“ Bu, Bu Leni, ada telepon, Bu!” Suara pembantuku, Mbak Siti memecah ruang tamu kami.
“ Dari siapa, Mbak?” Tanyaku.
“ Saya ndak jelas itu, Bu. Kayake dari kantor pulisi atau rumah sakit gitu. Saya kurang denger, Bu,” Tukas Mbak Siti lagi.
Segera kuangkat gagang telepon dengan tergesa.
“ Apa betul ini Ibu Leni Maria Wiyata?” Tanya suara di seberang
“ Betul, Pak. Saya sendiri. Ini dari mana, ya?” Tanyaku ingin tahu.
“ Kami dari Kepolisian, Bu. Saat ini, suami ibu, Pak Deni Linardi Wiyata tengah berada di Rumah Sakit Carolus dalam keadaan koma. Menurut saksi mata di tempat kejadian, Pak Deni tengah dibonceng seseorang -naik motor- dan ditabrak sebuah mobil. Pak Deni terjatuh, begitu juga yang memboncengnya. Tak lama pengendara motor meninggal seketika di tempat kejadian. Dan Pak Deni yang terkena kepala belakangnya langsung tak sadarkan diri. Lalu, singkatnya dia dibawa ke RS Carolus. Maaf kalau berita ini mengejutkan Ibu, tetapi apa Ibu bisa datang ke Carolus segera?” Suara yang galak dan tegas itu terus menyerocos dengan cepat.
Masih menunggu jawaban dari Leni yang tak kunjung tiba, Pak Polisi bertanya lagi:
“ Bu Leni, Bu Leni, apa Ibu masih mendengarkan saya?”
Tak lagi kudengar penjelasannya. Duniaku langsung gelap seketika. Aku pingsan.
***
UGD RS Carolus.
Kupandangi wajah Deni, suamiku. Kupegang tangannya lembut. Sungguh aku tak tahu harus apa lagi, kecuali kuucapkan kata maaf. Sudah yang ke-1000 kalinya. Dia tak juga bereaksi. Hanya nafasnya yang masih teratur dan detak jantungnya yang masih terlihat di mesin.
Sesal di dada pun percuma. Sesal, terhadap apa yang keluar dari mulutku sebelum dia pergi kerja. Untuk menghindari macet, memang suamiku itu seringnya naik ojek atau dibonceng karyawannya. Mobil hanya dipakai saat pulang dan pergi kerja atau bertemu dengan klien penting saja. Deni memiliki perusahaan ekspedisi yang dikelolanya sendiri bersama beberapa anak buahnya. Memang suamiku itu orang yang rajin, namun dia amat tak peduli padaku. Karena dia terlalu mementingkan pekerjaannya, sementara penghasilannya tak seberapa. Aku sebagai istri yang kurang tahu diri tak juga menyambut kelelahan suamiku dengan senyuman, bahkan yang ada hanya semburan kemarahan. Apalagi ketika harus membayar uang sekolah dan uang kursus, Deni tak punya cukup uang. Sementara aku sudah terlanjur membayarnya kepada Bu Cipto untuk arisan bulan ini.
Kata Deni: “ Sudah, kamu minta kembali saja pada Bu Cipto, nanti kalau aku sudah kelar dengan penagihanku, aku akan gantikan uang itu dan kamu bisa bayar ke Bu Cipto.”
“ Den, mau dikemanain mukaku??? Kalau Rp. 1.000.000 saja aku tak punya? Gila kali, suruh minta ke Bu Cipto. Aku gak mau!” Tantangku sengit.
“ Apa arisanmu lebih penting dari uang sekolah dan biaya kursus Arline, anak kita?” Tanyanya tak kalah garang.
“ Yaaa, nggak sih, “ jawabku ragu. “ Tapi, kalau suruh minta balik ya, malu…” Ujarku lagi. “ Gak mau, ah!”
“ Terserah kamu, Len! Tapi kalau sampai anak kita tak bisa sekolah, itu salahmu!” Teriak Deni.
“ Salahku? Enak aja! Itu pertanda Papanya tak mampu menghasilkan uang yang cukup. ‘Gak seperti tetangga kita, ‘gak seperti kakakmu, gak seperti sepupuku. Huh, cuman mampunya segitu!” Makiku tambah sengit.
“ Ya kalau aku gak bisa cari, kamu bantu dong, Len. Jangan cuman bisanya ngomong doang, tanpa bisa lakukan apa-apa. Bisanya cuman ngabisin duitku saja.” Kata-kata itu keluar bak senapan tanpa henti dari mulut suamiku yang kunikahi sembilan tahun yang lalu atas dasar cinta.
Aku menangis. Sambil masih berteriak:
“ Nyesel aku kawin sama kamu, Den! Kalau tau cuman kayak gini aja. Mendingan aku kawin sama Bayu atau Adjie aja kali…Setidaknya keuangan mereka lebih mapan sekarang.”
“ Ya udah, kawin aja sama mereka sekarang. Kalau mereka masih mau sama kamu yang udah gembrot kayak gitu!” Sambung Deni dingin, tak berperasaan.
“ Pergi kamu, Den! Pergi! Jangan kembali! Cari uang yang banyak
***
Sesal kemudian tiada guna. Akibat sumpah serapahku, aku harus menghadapi kenyataan seperti ini. Dia sungguhan ditabrak mobil.
“ Leni, apa kamu puas sekarang???” Suara itu menghantam keras diriku. Suara hatiku sendiri.
Aku menangis lagi. Sesenggukan. Berteriak dan berharap dia mendengar. Tapi dia masih tak sadar juga. Harap tinggal harap. Kalau saja semua dapat kuputar kembali. Kalau saja ada mesin waktu yang membawaku kembali. Kalau saja…Kalau saja…Kalau saja aku bisa mengatur kata-kataku dengan lebih bijaksana….
Harap tinggal harap mengisi relung hatiku. Mengisi setiap doa yang keluar dari mulutku. Maafkan aku, Tuhan. Dari mulut yang sama bisa keluar berkat dan kutuk. Dari mulut yang sama bisa keluar pujian dan makian. Dari mulut yang sama bisa keluar puji-syukur sekaligus sumpah serapah.
Sesal menyesakkan dada.
“ Den, apa kamu bisa dengarkan aku? Akankah ada kesempatan bagi kita untuk mengulang kembali? Tuhan ampuni aku…” Air mataku kembali membanjiri kedua belah pipiku.
Maaf ke-1178 sudah kuucapkan. Berharap matanya akan terbuka lagi, menatapku lagi, dan kami bisa bicara dari hati ke hati. Akan kuubah semua sifat dan perkataan burukku. Penyesalan mungkin datangnya terlambat bagiku, tapi aku sungguh mau berubah,Tuhan… Maukah Kauberikan kesempatan itu?
Kata maaf ke-3599 sudah kuucapkan, dia masih koma.
Aku masih menunggu. Menunggu. Entah sampai kapan, namun selama dia masih bernafas aku masih menyimpan harap itu dalam dadaku-di relung terdalam di hatiku.
Tuhan, semoga Kaudengar pintaku…
HCMC, 15 Mei 2010
-fon-
* nama dan tokoh hanyalah fiktif belaka, bila ada kesamaan itu tidaklah disengaja.
* Hanya ingin mengingatkan diri sendiri tentang pentingnya memilih kata-kata yang baik. Bukan kutuk, bukan sumpah apalagi serapah. Semoga keluarga kita dipenuhi kata-kata yang baik, semoga mulut kita dipenuhi kata-kata yang membangun daripada menjatuhkan. Semoga…
Sumber gambar:
http://www.psychologyproductsandservices.com/img/bigstockphoto_Angry_Fighting_Couple_2350563.jpg
No comments:
Post a Comment