Tuesday, March 9, 2010

Rasa



Rasa itu membuncah. Beterbangan di udara. Memenuhi setiap sudut ruang dan waktu. Memainkan alunan musik yang amat indah. Memasuki wilayah hatiku. Merajai kepalaku. Dan membuatku mabuk. Mabuk kepayang.

Mungkin ini cinta yang terlarang. Tapi apa daya, ketika dia datang aku pun tak kuasa menolaknya. Karena sering berjumpa, rasa itu berkembang. Pesat. Teramat pesat yang bahkan lajunya tak bisa lagi kuhalau. Tak bisa lagi kuhentikan.

Kamu.

Kamu telah mengisi hari-hariku. Kamu telah mengisi jiwaku. Kamu telah mengisi hatiku. Kamu telah mengisi setiap rongga dadaku. Kamu telah mengisi setiap sel di tubuhku. Yang kesemuanya meneriakkan namamu. Aliran adrenalin yang kencang membuatku semangat. Kamu membuat diriku merasakan satu rasa baru yang sudah lama tak pernah hadir di hidupku. Jadikan hidupku penuh warna. Bercahaya. Berkilau. Tapi tak membuat silau.

Cinta.

Tak kusangka cinta itu bergeser pelan, mengetuk pintu hatiku dan masuk di situ. Dia berdiam diri. Bermukim dengan nyaman. Dan karena dia disirami tiap hari, dia berkembang dengan subur. Cinta, tak kukira akan datang lagi, setelah sekian lama aku sendiri. Sepi. Merangkai setiap helaan nafas sepiku dan menyimpannya dalam-dalam. Takut banyak orang tahu. Namun akhirnya, kurasakan kembali nafas cinta yang menghembus pelan ke dalam hidupku.

Kita.

Bukanlah sesuatu yang mungkin sebetulnya bagi cinta ini berkembang. Aku suka kamu. Aku bahkan cinta sekali padamu. Dan diam-diam, kutangkap getaran yang sama darimu. Ah, mungkin kau terlalu malu untuk mengucapkannya. Mungkin kau masih ragu? Karena kau mudah tersipu? Tetapi, kurasakan dalam dan lembutnya tatapan matamu ketika mata kita bertemu. Aku sering menenggelamkan diriku dalam lamunan tentangmu. Menikmati sepuas-puasnya senyummu, tatapanmu, rahang kokohmu. Dari jauh. Karena aku tahu, ada batas yang tak pernah bisa kita langgar. Ada aturan yang tak pernah bisa kita dobrak. Cinta kita mungkin takkan pernah terjalin. Hanya ada di hati masing-masing, kecuali suatu saat kalau memang itu terjadi. Ketika kakakku meninggal suatu hari nanti, mungkin kita bisa bersama. Kesannya aku jahat sekali ya, menunggu kematian kakakku untuk bersama denganmu. Tetapi aku memimpikan hal itu. Memang gila! Dan aku tak kuasa juga mengecewakannya yang selalu baik padaku. Setiap kuberpikir tentang kita, kurasakan cinta menggelora. Namun aku tahu pasti, ini tak mungkin terjadi. Setidaknya sampai detik ini.

Jauh.

Akhirnya kupilih pergi menjauh. Dari dirimu, dari kakakku. Dari keluargaku. Dari orang tuaku sendiri. Biar kupilih jalan hidupku. Biar aku pergi jauh. Bukannya aku tak mau, tapi aku tahu, rasa ini datang tak diundang dan mulai mengancam keutuhan keluargamu. Keluarga kakakku. Keluargaku.

Selamat tinggal, kakak iparku. Biarlah rasa yang tak pernah terucap ini, kusimpan dalam hati. Cinta kita memang tak boleh bersemi karena hanya akan menyakiti banyak pihak. Termasuk kita sendiri. Cinta kita harus berakhir sampai di sini.

Di hari itu kita kembali bertemu.

Setelah puas melanglang buana, mencari kehidupan baru. Kutemukan lagi dua telaga bening itu. Matamu.

Mata yang selalu ingin kupandangi. Lagi dan lagi, tanpa henti. Tak pernah bosan aku melakukannya. Kakakku akhirnya pergi untuk selamanya. Dia meninggal karena sakit kanker yang dideritanya. Kau sedih, menangis. Begitupun kedua keponakanku. Anak-anakmu. Juga anak-anak kakakku. Aku tak bisa menikah dengan pria lain, karena bayangmu selalu mengikutiku. Ke mana pun aku pergi. Ke belahan dunia mana pun, kau tak pernah jauh dari diriku ini.

Tetapi, untuk menikahimu dan menjalin cinta sebagaimana cinta seorang wanita kepada seorang pria? Aku pun merasa ragu. Terlalu banyak norma, aturan, dan perasaan orang yang terlibat di sekitar kita. Cinta ini terlalu kompleks untuk diwujudkan secara nyata. Mungkin aku harus menyimpannya dalam kotak di hatiku. Dan kuncinya kuserahkan kepadamu. Biarlah waktu yang memberikan keberanian itu kepadamu, agar suatu saat kau mampu membukanya dengan sepenuh hatimu.

Maafkan aku, kakakku. Aku tak pernah menduga, kalau kita mencintai orang yang sama. Cintaku tumbuh pada suamimu, tidak begitu saja. Aku melihat kearifannya, kebaikannya, kebapakannya. Dan perhatian yang tak pernah henti itu terus memenuhi hatiku. Aku tak hendak mengecewakanmu. Aku selalu menahan diriku. Untuk tidak mengganggu keluargamu.

Setidaknya, aku tidak mengecewakanmu. Sampai hari ini, aku masih menahan diriku untuk tidak terlalu dekat dengan suamimu yang kucintai itu.

Desir angin yang membelai wajahku tiba-tiba menyadarkanku. Kami tak bisa apa-apa saat ini. Masih terlalu pagi memprediksi hubungan ini akan dibawa ke mana. Namun, aku hanya mencoba berjalan. Melangkah bergenggaman tangan dengan Sang Waktu. Dan berharap suatu saat, akhir yang membahagiakan akan terjadi bagi kami.

Atau: mungkin juga tidak? Mungkin juga genggaman tangan Sang Waktu membawaku pada sesuatu yang menyedihkan. Aku tak siap sebetulnya, tetapi jika memang itu terjadi, biarlah Sang Waktu menggenggam jemariku lagi. Biarkan aku melewati ini semua sebagai bagian dari hidupku. Cintaku.

Aku terus berjalan. Kamu juga. Kita tak tahu harus ke mana. Kita serahkan semua kepada-Nya. Juga kepada Sang Waktu. Menunggu. Sabar. Sampai saatnya tiba. Hasil akhir? Aku belum tahu. Aku tetap menunggu. Apa pun itu.

HCMC, 9 Maret 2010

-fon-


Sumber Gambar:

No comments:

Post a Comment