Monday, May 10, 2010

Thank God I Found You Part 5


Thank God I Found You Part 5

*** Episode: Bukti

Previously on Thank God I Found You 4 (Episode:’ Conspiracy Theory?’)…

Mama Jason sudah melewati masa kritisnya dan kembali sadar. Sementara di luar, seorang pria yang ternyata Willem merencanakan sesuatu yang jahat. Dia berniat untuk menculik Vita dengan pistol palsu yang mirip aslinya. Setelah itu, malah Susi yang melihat seluruh gerak-gerik Willem, mengambil pisau dan menodongkannya ke leher Willem seolah menyelamatkan Vita. Di mobil, mereka melakukan ‘deal’ tersendiri. Akankah ini jadi ‘conspiracy theory’? Willem sendiri seolah amat tertarik pada kecantikan Susi dan agak ragu dengan perasaannya sendiri terhadap Vita. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Simak episode berikut ini.

Episode: Bukti

Susi yang dari tadi duduk di samping Willem karena mereka berdua duduk di bagian belakang mobil yang tersembunyi di balik pohon itu, langsung bergegas pindah ke bagian depan mobil, tepatnya di kursi setir lagi. Dia bersiap-siap menggerakkan mobilnya karena melihat dari kejauhan petugas keamanan rumah sakit mendekati mereka. Nampaknya, Jason dan Vita tadi melaporkan kepada Si Petugas yang langsung dengan sigap datang ke tempat kejadian bersama tiga orang anggota timnya. Posisi mobil Susi sebetulnya tak terlalu jauh dari jangkauan mereka. Karena dari awal Susi memata-matai Willem, posisi mobilnya hanya sekitar 100 meter saja dari Willem. Hanya saja, Willem ‘kan belum tahu dirinya, belum kenal dia. Jadi dia bisa leluasa lakukan apa saja saat memonitor Willem. Dari tempat kejadian kericuhan Willem-Vita-Jason dan dirinya tadi, jaraknya pun hanya sekitar 150 sampai 200 meter saja dari parkiran mobilnya. Jadi, memang mereka harus bergegas karena dari kejauhan petugas keamanan itu mulai terlihat berlari menghampiri mereka. Susi tancap gas, mobil sedan hitamnya meluncur cepat terburu-buru, sementara petugas keamanan tertinggal cukup jauh tak mampu mengejar mereka. Sedangkan upaya untuk menghubungi pos petugas penjaga parkir tak bisa dilakukan karena kerusakan alat penghubung dengan pos penjagaan.

Susi melarikan mobil dengan kecepatan tinggi, di lampu merah Slipi ke arah Semanggi, kebetulan tengah lampu hijau. Susi kembali tancap gas menuju ke Patung Pancoran. Setelah berputar di sana, dia menepi. Menurunkan Willem secara paksa dengan mengusirnya, walaupun Willem masih berusaha ingin mengikuti dirinya.

“ Turun kamu!” Usir Susi.

“ Gak mau, nanti saja. Ikut ke rumah kamu juga boleh,” Willem setengah menyeringai tak jelas.

“ Turun, kalau tidak jangan harap kamu bisa bertemu lagi denganku.” Ancam Susi.

“ Wah, aku masih mau bertemuuu….Baik, baik Non, aku turun sekarang…” Willem setengah terpaksa angkat kaki dari kursi belakang mobil Susi.

Usaha Willem sia-sia, yang dia dapat hanyalah nomor telepon Susi karena biar bagaimana pun mereka punya proyek konspirasi.

Susi berlalu, membelah malam, masuk ke tol. Pulang.

***

Jason dan aku masih berada di Rumah Sakit di antara para petugas keamanan. Sambil melambaikan tangan perpisahan dan mengucapkan terima kasih kepada mereka, tak lama kemudian kami kembali naik taksi. Tiba-tiba hujan mengguyur deras-lima menit setelah mereka masuk ke taksi. Aku teringat kembali masa-masa kami bertemu untuk pertama kalinya. Hujan deras, macet, Plaza Semanggi, taksi. Semua menambah haru suasana hatiku. Yang ….entahlah…Aku tak tahu akan bagaimana kelanjutan kisah cinta kami. Yang kami punya hanyalah keinginan untuk saling berbagi, saling cinta walaupun tahu dan sadar bahwa di hadapan kami setidaknya ada dua batu penghalang: Susi dan Willem.

Sesampainya di rumah, aku masuk ke kamar biruku. Meletakkan tubuh letihku di tempat tidurku. Mendengar Radio ‘Moonlight’ kesukaanku. Lagi dan lagi. Mendengar setiap lagunya. Tak lama aku memutuskan untuk mandi air hangat. Selesai mandi, terdengar lagu itu lagi. Lagu yang pernah membuatku bersyukur memiliki Jason.

Thank God I found you
I was lost without you
My every wish and every dream
Somehow became reality
When you brought the sunlight
Completed my whole life
I'm overwhelmed with gratitude
Cause baby I'm so thankful
I found you

Sungguhkah? Benarkah? Kali ini perasaanku sudah tidak sekuat dulu. Cintaku masih sama walaupun terbalut luka, namun aku sudah mulai pakai logika. Cinta kami memang tidak mudah untuk diperjuangkan. Walaupun Jason adalah pria idamanku, tetapi aku sakit hati berkepanjangan karena Susi dan Willem yang tiba-tiba muncul tak diundang. Sakit hatiku pada Susi juga terkait dengan kejujuran Jason padaku. Terlihat, bahwa memang nampaknya Jason serius padaku dan Susi memang orang yang sering membuat onar. Tetapi, benarkah aku harus percaya seratus persen pada Jason?

Hati yang terombang-ambing, membawa aku kembali duduk bersandar pada bantal kepala yang kutumpuk dua buah. Seprai biru muda yang baru diganti Si Mbak senada dengan selimut biru-beige yang ada di bawah kakiku. Aku memejamkan mataku, berdoa dalam hatiku, membatin. Menangis sampai puas. “ Sampai kapan aku harus begini, Tuhan? Kupikir Jason adalah cinta terakhirku yang akan membawaku sampai ke pelaminan. Kini, seolah pelaminan sudah di depan mata, tetapi aku tak mampu jua meraihnya. Apa memang tiada lagi harapan bagi kami? Hati ini juga sudah terlanjur terlukai. Cinta yang amat besar beresiko terlukai yang amat mendalam. Seperti hatiku yang sudah kupercayakan sepenuhnya pada Jason, sampai pada berita soal dia dan Susi bertunangan dan punya bayi. Hatiku sakit luar biasa, Tuhan….Apakah obat yang paling manjur untuk mengobatinya?”

Kuletakkan tangan di dadaku, menangis dalam doa, berharap terlalu tinggi kemudian kecewa. Mengambil tissue di meja kecil sebelah ranjangku, menyeka air mataku sambil membersihkan hidung yang tiba-tiba mampet karena tersumbat akibat menangis terlalu sedih. “ Tuhan, adakah Kautahu jawabannya?”

***

Rumah Susi di PIK…

Susi tiba di kamar mewahnya. Di Pantai Indah Kapuk. Kamar seluas 5 x 6 meter itu tertata rapi dan apik. Didominasi warna putih seperti hotel. Keset kaki, handuk, seprai, semua putih. Bersih dan mahal. Kembali diulanginya ritualnya setiap kali dia pulang ke rumah. Mandi sampai dia merasa bersih, memakan waktu setengah jam lebih. Belum lagi ritual bersih-bersih lainya, cuci muka, sikat gigi, pakai krim mewah Perancis yang mahal itu.

Barulah dia duduk di ranjang mewah dan mahalnya. Berpikir strategi berikutnya untuk menghadapi Jason dan Vita. Dia merasa yakin dari pertemuannya dengan Willem hari ini, dia bisa menguasai Willem karena Willem seolah terpesona melihatnya. Susi sudah hafal betul tatapan semacam itu dari pria-pria yang selalu mengaguminya. Seolah menaklukkan Willem untuk kemudian melakukan apa yang diinginkannya akan berlangsung mudah.

Dalam diam dan berpikir tentang langkah berikutnya. Satu per satu kenangan bermunculan lagi dalam dirinya. Dirinya tak lepas dari luka. Keganasannya dalam menghadapi hidup dan menghalau semua lawannya, tak lebih dari tindakannya untuk melawan luka. Karena wanita secantik dirinya tak seharusnya punya luka. Itu keyakinan yang selalu ditanamkannya dalam hatinya. Walau dirinya tahu dia keliru, dia tak peduli. Dia hanya ingin bahagia….

Tante Reni, Mama tirinya, sumber kebenciannya. Papa juga. Karena Papa sudah mengkhianati Mama. Maka dia selalu berpikir semua lelaki sama saja, jadi dia akan ‘ngerjain’ para lelaki itu. Apalagi yang jatuh cinta, gandrung setengah mati, tergila-gila padanya. Sampai akhirnya, dia bertemu dengan seseorang yang dia pikir bisa jadi cinta sejatinya, Jason. Sesal tiada guna. Dia tahu dirinya salah, tetapi dia juga mau Jason kembali ke pangkuannya.

Diambilnya telepon rumahnya ditaruhnya dalam ‘mode speaker’, dipencetnya nomor Jason sekali lagi. Berharap dapat jawaban, walaupun mungkin makian. Susi hanya ingin dengar suaranya.

“ Halo, mau apa lagi kamu?” Suara garang di seberang sana menghentakkan hati Susi. Suara yang sudah begitu lama diinginkannya untuk berbisik lembut di telinganya. Bukan dengan cara ganas seperti ini.

“ Aku mohon maaf, Jason kalau teleponku ini mengganggu kamu. Tetapi, tidakkah kamu mau berterima kasih untuk setidaknya pertolonganku pada Vita yang sudah selamat dari Willem?” Jawab Susi tenang.

“ Apa bedanya? Kamu tolong atau tidak, Vita tidak bakal mati. Karena itu hanya pistol mainan dan Willem tak bakal tega membunuhnya karena dia terlalu cinta padanya.” Jawab Jason penuh emosi.

“ Jadi, kamu tak benar-benar cinta pada Vita? Kamu tak peduli keselamatannya, begitu Jason?” Pancing Susi.

“ Cinta atau tidak, apa urusannya denganmu. Yang pasti cintaku sudah tidak ada lagi untukmu.” Suara Jason makin meninggi.

“ Kamu tidak cinta pada Vita kalau begitu…. Ha ha ha… Aku tahu, Jason…Kamu tidak cinta padanya. Kamu hanya cinta padaku saja.” Ucap Susi makin menyebalkan.

“ Aku memang tidak hanya cinta padanya. Aku tergila-gila padanya. Aku hanya ingin menghabiskan masa tuaku bersamanya. Dan jangan kau ganggu kami lagi.” Jason amat tegas kali ini. Setengah mengancam? Dia sudah tak peduli. Menghadapi orang semacam Susi memang harus begini.

Dimatikannya telepon di ujung sana. Tak lagi peduli pada Susi yang semakin ‘psycho’ tak tentu arah.

“ Huh, menghabiskan enerjiku saja, kamu!” Umpat Jason.

Sementara di kamar putih bersih bak hotel di Pantai Indah Kapuk. Susi tersenyum puas. Menekan tombol stop pada ‘recording’ handphone-nya. Percakapan dari tadi dia rekam dan bersiap untuk langkah selanjutnya…

“Guys, aku belum selesai….!” Tawa sinisnya menggema… Menghilang di gelapnya malam sambil dia mematikan lampu kamarnya…

Bersambung…

HCMC, 10 Mei 2010

-fon-

* terima kasih atas kesabarannya dalam menunggu kelanjutannya. Tertunda karena saya ke luar kota. Trims.

Sumber gambar:

http://images.buycostumes.com/mgen/merchandiser/36095.jpg

No comments:

Post a Comment