Seorang anak mendekati.
Bukan, dua orang anak kecil mendekati. Sambil mengulurkan tangannya, memohon belas kasihan. Bahasa universal yang tak perlu ucapan kata, mereka hanya butuh sedikit recehan saja. Muka dioret sedikit arang hitam. Ditimpa panas yang menyengat. Siang hari di distrik tujuh-
Seorang anak mendekati.
Bukan, tepatnya seorang anak yang digendong oleh seorang wanita yang berjalan mendekati. Siang hari. Beda situasi dan kondisi. Di Pasar Ben Thanh, di jantung
Setengah memaksa orang untuk memberi sedekah. Mengandalkan anak kecil dalam gendongannya. Antara miris dan tercelikkan seketika: kemiskinan memang rata.
Seorang anak mendekati.
Bukan, tepatnya seorang anak yang membimbing seorang buta yang memegang bahunya. Pagi hari, di suatu pasar yang tak jauh dari rumah. Mencoba menjual lotere yang entah berapa harganya. Atau bila tak mau beli, sumbang saja seadanya. Mempergunakan ketidaklengkapan fisik untuk meminta-minta. Nurani mungkin bimbang seketika: haruskah beli lotere untuk menyumbang? Padahal tak pernah dalam sejarah beli lotere sebelumnya? Masih cerita yang sama: kemiskinan membuat orang melakukan apa saja.
Potret kemiskinan yang tak jauh beda dengan apa yang terlihat di negeri tercinta.
Kemiskinan dalam berbagai rupa. Menyuarakan kepedihan yang sering terlupa.
Sementara dalam hati-hati yang miskin kasih, yang tak lagi peduli. Yang penting uangku banyak, yang penting anakku sukses, yang penting keluarga kami makmur. Segalanya tentang aku dan aku.
Tiba-tiba, rasa itu menyentak: kapan jadi manusia yang kaya hati kalau begini? Kapan keseimbangan itu akan lebih tercipta bila bukan dari sekarang? Belajar berbagi, belajar peduli, dan tak menghamburkan uang untuk kesenangan yang terlalu berlebihan. Tak ada yang salah dengan menggunakan uang yang dihasilkan oleh keringat sendiri. Tetapi, bila terpikir mereka yang kekurangan, masih mungkinkah nurani terketuk sekali lagi? Mungkinkah juga ketulusan berbagi terpampang lebar di pintu hati?
Memberi sering kali melemahkan orang yang menerima, begitu prinsip beberapa orang. Namun, tidak memberi sekaligus bersikap masa bodoh dan cuek: apakah itu juga solusinya?
Seorang anak menghampiri.
Bukan satu, dua anak kecil itu lagi.
Dan hati berbisik: maukah kauberbagi hari ini? Atau lakukan sesuatu untuk mengentaskan hal ini?
Mungkin hanya dalam pikiran utopis ditambah harapan untuk sedikitnya masih berlaku di dunia nyata: kasih itu masih ada. Kasih itu masih menyala. Masih banyak orang yang kaya kasih dan yang masih mau berbagi. Ketika kemewahan tak lagi memberikan kepuasan batin…
Hidup dalam kelimpahan bukan melulu untuk egoisme pribadi. Hidup dalam kelimpahan berarti yang lebih mau berbagi kepada yang berkekurangan. Talenta, pengetahuan, uang, atau yang lainnya. Hati berbisik kembali: maukah kau berbagi hari ini?
HCMC, 29 Maret 2010
-fon-
Sumber gambar:
http://www.old-picture.com/united-states-history-1900s---1930s/pictures/Sharing.jpg
No comments:
Post a Comment