Nenek dari cucu-cucunya, bukan Mama dari anak-anaknya). Bisa mendengarkan dua sisi-‘both sides of the story-membuat saya kadang cengar-cengir sendiri. Memang di mana-mana, masalahnya sama saja. Bos dan anak buah di kantor, majikan dan pembantu seperti itu, dan seterusnya. Rose orang yang baik, tegas, mungkin agak galak. Setelah dua tahun mengumpulkan uang dia memutuskan untuk tidak bekerja dan pulang ke Filipina.
Lain halnya dengan Shella yang juga asal Filipina. Dia dengan cueknya pindah dari satu majikan ke majikan lain, masih di apartemen yang sama. Tanpa rasa bersalah. Awalnya dia bilang akan menikah, ternyata dia pulang sebentar saja. Tak sampai sebulan dia datang lagi dan kerja di tempat baru yang untungnya beda blok, tetapi masih di satu apartemen. Shella ‘heboh’, suka menggosipkan bossnya kepada siapa saja termasuk saya. Dan lucu juga sih (karena dia tidak kerja sama saya, jadinya lucu). Kalau kerja sama saya dan saya yang digosipkan? Awas kamu, Shel… Tak pecat kamu :) (galak ‘ mode on’ hahaha…).
Dan last but not least.
Kisah sedih di apartemen tentang seorang pembantu bernama Tuti yang sudah saya tuangkan dalam bentuk cerpen. Kisah nyatanya entah kenapa dia percayakan kepada saya. Sebetulnya saya masih mau membuat sekuel berikutnya dari kisah yang berjudul (Hanya) Seorang Pembantu, namun belum ada waktu karena akan sangat menguras air mata. (Untuk melihat posting saya itu, silakan klik di sini). Dia menikah dengan anak bosnya, punya anak kembar, dan tidak diakui keluarga suaminya. Jadinya dia harus pergi ke Singapura dan bekerja. Tuti yang orang Indonesia ini begitu ‘bawel’ pada saya. Dia menceritakan setiap detil hidupnya kepada saya. Terima kasih untuk kepercayaanmu, Tuti. Saya doakan yang terbaik untukmu.
Nyeritain soal pembantu, mungkin tidak bakal ada habisnya. Mulai dari culunnya atau istilah para majikan : bodoh,tolol, begonya mereka. Dalam hati karena tidak punya pembantu kecuali yang setrika baju seminggu dua kali, saya hanya bisa membatin: “ Ya, kalau pinter, dia gak jadi pembantu kaleeee.. Jadinya astronot, ahli fisika, atau tukang insinyur… wkwkwk….” (Buat yang sering darah tinggi a.k.a darting sama pembantu, maap yaaa…karena tidak punya saya jadi bisa mikir begini, coba kalau punya, pasti sama dengan Anda:)).
Satu hal yang pasti, pembantu juga manusia. Mereka punya sepenggal kisah kehidupan yang sedang mereka lakoni. Sering kali kita mengecilkan arti mereka walaupun misalnya beberapa dari mereka sudah keluar dari kepembantuan mereka dengan menikahi bos mereka, bisa kerja di kantoran walaupun kerja rendahan, dan seterusnya. Seolah kita terus memberi cap kepada mereka. “ Dulu ‘kan dia cuma seorang pembantu…Jadi, gak usah gaya-gaya deh, dulunya ‘bebong’ juga…”
Padahal yaaa, pembantu juga manusia lah… Punya rasa, punya hati…
Dannnn… kalau norak sekali-kali yah harap maklumlah. Secara kita yang katanya ‘educated’ juga bisa norak, koq… Ya nggak?
Untungnya saya tidak pilih-pilih ya… Walaupun sempat ‘wondering’ sih, koq temen gw banyakan pembantu ya di Singapore? Hahaha… Gak pa-pa. Belajar menyelami kehidupan mereka dan menjadi sahabat bagi mereka. Saya tidak alergi sama pembantu. Malah saya bisa melihat sekelumit kehidupan mereka. Yang lagi-lagi saya diuntungkan karena saya bukanlah majikan mereka, jadi saya bisa lebih obyektif. Mereka tidak pernah memilih jadi pembantu, tetapi kondisi membuat mereka demikian. Dan bagi kita yang beruntung mendapatkan posisi bos, majikan, semoga bisa menghargai mereka sebagai makhluk hidup. Bukan dengan umpatan kebun binatang atau perlakuan bak terhadap hewan. Mereka juga manusia yang walaupun bikin keki, sebel, dan kesel… Tanpa mereka, susah juga, kan? Yang penting mereka jujur dan mau kerja. Sisanya sih saya kira bisa pelan-pelan. Kalau sudah mencuri, berbohong, dan bertingkah keterlaluan…Males juga kali yeee…
Sebelum mengakhiri, saya teringat juga teman saya sesama penulis yang bahkan mendapatkan banyak inspirasi dari Si Mbaknya yang sotoy. Lengkap dengan segala kelucuannya, cerita itu dibuat dan menghibur pembacanya. Oh iya, jangan suka menganggap rendah ‘maid’ juga ya…Kalau ‘maid’-nya Jennifer Lopez yang main di ‘Maid in Manhattan’ gimana, hayoooo??? Pusing jagain suami-suami kali yaaaa…Berbahaya….hehehe…
Bergaul dengan siapa pun tanpa pandang bulu itu yang ingin saya terapkan walaupun tidak selalu mudah dan tidak selalu bisa, ya. Setidaknya saya berusaha. Dulu bergaul sama pembantu, siapa tahu entar-entar samaaa tukang becak, sopir taksi, atau konglomerat? Sama ajaa…Semua juga manusia….(nyanyi ala Serieus).
HCMC, 26 Maret 2010
-fon-
* hasil ‘chatting’ dengan seorang teman di lain benua yang membuat saya terinspirasi dan teringat kisah-kisah para pembantu dalam folder di otak saya:)
Sumber gambar:
http://images.nymag.com/daily/intel/13_maidinmanhattan_lgl.jpg