Euforia karena Sang Kacang terbebas dari masalah lama yang membelitnya dan menjadikannya orang yang sukses serta punya segalanya masih berlangsung. Herannya, itu pun tak membahagiakannya. Kegiatan sosialisasi di kalangan gaul yang sering dia sebut kelompok sosialita yang jelas-jelas bertujuan tidak terlalu sosial jika itu ditujukan kepada mereka yang miskin-papa, hanyalah merupakan kegiatan haha-hihi, gosip-gosip, ataulah ajang memamerkan diri dan jadi iri dengan keberhasilan orang lain.
Seolah Sang Kacang lupa dari mana dia berasal. Seolah Sang Kacang lupa perjuangannya mencapai kegemilangan di hari ini dimulai langkahnya sejak beberapa tahun lamanya. Sang Kacang selalu membandingkan dengan yang lebih. Dengan yang punya. Kalau anak orang bisa sekolah di sekolah internasional, kenapa anakku tidak? Kalau orang bisa beli tas seharga USD 2.000, kenapa aku tidak? Kalau bisa lebih, 8.000-10.000 USD mungkin? Kalau orang bisa nonton konser dengan terbang ke Singapura, maaf ya, mainanku sekarang nonton Broadway di Amerika.
Sang Kacang hampir lupa diri, lupa segalanya. Ketika itu dia tak lagi peduli pada mereka yang menderita. Ketika anaknya tak diterima di sekolah internasional andalan, dia lakukan pelbagai cara. Yang penting, anaknya diterima. Uang berapa pun tak jadi masalah. Sementara di pelosok nusantara, masih banyak anak yang menunggak bayaran sekolah. Masih banyak yang tak sanggup beli seragam, sepatu, atau buku pelajaran. Sekolah bagi mereka masihlah barang mewah. Semewah daging yang hanya bisa dimakan tiap dua minggu sekali. Sang Kacang lupa, di tengah kemegahan hidupnya yang selalu berpusat pada dirinya, bahwa masih banyak insan manusia yang butuh pertolongan. Yang sungguh prihatin hidupnya. Yang sungguh hari itu tak tahu harus makan apa.
Sang Kacang hampir saja melupakan kulitnya secara total, membuangnya sehingga nyaris tak bersisa, sehingga dia bisa lupakan masa lalunya (karena diam-diam dia pun malu pada masa lalunya yang kurang cemerlang itu dan berusaha menguburnya). Namun, di saat itu seluruh keadaan berubah. Kemapanan terenggut, kesulitan bertubi-tubi menyambangi tanpa henti, kenyamanan ditarik. Tinggal Sang Kacang menyesali. Haruskah sombong setengah mati ketika berjaya? Haruskah hamburkan uang secara percuma ketika sedang kaya? Kini ketika dia jatuh, tak lagi punya apa-apa, dia menyesali dirinya. Kalau saja dia ingat kulitnya, mungkin tak begini jadinya.
Sia-sia? Tidak juga.
Pembelajaran hidup acap kali dibayar dengan mahal. Tetapi, memang bukan suatu hal yang tanpa guna.
Sang Kacang menata hidupnya kembali. Dan kali ini, kalau sampai dia mengecap lagi indahnya sukses dunia, dia akan ingat kulitnya. Dia akan ingat sumbernya. Dia akan ingat DIA yang sudah memberikan segalanya. Dia akan lakukan semuanya dengan cara yang berbeda. Dan dia akan buktikan itu semua, lewat perbaikan dirinya.
HCMC, 5 Maret 2010
-fon-
* kalau lagi beruntung dan sukses, ingatlah Dia. Terlalu sering kita meminta ketika susah, tetapi lupa akan Dia ketika bahagia.
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment