Wednesday, March 31, 2010

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-6)



Sebulan telah berlalu.

Bertambah sebulan lagi pengalaman hidupku di HCMC. Banyak pengalaman baru, banyak teman baru, banyak kegiatan baru. Intinya, so far so good!

Banyak yang bertanya padaku, apa tinggal di Vietnam mengerikan? Karena mereka mendengar atau masih dalam ingatan mereka bahwa Vietnam itu ‘kan bekas perang. Mungkin masih bentuknya mengerikan. Well, harus diakui, Vietnam memang belumlah secanggih Indonesia dalam hal ini Jakarta. Misalnya urusan mal. Untuk urusan yang satu ini, di sini memanglah amat kurang. Dibandingkan Singapura, apa lagi. Secara kualitas hidup memang Singapura sudah pasti menang ke mana-mana. Tentunya, tidak semua negatif, pastilah ada positifnya. Aku merasa senang karena di sini apa-apa masih murah. Bahkan terkadang lebih murah ketimbang Jakarta. Jadi, kalau segala sesuatu tidak begitu mahal, pastinya tidak begitu pusing kepala. Kalau harga-harga membumbung tinggi, pastinya pusing yaaa… Mau apa-apa pasti dipikirkan masak-masak.

Kondisi keamanan di HCMC menurutku masih lebih mending daripada Jakarta. Pernah ada kejadian pencurian masuk ke rumah juga sih, tapi kalau di jalan raya rasanya lebih aman di sini (terlepas dari motornya yang ruarrr biasa banyaknya, ya….). Di lampu merah setidaknya tidak ada pengamen yang ngotot minta uang atau tukang bersih-bersih kaca jendela yang sering pula membawa batu bila tidak dikasih uang, siap-siap lempar batu ke kaca mobil. Tidak ada pengalaman semacam itu yang kualami di sini. Kecuali kendala bahasa yang rasanya memang cukup mengganggu (kata temanku, dia merasa Bahasa Inggrisnya mengalami penurunan di sini, karena dia harus berbicara se-simple mungkin, sesederhana mungkin untuk dimengerti oleh sopirnya dan pedagang bila ia berbelanja). Aku merasa beruntung juga, di HCMC yang sudah kutinggali lima bulan, Bahasa Vietnamku akhirnya kelihatan sedikit perbaikan. Kursus yang kujalani bersama guruku selama tiga bulan setidaknya membuahkan hasil. Itu pun kurang maksimal karena aku terkadang kurang tertarik me-review pelajaran yang diberikannya. Karena jujurnya, Bahasa Vietnam memang tidak menarik. Kalau Bahasa Perancis yang cantik dan enak didengar itu bisa memancing rasa keingintahuanku, namun di Bahasa Vietnam yang penting bisa yang sederhana saja sudah syukurrrr banget.

Bulan ini aku sempat mengunjungi Vung Tau. Pulau yang berjarak 1.5 jam ‘ferry-ride’ dari HCMC ini kecil dan cukup sepi. Aku suka tempat ini. Dia memiliki tempat-tempat yang cantik pula, seperti patung Yesus yang besar di atas bukit, patung Buddha besar, pantai yang mirip-mirip Bali, dan ‘seafood’ segar plus murah. Bila ingin bepergian ke sini, bisa juga naik taksi atau mobil (jadi tak harus naik ferry). Lamanya sekitar 2.5 jam. Asyik juga melihat pemandangan yang lain dan lepas dari ramainya HCMC dengan jarak yang sesingkat itu kita bisa melihat suasana yang berbeda. Motor pun tak sebanyak di HCMC, jadi rasa deg-degan ketika menyeberang berkurang jauh dibandingkan di sini. Hidup pun lebih santai. Matahari-pantai-bukit. ‘I love this place.’

Hal yang juga kusuka adalah servis yang murah di sini. Cuci rambut misalnya. Cuci rambut di sini plus cuci muka. Istilahnya ‘goi dau’ (shampoo) dan ‘rua mac’ (cuci muka). Barisan shampo berjejer di salon tak jauh dari rumah kami. Ada berbagai merek, seperti mau jualan saja. Mungkin agar suasana yang tercipta mirip seperti rumah dan bisa pakai shampo yang biasa kita pakai di rumah pula. Sabun cuci muka pun begitu, banyak macamnya. Di distrik 1 – daerah turis- harga pelayanan semacam ini sekitar VND 90.000 (sembilan puluh ribu VND, setara Rp.45.000 –dibagi dua saja). Sedangkan untuk salon-salon yang lebih kecil, harga relatif lebih murah. Yang termurah bahkan hanya VND 30.000 plus ‘blow’ pula. Itu artinya sekitar Rp. 15.000. ‘Manicure-pedicure’ juga murah, walaupun membersihkannya beda dengan yang di Indonesia. Harga di pasar nampaknya berkisar antara VND 10.000-20.000 (Rp. 5.000-10.000 saja). Dan kuku sudah cantik rapi, walau sederhana saja membersihkannya tidak sampai total plus kutikula dan sejenisnya. Jadi tak heran ketika kulihat kuku-kuku penjual sayur atau ‘pho’ juga berhiaskan warna-warni kuteks yang lucu dan menarik. ‘They know how to enjoy life.’

Mereka tampaknya mudah disenangkan oleh hal-hal yang sederhana. Seperti yang kulihat menjelang Natal. Di Nguyen Hue dekat Tax Center (Satra), banyak orang datang hanya untuk berfoto di depan pohon natal. Mereka sepertinya sangat ‘excited’. Sangat menikmati setiap suasana yang ada. Tak perlu yang mahal sepertinya untuk menyenangkan mereka. Dari mereka kulihat bahwa mereka orang-orang yang mudah bersyukur. Tidak seperti di negara-negara yang tampaknya maju, tapi dipenuhi orang-orang yang keras dan menjadi seperti robot-individualistis-dan kurang ramah.

Tiap tempat ada plus minusnya. Dan di bulan ke-5 di Vietnam ini, kurasakan aku mulai memahami sedikit banyak tradisi di sini. Kalau mau memahami sepenuhnya mungkin sulit ya, tapi setidaknya sudah tidak terlalu gelap lagi. Titik terang itu sudah mulai ada, walaupun kendala masihhh aja ada, sih. Yang ‘ngadepin’ sopir taksi yang muter-muter lah, susahnya mau pesen makanan lah terutama di daerah yang non English speaking. ‘But, I will survive, as long as I know how to love I know I’ll stay alive’. Wakakaka, nyanyi lagiiii:)

Toi song o’ Tan Pho Ho Chi Minh (saya tinggal di Ho Chi Minh City). Praktek dikit Tieng Viet (Vietnamese-ku). Fonny undur diri, sampai jumpa di episode berikutnyaaa…

HCMC, 31 Maret 2010

-fon-

sumber gambar:

http://iguide.travel/photos/Vung_Tau-9.jpg

No comments:

Post a Comment