*** Episode: Someone from the Past
Previously on Thank God I Found You 6 (Episode:Minggat)…
Willem dan Susi benar-benar menjalankan rencana mereka. Willem datang ke rumah Vita dan menunjukkan hasil rekaman suara kepada Mama Vita dan bilang bahwa Jason dan Susi pernah tunangan bahkan punya anak walaupun Si Anak akhirnya meninggal dunia. Suara Jason yang mengatakan dia tidak mencintai Vita terdengar jelas oleh Mama Vita dan membuatnya yakin kalau Jason hanya main-main saja dengan putrinya. Sementara itu hubungan Susi dan Willem berkembang lebih pesat dari apa yang mereka kira hanyalah ‘conspiracy theory’ belaka. Mereka mulai saling suka dan biarlah waktu yang akan menjawab kelanjutan hubungan mereka. Sementara Vita yang pulang ke rumah merasa dipojokkan dan tidak dipercayai oleh Mamanya dan Vino, akhirnya memutuskan untuk minggat dari rumahnya. Suntuk di rumah, suntuk dengan Jason, Susi-Willem tanpa kejelasan seperti itu, membuatnya ingin lari dari semuanya itu walau hanya untuk sementara. Bagaimana kelanjutan cerita ini, simak di episode berikut ini…
Episode: Someone from the Past
Kamar biru, kamarku…
Kudengar Vino sudah masuk ke kamarnya. Pastinya tak lama dia bakal sibuk dengan laptopnya, dengan barbel yang ada di kamarnya, dengan gitar elektriknya. Dia bakal sibuk sendiri. Stage one: clear.
Pelan-pelan, kuturuni anak tangga rumah kami sambil setengah mengendap-endap. Kudengar ada bunyi gemericik air dari kamar mandi. Mama tengah mandi, sementara Papa belum pulang. Kami hanya pakai pembantu harian, jadi memang tak ada orang lain di rumah. Stage two: clear.
Kupakai sepatu kets-ku tergesa. Lalu aku keluar, menunggu taksi dan masuk ke taksi biru bergambar burung andalanku itu.
“ Ke mana, Mbak?” Tanya tukang taksi.
“ Ke daerah Gajah Mada,
“ Halo, Santi. Elo di rumah?” Tanyaku.
“ Iya, baru aja nyampe. Kenapa, Vit? Elo di mana?” Tanya Santi beruntun.
“ Aku di taksi, San. Baru mau ke rumahmu. Tunggu ya, mungkin rada lamaan. Aku nginep tempat kamu ya malam ini?” tanyaku lagi.
“ Hei, ada apa, Non? Koq pake nginep segala? Kamu gak pa-pa ‘
“ Elo emang my best friend, San! Nanti aku baru cerita, ya. Thanks!” Klik. Telepon kumatikan. Rasanya memang tak ada tempat lain yang lebih aman dan nyaman selain rumah Santi saat ini. Uhm, maksudku apartemennya di kawasan Harmoni-Gajah Mada itu. Dia yang sudah memutuskan untuk jadi ‘single foreva’ itu memang memilih mandiri. Tinggal di apartemen sendiri, nyetir sendiri, mencuci sendiri, masak sendiri? Wah, jarang! Mending beli katanya :)
Kumasuki lobby resepsionis dan kukatakan:
“ Malam, Mbak. Tolong ke unit Ibu Santi, tujuh kosong satu.”
“ Baik, Bu. Nama ibu?” Kata resepsionis cantik berwajah lembut itu.
“ Vita, “ jawabku cepat.
Diangkatnya teleponnya dan tak lama dia mengatakan:
“ Bu Santi, ini ada temannya Ibu Vita di lobby. Baik, bu…Ma kasih.”
Lalu dia memandangku dan bilang:
“ Silakan masuk, Ibu. Sudah ditunggu katanya.”
Tak lama seorang satpam dengan ‘access card’-nya membukakan pintu bagiku untuk menuju lift unit Santi.
Kupencet lantai tujuh. Ah, sudah berapa lama aku tak mampir ke tempat ini.
Santi sudah muncul di depan pintu.
“ Kenapa lagi elo, say? Ini ‘
“ Iya, San. Tapi, suasana bener-bener ‘complicated’ deh dan bikin gue pusing setengah mati. Tujuh kali tujuh keliling deh. Ini kayak lingkaran setan, tau gak?” Ucapku.
“ Hush! Si Jahat jangan disebut-sebut, ah! Pamali!” Santi berteriak kencang sambil tertawa terbahak. Ciri khasnya yang selalu ceria, seolah tanpa masalah. Padahal? Dia pandai menyembunyikan itu semua dalam bungkusan keceriaannya. Dia juga manusia yang pernah sedih juga.
“ Elo gak ada acara apa-apa, ‘
“ Ehm, karena elo nanya, nih. Gue jujur, ya… Besok pagi, gue rencana ke
“ Eh, mau ngapain loe?” Aku penasaran…
“ Ikutan bakti sosialnya Suster-Suster biara itu. Tiap bulan, tepatnya tiap awal bulan, mereka ada kegiatan masuk ke kampung di belakang mereka. Ngasih makanan, ngasih uang sekolah, ngasih uang susu ke bayi yang baru lahir. Kalau tiap Minggu, di hari Sabtu, mereka ada pelajaran gratis buat masyarakat di
“ Tumben elo, siapa yang ngenalin elo ke mereka? “ Tanyaku.
“ Salah seorang temen kantor gue. Elo inget Si Mbak Ida, nggak? Ya itu dia yang ngajak gue tiga bulan lalu. Dan gue ketagihan tiap bulan pasti ke
“ Jam berapa perginya besok, San?” tanyaku.
“ Jam sembilan deh, biar gak usah terlalu pagi. Kita breakfast dulu aja.” Jawabnya.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Jason!
Mau kuangkat atau tidak? Karena bingung dan mau menyepi. Aku diam sebentar. Berpikir. Tapi, akhirnya kuputuskan untuk tidak mengangkatnya saja. Kubuat ‘silent mode’ biar tidak lagi menggangguku.
Kami ngobrol sambil makan malam. Pizza yang kami pesan lewat delivery. Senangnya ada teman untuk berbagi. Dalam suntuk pun tak lagi terasa sendiri. Santi memang temanku sejati.
Tiba-tiba ‘handphone’ Santi yang berbunyi. Sebelum diangkat dia bilang:
“ Nomornya dari rumah elo, Vit! Angkat gak neh?”
“ Angkat, tapi jangan bilang aku di sini.” Jawabku gugup. Seharusnya sudah bisa diprediksi, mereka pasti mencariku dan menghubungi Santi. Santi tokh sudah tahu kondisiku yang ketika makan pizza dan minum coca cola kuceritakan juga kepadanya tadi.
“ Ya, bohong donk? Atau gak usah angkat aja, ya?” Ujar Santi lagi.
“ Terserah elo, deh.” Jawabku.
Akhirnya Santi tak jadi mengangkat teleponnya. Kusesali diri juga, ‘ngapain juga nyuruh dia berbohong….Duh, Vita. Tak biasanya kamu begini…
Kami tidur agak larut. Sekitar pukul 12. Itu pun kami paksakan tidur, karena besok perjalanan
Keesokan harinya…
Pagi yang agak mendung. Kami bangun pukul delapan. Mandi, siap-siap, lalu makan bakmi karet dan satu jam kemudian pergi meluncur dalam mobil Santi. Jazz hitam itu meluncur agak cepat. Mumpung jalanan lengang dan enak…
Kami sampai di
Perlahan, kupandangi wajah orang yang menyambut kami di Susteran ini. Seorang pria, memakai kruk, kakinya cacat. Bekas luka di mukanya juga tak hilang, seolah mengalami kecelakaan hebat. Herannya dia dari tadi menghindari aku, tak berani menatapku. Hanya menyambut dan berucap:
“ Selamat datang, Mbak!”
Suara itu, begitu familiar. Bukan pertama kali kudengar. Kembali kulihat wajahnya, membayangkan wajah itu tanpa bekas luka dan dengan kaki sempurna…Kuhampiri dia. Dia masih berusaha menyibukkan dirinya…
“ Joko, kamu jangan hindari aku lagi. Aku tahu itu kamu!” tukasku cepat.
Terkesiap dirinya karena kukenali. Dia mencoba lari…
“ Jokoooo…panggilku lagi…” Aku pun lari mengejarnya yang lari tertatih-tatih…
Bersambung…
HCMC, 20 Mei 2010
-fon-
No comments:
Post a Comment