Sunday, March 21, 2010

Surat


Surat

*** cerpen

Aku pernah putus asa.

Kecewa.

Berat. Amat berat bahkan!

Dengan pasangan hidupku.

Dia yang dulunya selalu mencintaiku, ternyata setelah menikah seringnya menjelekkan aku di depan umum. Bukankah kami menikah atas dasar saling cinta? Bukankah kami juga melewati masa berpacaran yang indah dan romantis sebagaimana layaknya pasangan lainnya?

Namun mengapa ketika menikah, semakin lama cinta itu semakin tipis? Berganti dengan kekesalan yang sangat ketika dia berjumpa denganku. Ketika dia hanya merepet mengenai pekerjaannya, tak pernah ada perhatian bagiku. Kalau tidak, dia diam, menyibukkan diri di depan komputer, BB, atau TV-nya. Mereka yang dicumbu lebih sering ketimbang diriku yang nyata-nyata adalah istrinya. Terkadang, aku berpikir… Apa ada gunanya mempertahankan perkawinan kalau begini jadinya? Terkadang, kurasakan pula kepiluan hatiku: menanggung resiko atas pilihanku sendiri yang ternyata ‘hanya’ segini saja.

Untuk pergi dari dirinya, sudah kupikirkan berulang kali. Siapa yang bisa tahan kalau tiap saat tak pernah ada kata-kata manis. Pilihannya adalah: kemarahan yang diungkapkan dalam bentuk umpatan dan kata-kata kasar atau mendiamkanku seperti benda mati. Malah benda mati diperlakukannya seperti benda hidup. Ya itu tadi, komputernya, BB-nya, TV-nya. Aku cemburu pada mereka. (Mungkin) aku juga cemburu pada raut yang penuh senyum di wajahnya setiap dia tengah ‘chatting’ dengan teman dunia mayanya. Yang realita di depan mata, dianggap tak terlihat.

Dengan hati yang seolah teriris-iris, aku mencoba menganalisa, apa yang tengah terjadi dengan pernikahan kami yang sudah sepuluh tahun ini.

  • Kalau dulu tiap kencan rasanya begitu mudah untuk saling tukar cerita, kini ketika hari pernikahan atau ‘anniversary’ kami, isinya hanya makan malam sambil bengong, tak tahu harus bicara apa.
  • Kalau dulu tiap aku bikin teh manis yang kemanisan, nasi goreng yang keasinan, dia tak pernah mengeluh. Sekarang, sedikit saja kurang dari apa yang dia sukai, habis aku dimarahinya. Terkadang juga di depan keluarga kami dan teman-teman kami. Karena kesalahan-kesalahan kecil itu, aku dianggap bukan istri yang baik.
  • Ketika dia pulang, aku ingin ceritakan kegiatanku bersama anak-anak kami sepanjang hari. Karena aku tak bekerja, jadi aku ingin ceritakan padanya bagaimana hariku kulalui. Namun baginya, cerita itu ‘boring’. Membosankan. Dan dengan kata-kata kasarnya dia bilang MEMUAKKAN. Padahal itu cerita tentang orang-orang yang dikasihinya. Istri dan anak-anaknya. Dia anggap aku cerewet, tak mau peduli kelelahannya mencari uang. Hanya bisanya menghabiskan uang yang dia peroleh susah-payah, tanpa mampu memberikan kontribusi sedikitpun. Padahal, aku berusaha lho! Hanya hasilnya memang belum kelihatan. Masalah ekonomi agaknya tetap jadi problem utama di keluarga kami. Caraku mengatur keuangan yang dianggap kurang becus, keinginanku untuk buka usaha catering sendiri tapi belum menunjukkan hasil yang baik. Perbedaan apa yang dia kira baik dengan apa yang aku butuhkan, seringkali juga membuat pertengkaran kami semakin memuncak.
  • Masalah ke tempat ibadah. Tiap hari Minggu, aku inginkan dia bersama anak-anakku beribadat bersama. Bukan melulu main komputer lagi-BB lagi-YM lagi-FB lagi, atau nonton TV lagi. Kami butuh waktu-waktu bersama, bukan melulu memusatkan perhatian pada benda mati. Kalau tidak lagi peduli padaku, setidaknya anak-anak ini juga perlu figur Papa buat mengisi kekosongan rongga mereka. Seolah Papa adalah figur tak tersentuh. Yang sibuk, galak, tak mau mengerti mereka, karena Papa sibuk cari uang buat memenuhi kebutuhan keluarga ini.
  • Kata-kata kasar itu melukaiku. Dari semua yang paling melukaiku adalah dia selalu menyebut nama mantanku. Terutama yang membuatnya cemburu buta, dan mengejek serta mengulang-ulang: “ Kenapa kamu tidak kawin sama dia saja?” Aku tak bisa berkata-kata lagi. Terdiam. Itu menyakitkan tetapi dia terus lakukan. Upayaku melawan dengan kata-kata juga, dibalas terlebih menyakitkan, dan terakhir dibalas dengan tindakan fisik. Pukulan. Belum lagi perkataan: bodoh, tolol, tak becus mendidik anak, bego, monyet, dan serangkaian kata-kata yang tak pernah pantas diucapkan oleh seseorang yang mencintai istrinya, dia lontarkan seperti senapan yang ditujukan padaku. Tanpa henti.
  • Kalau aku pergi, meninggalkan dia dan anakku yang tiga orang itu. Apa jadinya mereka? Mungkin suamiku tak peduli. Mungkin yang hanya mencariku adalah anak-anakku. Aku tak pernah berani mencobanya. Namun aku juga tak mau mencobanya. Karena bagiku mereka sebetulnya tetaplah bagian tak terpisahkan dari hidupku. Hanya dalam menjalani hari-hariku, harus kuakui, tak mudah. Banyak kali aku sering menangis juga. Mengasuh tiga anak di zaman sekarang bukanlah pekerjaan mudah. Pembantu yang membantu cuci gosok dan bersih-bersih rumah juga terkadang tidak cukup mengobati kelelahanku. Aku harus memasak sendiri dan terlebih mendidik tiga anakku itu. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Menjalani hari-hari begini aku ingin menyerah juga… Tapi hatiku menyuruhku bertahan. Aku hanya bertanya: sampai kapan? Sampai kesabaranku habis?

Dari analisa itu, kudapati keberanian mengemukakannya pada suamiku. Anggaplah, ini upaya terakhir rekonsiliasi hubungan pernikahan kami. Anggaplah kalau upaya ini gagal (mungkin) aku akan memutuskan untuk cerai dari dirinya. Karena aku sendiri sudah tak tahan lagi, dan aku kira berada pada kondisi perkawinan seperti ini tidaklah sehat bagiku secara mental. Kalau tak bisa cerai mungkin aku akan pilih pisah rumah. Tapi aku tak tahu, kapan aku akan betul-betul berani mengungkapkannya? Kalau tidak hari ini, mungkin aku takkan pernah berani lagi… Tetapi keberanianku hanya setengah. Jadi kuputuskan saja untuk ‘print’ surat yang sudah kuketik di dokumen ‘Word’-ku.

Daniel,

Sebetulnya aku malu untuk mengungkapkan hal ini. Tetapi karena aku sudah tak tahan lagi, kau pasti akan bilang aku cerewet kalau aku bicara terlalu banyak. Namun, aku rindu masa-masa kita dulu. Aku rindu masa-masa di mana kita bisa seirama dalam melangkah. Bukan seolah dansa yang keliru melulu begini. Kita menarikan salsa dengan lagu hip hop, kita menarikan waltz dengan lagu dangdut. Seolah tak cocok lagi. Tanpa berpanjang kata, aku hanya rindu dirimu yang dulu.

I miss you, but I hate you.

Judul lagu itu menggambarkan kondisi hatiku sekarang ini. Aku rindu kamu, tapi tingkahmu yang melulu melukaiku bikin aku mulai tersiksa dan membencimu juga.

Adakah kemungkinan kita kembali seperti dulu? Jika tidak, mungkin aku pilih kita pisah rumah saja, karena aku tak tahan lagi.

Frieda.

Diam-diam, kulipat surat itu, kumasukkan ke dalam amplop putih panjang. Dan kuselipkan di tas kerja Daniel. Entah apa yang bakal terjadi. Entah dia akan baca atau tidak. Mungkin juga dia akan buang setelah melihat tulisanku: Dearest Daniel-my hubby. Aku tak tahu, setidaknya aku ingin lakukan sesuatu.

Hari itu aku menunggu dengan gelisah. Semua SMS dan telepon yang masuk, jangan-jangan ada yang dari Daniel? Tetapi ternyata tak satu pun berita yang masuk dari Daniel. Aku mengeluh dalam hati. Kecewa berat. Mungkin cintanya padaku sudah benar-benar musnah. Sehingga dia tak lagi peduli padaku, apalagi perasaanku. Mungkin aku dianggapnya cengeng. Setelah puas memikirkan segala pikiran negatif yang memenuhi kepalaku, aku mulai bersiap untuk berbenah. Mungkin ini hari yang bersejarah. Kalau sampai malam nanti dia tak ada respons, aku akan pergi. Pergi dari penjara ini. ‘Prison break’.

Sore jam enam tiga puluh. Tumben, dia pulang pagi. Daniel suamiku pulang. Tanpa ekspresi. Dia mengganti bajunya lalu duduk di komputernya. Tidak lapar katanya. Tak selera makan. Aku diam, menunggu kalau-kalau dia akan mengajakku bicara. Dia malah diam saja. Seolah lidahnya membeku. Bicara denganku benarkah sesulit itu?

Aku masuk ke kamar kami, anak-anak kami masih ribut urusan televisi. Berebutan’channel’ seperti biasa. Ketika akan kuambil tas kecil yang kuisi baju buat beberapa hari tinggal di rumah orang tuaku, kulihat ada sepucuk surat di situ. To: Frieda, istriku.

Isinya cuma singkat. Di kertas HVS itu, tulisannya dengan spidol biru tua terpampang lebar-lebar: ‘I HATE YOU BUT I DON’T MISS YOU!!!’

Aku sudah hampir marah menahan emosi jiwa. Keterlaluan ini. Aku sudah siapkan diriku. Urus saja sana tiga anak-anakmu!

Tetapi, kuperhatikan lagi, tulisannya itu belum selesai. Ada panah kecil menunjuk ke halaman sebaliknya. Dengan segera, kubalik:

Aku bohonggg… ‘I MISS YOU too!’

Daniel.

Sebal, merasa dipermainkan, kudatangi dia. Kupukul punggungnya dari belakang, agak kencang. Dia tertawa terbahak-bahak. Inilah suami yang kucintai, tetapi memang urusan kami tak semudah itu diselesaikan. Surat-suratan tak cukup untuk membuat segala permasalahan yang sudah runyam terselesaikan seperti menjentikkan jari. Tapi… Mungkinkah ini awal yang baru bagi kami?

Dia lalu memelukku. Dia bilang, “ Maaf ya, Fried! Kalau aku selama ini menyebalkan. Aku mencoba memperbaiki diriku, ya. Tapi aku tak janji akan seberapa cepat kita kembali seperti dulu lagi atau mungkin kita tak pernah kembali seperti dulu karena memang kisah kita sudah berbeda dengan tambahan tiga buntut kita yang lucu-lucu itu. Tapi, aku sadar, aku salah.”

Aku merasa amat lega. Jujur, masih ada ketakutan yang menghantuiku. Bagaimana kalau dia mengulang lagi perbuatan-perbuatan kasarnya itu. Makian dan cercaan itu? Hinaan itu? Tak semudah membalikkan telapak tangan, dia bisa berubah sekejap gara-gara surat ini, kan?

“ Fried, selama ini aku menghadapi masalah di kantor, aku tahu, tak seharusnya kubebankan kepadamu tanpa kautahu apa salahmu. Tapi, aku bukan pengontrol emosi yang baik. Aku mohon maaf.” Dia kembali bicara dengan lembut dan perlahan.

Aku tak tahu harus percaya penuh atau tidak. Yang pasti, hari ini kulihat adanya niat tulus dari dirinya. Mungkin tidak mudah dan tidak mulus, tapi biarlah kuberi kesempatan untuk melihat apa yang akan terjadi di hari depan nanti. Karena untuk pisah sebetulnya tidaklah mungkin bagiku.

Tiga anak kami memelukku dan kutarik suamiku ke dalam pelukan mereka. Kini, kami semua berpelukan. Erat. Semoga ini jadi awal yang baru bagi kami. Semoga apa pun yang terjadi nanti, kami diingatkan bahwa ada masa-masa di mana kami pernah saling mencinta dan ingin mengulangnya lagi.

Surat-suratan singkat ini, membuahkan hasil lumayan bagi kami. Kau mau mencobanya? :)

HCMC, 22 Maret 2010

-fon-


sumber gambar:
http://images.google.com.vn/imgres?imgurl=http://images2.layoutsparks.com/1/231848/i-miss-you.jpg&imgrefurl=http://www.layoutsparks.com/myspace-layouts/miss-you_0&usg=__K-73kgnHWsxjtiRHpfgwrX79Eg8=&h=833&w=1023&sz=61&hl=en&start=17&um=1&itbs=1&tbnid=0z4-I6qG5eKjeM:&tbnh=122&tbnw=150&prev=/images%3Fq%3Di%2Bmiss%2Byou%26um%3D1%26hl%3Den%26sa%3DN%26tbs%3Disch:1

No comments:

Post a Comment